Saat membaca judulnya, seru nih kayaknya. Cerita perjalanan dari 19 pejalan wanita. Ok sip mari membaca.
Berhubung saya tertarik dengan kegiatan traveling jadilah saya memindahkan buku ini dari rak buku Gramedia ke rak buku pribadi di kamar kosan saya tercinta. Hehe
Membacanya membawa saya membayangkan betapa indahnya Indonesia. I proud to be Indonesian.
Jujur tak semua ceritanya menarik, hanya beberapa yang menuliskan pengalamannya lebih mendalam, lebih menyentuh lubuk hati, dan menyadarkan bahwa rumah adalah dimana pun. Sisanya, biasa saja seperti cerita dalam blog-blog traveling yang sering saya baca… *bentar lagi sandal penulisnya mendarat di pipi saya nih..hehe 🙂
Semuanya sibuk menceritakan indahnya tempat yang mereka kunjungi, susahnya naek gunung, kegalauan yang melatar belakangi perjalanan, tapi jadi kayak cerita traveling biasa. Bedanya tidak disajikan beserta fotonya. Saya jadi kehilangan cerita “Rumah” yang dimaksud dalam judul buku ini. Rumah yang katanya adalah dimana pun. Baru setelah saya baca daftar isi, ada judul tulisan dengan judul yang sama dengan bukunya. Ohh judul tulisan toh ini…haha.. kecele aku nih.
Kemudian saya membacanya.
Cerita yang berlatar belakang keindahan Belitong, Negeri Laskar Pelangi. Keyko Cecilian mencoba menceritakan keluarga barunya. Keluarga yang menemaninya berlibur, tapi rasa rumah sendiri.
Kemudian saya lanjutkan membaca ke cerita selanjutnya. Eh, ada tulisan yang judunya mirip sinetron nih…Jadi penasaran…
Diam sejenak kemudian membaca lagi..
“Pashmina Tanda Cinta” karya Ken Ariestyani. Mencoba menceritakan kisahnya di Pulau Lombok. Alurnya ceritanya, setting lokasi yang deskriptif, dan tentunya perasaan yang terlibat dari cerita tersebut membuatnya menjadi Juara di buku ini. Saya terbawa suasana seolah benar yang dia ceritakan adalah ibu kandungnya, nyatanya bukan. Dia adalah ibu teman perjalannya yang membuat dia merasa seperti menjadi anaknya, dan rumahnya adalah rumah Ken. Kasih ibu sepanjang masa yah. Pokonya ibu, ibu siapapun itu, yah memang ibu-ibu itu penyayang. Ah jadi kangen Ibu dan mamah.
Ok sip, balