Jatuh Bangun Menuju Puncak Rinjani

“Ayo teh jalan, dingin nih gue nungguin elu berenti terus.” pinta Rifqi, adik saya yang mulai lelah

“Iya bentar, jalan gue pendek nih, udah duluan aja. Yang penting atur jarak pandang biar kita ga kehilangan jejak.”

Sepertiga malam kali itu jadi malam yang membuat hati saya berdebar. Rasa senang, takut, ngeri, kesal bercampur jadi satu. Saya takut mati malam itu juga.

Senang karena pada akhirnya saya di Rinjani, gunung yang sudah lama ingin saya datangi. Kesal karen fisik saya tak sekuat tekad yang sudah ingin berlari mencapai puncak. Rasa takut dan ngeri juga mendadak menyelimuti hati kala angin bertiup sangat-sangat kencang dan kabut turun dengan tebal menjelang mentari.

“Ayo teh jangan berhenti terus, kapan nyampenya kalau berhenti. Jangan lihat keats terus takut engap liat jauh.”

“Biar tahu tujuan gue apa. Pasti nyampe, gue kuat kok sampai puncak. Jam tujuh atau setengah delapan kita nyampe sana.” Janji saya pada Rifqi yang sudah mulai mati rasa ditangannya karena terlalu lama menunggu saya yang jalan terseok-seok.

Kaki saya kian berat berjalan dibatu-batu kerikil yang tak habis-habis. Bagai lumpur yang menyedot, kaki saya teramat berat untuk melangkah. Berat sangat berat.

Barujari Rinjani
Barujari, Gunung Rinjani-Lombok

Kalau kamu tanya apakah saya hampir menyerah? Saya jawab iya.

Puncak begitu dekat dipelupuk mata, angin berhembus dengan kencang yang membuat tubuh menggigil dan kabut yang turun semakin tebal membuat nyali saya ciut. Saya takut jatuh ke jurang karena tidak lihat jalan didepan dan saya juga takut hipotermia jika terus berhenti. Tapi tak mampu berjalan lebih cepat dari yang saya lakukan saat itu. Dan sebenarnya saya mulai takut adik saya kenapa-kenapa karena dia mulai mati rasa dijari-jarinya.

Tapi pada akhirnya saya memilih untuk tidak menyerah.

“Qi, kita jalan pelan-pelan aja, sambil nunggu matahari turun, biar badan lu juga lebih anget. Tepuk-tepuk jari lu biar ga mati rasa. Yang penting lu jalan terus, gue juga, kita atur jarak.”

Saya memilih untuk tidak menyerah setelah mengingat perjalanan panjang saya untuk sampai kesini.

Summit of Rinjani
Jalur kepuncak Gunung Rinjani

***

Delapan Belas Oktober kami terbang dari Jakarta menuju Lombok, kemudian dilanjutkan menuju Lombok Timur. Tempat dimana kami bertemu kerabat yang akan mendaki bersama kami. Hingga akhirnya tanggal Dua Puluh Oktober, kami meninggalkan Lombok Timur menuju Sembalun pukul tiga sore.

Pukul setengah 5 sore kami (Saya, Rifqi, Kak Sinyo, dan Irul) bergegas meniti jalan setapak melakukan pendakian. Sore itu sedikit gerimis, namun menjelang magrib, cuaca berubah menjadi cerah. Kami memutuskan berhenti untuk menyantap makan malam dan sholat magrib di sebuah lapangan setelah melewati sungai yang kering.

Hampir satu jam berlalu, perjalanan kami lanjutkan kembali. Malam itu kami ditemani lautan bintang dan bulan yang masih malu-malu.

“Kita bisa lihat Milky ways nih tar malam, dibagian selatan.” ucap saya memberi informasi

Kami terus berjalan pada jalur yang landai, sesekali menanjak. Jalur yang kami lalui berupa padang sabana, karena dari kejauhan kami masih mendengar bunyi-bunyi lonceng dikalung sapi.

Kurang lebih Pukul Delapan malam kami tiba di Pos 1. Kami beristirahat sejenak. Menikmati langit yang semakin bersinar. Di Pos 1 ini kami berhenti cukup lama, saya sempat mengabadikan Milky ways ditempat ini. Oh ya, ada yang jualan di Pos 1 ini, tapi tenda warungnya sudah tutup malam itu.

Milkyway at Pos 1 Sembalun
Milkyway di Pos 1 Sembalun

Kami kemudian memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Pos 2. Jalur yang kami lalui tak berbeda jauh dengan sebelumnya. Banyak bonus. Bersyukur kami tiba di Pos 2 kurang dari jam 9 malam. Karena sudah makan malam sebelum magrib tadi. Kami segera memasang flysheet dan matras untuk tidur seadanya di Bangunan Pos 2. Angin berhembus sangat kencang, udara makin dingin, langit makin gelap. Tampaknya mendung. Tapi, hati saya tak sedang mendung kok malam itu.

Esok hari kami bergegas bangun, memasak nasi goreng, bersiap packing, dan melanjutkan perjalanan sampai Pelawangan Sembalun. Tenda di depan tempat kami tidur sudah terbuka, mereka bahkan sedang memasak. Ada para pekerja yang menginap di sana untuk melakukan pembangunan gedung Pos 2.

Sekitar pukul setengah delapan pagi, kami mulai meniti jalan kembali. Kali ini sabana terhampar luas bisa kami nikmati. Saking gemesnya lihat sabana berbukit-bukit sebetar-sebentar adik saya minta di foto. Beberapa kali porter-porter Gunung Rinjani lewat. Saya takjub dengan kekuatan mereka. Dan porter berupa roda dua pun sampai di Bukit sabana selepas Pos 2 ini. Luar biasa Indonesia.

Porter gunung rinjani
Porter Gunung Rinjani

Perjalanan Pos 2 ke Pos 3 ternyata sangat panjang. Meskipun masih banyak terdapat bonus tapi saya sudah mulai lelah karena mataharinya sedang SALE. Kami beristirahat sebentar di Pos 3 Bayangan, namun tak lama. Takutnya kalau kelamaan istirahat tar males.

Sabana rinjani
Jalur pos 2 ke pos 3

Begitu melewati Pos 3, sepertinya penyiksaan itu dimulai. Tanjakan demi tanjakan tak putus-putus. Bukit demi bukit tak habis habis. Ini yang kata orang-orang disebut bukit penyesalan. Saya sering banget minta berhenti di sini. Pukul satu siang kami tiba di Pos 4 Bayangan. Ya, disini penuh pos bayangan, untungnya sih bukan banyangan mantan atau pun bayangan masa lalu nan pilu.

BUkit penyesalan rinjani
Tanjakannya ga habis-habis, Bukit penyesalan Rinjani

Kami istirahat cukup lama di sini. Memasak air dan Mie Instan untuk makan siang. Meluruskan kaki yang mulai pegal dan bahu yang mulai kesemutan. Isi carriel berkurang tapi berasa beratnya nambah terus. Berat sama dosa kali ya. 🙂

Setelah satu jam beristirah, perjalanan kami lanjutkan, Lagi-lagi tanjakan tajam. Bukit penyesalan benar adanya. Saya mulai terseok-seok. Tanjakan dengan tanah yang agak licin, membuat saya ngeri terpeleset. Saking lamanya kami, sampai Ijul, kawan kami tuh jalan lebih dulu agar sampai duluan ke Plawangan Sembalun dan cari spot mendirikan tenda, kalau-kalau kami tiba malam hari di sana.

“Itu bule-bule langkahnya cepet banget ya, kakinya panjang-panjang langkahnya gede.” saya mulai nyerocos

“Iya, ga bawa tas berat juga kayak kita.” kata adik saya

Kami memang tidak menggunakan jasa porter untuk pendakian ini. Jadi logistik tenda kompor dan lain-lain dibagi dicarriel kami berempat.

Bonus tampaknya sudah habis di Pos 1 sampai Pos 3. Kini waktunya tanjakan demi tanjakan yang berjaya. Saya sering sekali menyandarkan tubuh kepohon. Lumayan meringankan pundak.

Tanjakan setelah Pos 3 rinjani
Tanjakan setelah Pos 3

Matahari kian meredup, kala kami sampai di Pelawangan Sembalun pukul setengah 5 sore. Delapan jam 30 menit kami berjalan sepanjang hari ini. Eits, ini belum berakhir, karena kami harus berjalan kira-kira 20 menit untuk mendapat lokasi yang tepat untuk mendirikan tenda.

Plawangan sembalun
Plawangan Sembalun waktu sore hari
Lautan awan plawangan sembalun
Lautan awan di Plawangan Sembalun
Senja di Plawangan
Selamat malam Plawangan Sembalun

***

Pukul satu malam saya terbangun dan berniat melakukan summit. Kami bersiap, begitu juga tetangga tenda kami. Pukul dua pagi kami (saya, Rifqi, dan Ijul) pamit pada tenda sebelah untuk jalan lebih dahulu. Saya tahu, kalau orang lain 3-4 jam sampai puncak, saya bisa molor satu jam.

Jalan bertektur krikil sudah saya lalui dari setengah tiga pagi. Saat ini pukul setengah 6 pagi. Haruskah saya menyerah?

“Ayo teh semangat.” tiba-tiba suara itu terdengar

Tiga orang lelaki yang tak lain tetangga tenda menyusul kami. Mereka Jo, Ridwan, dan Leo. Anak muda yang berbaik hati memberi tahukan kami lokasi tenda agar tak kena badai layaknya mereka dimalam sebelumnya.

“Ayo Teh, harus sampai puncak. Biar saya juga semangat buat ke puncak. Masa si Teteh bisa saya engga.” Ujur Jo memberi semangat saya juga dirinya sendiri.

“Iya, makasih. Ayo semangat. Bisa kok” sambil tertawa

Tiga orang lelaki ini lucu dan menghibur. Tapi, lagi-lagi jalan saya masih saja lambat, hingga Ijul yang tadi kami izinkan untuk mendaki duluan, memohon izin untuk pulang terlebih dahulu karena dia harus turun hari itu juga. Ijul nampaknya sudah terbiasa dengan jalur Rinjani, karena ini bukan kali pertama ia ke sini.

“Iya, ga apa-apa, nanti kami bareng mereka aja.” jawab saya sambi melihat kearah Jo, Ridwan, dan Leo.

Saya pun semakin memicu diri untuk bisa segera sampai puncak. Kasihan adik saya harus nunggu dan nunggu. Nunggu kan capek juga.

“Udah Qi, dikit lagi kok. Jalan lah duluan kesana tar disusul. Kalau gue ga kuat ya tar gue istirahat lah.”

Tapi beruntung dia tak meninggalkan saya, hingga akhirnya kami sampai puncak bersama sekitar pukul setengah delapan pagi. Sesuai prediksi saya.

Rifqi di Puncak Rinjani
Rifqi di Puncak Rinjani yang terik

Gimana rasanya sampai puncak? saya hanya bengong. Senang dan mau nangis tapi tak bisa saking indahnya.

Saya langsung meminta Jo, Leo, dan Ridwan untuk turun bareng. Karena saya lihat diatas sudah mulai sepi dan jalur pun terlihat lengang.

Puncak gunung rinjani sepi
Puncak Gunung Rinjani yang terlihat sepi

Kami cukup lama di Puncak Rinjani, menikmat langit biru yang cerah. Angin yang semilir, tak seganas subuh tadi. Kami sibuk mengambil gambar dan video. Rinjani milik kami pagi itu. Tak lupa kami berbagi bekal kami satu sama lain. Rinjani memberi saya kawan baru lagi.

jp, leo, ridwan
Jo, Leo, Ridwan, Thanks Bro…

Jangan tanya bagaimana perjalanan turun kami. Jalan yang berkerikil sukses membuat saya hampir kepeleset, jatuh berkali-kali, dan terpelanting. Beruntung tak ada jurang hingga bisa selamat dan menulis cerita ini untuk kalian.

Pukul dua siang kami sampai di Pelawangan. Perjalanan panjang kami masih berlanjut esok pagi. Mari rebahkan tubuh ini.

“Rinjani adalah hadiah termanis bagi saya. Setelah rasa sakit yang bertubi-tubi dan jatuh bangun yang tak henti-henti. Rinjani menjadi hadiah kelulusan saya kali ini distrata tertinggi.”

Edelweis dan pendaki yang kelelahan
Jika merasa lelah istirahat dulu 🙂

Kami turun keesokan harinya, pukul 10 pagi kami meninggalkan Plawangan Sembalun menuju Sembalun. Tujuh jam perjalanan yang harus kami lalui. Terima kasih Jo, Leo, dan Ridwan yang rela turn bareng saya yang jalannya macem keong.  🙂

Danau segara anak
Sampai jumpa dilain waktu Segara anak

Oh ya, bagi kami Bukit Penyesalan itu bukan jalur Pos 3 ke Plawangan Sembalun. Tapi perjalanan menujuk puncak Rinjani. Yang kalau ngelangkah satu turunnya setengah.

Mari berkelana, bahagia!

77 comments

  1. wah, keren kak nunuz walau pelan dan tertatih2 tapi sampai puncak juga dan berhasil turun dg selamat hihi. btw, aku kepingin banget liat milkyway tapi belum kesampaian juga.

  2. Ini jalaur mana kak? sembalun-senarun atau via Torean? Akkkk next time aku mau kesana lagih.. mandi di air panas paling enakk..

    Btw tampilan blognya bagus bgt mbakk.. kumau belajar bisa bikin beginih…

    1. PP via sembalun Kak. Iya katanya air panasnya enak ya.. next time pengen balik lagi kesana via senaru. semoga terwujud.

      Makasih. saya juga masih belajar nih pengen ganti tampilan juga.

  3. Duh..baca postingan ini seperti ikut merasa beratnya perjuangan penulis dalam menaklukan Rinjani tapi semangatnya juga bikin pembaca terbakar semangatnya.
    Cukup detail, photo photo yang keren, salut buat penulis yang tidak terlalu bernarsis ria dengan photo photonya, entahlah kalau saya…

  4. wow..perjuangannya tergambar jelas..
    jadi ikut merasakan nih.
    selain itu tulisannya juga bikin yang membaca bisa jadi termotivasi..
    Photo photonya ok punya..
    salut dengan penulis yang tidak terpancing untuk tidak selalu bernarsis ria.

  5. waaahh.. warbiyasa. jadi malu taun 2014 ke rinjani dan nyerah di jalur summit karena mens dan udah nggak karuan… keren teteh!

  6. huhuhu komenku kemarin sepertinya tidak terposting. Baiklah komen lagi.

    Membaca cerita ini mengingatkanku pada masa2 aktif naik gunung. sering merasa lelah di tengah jalan terus suka mikir “ini gue ngapain sih gini?”
    kirain itu aku doang yang begitu hehehe.
    salut deh bisa kompak sama adik, naik gunung bareng.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *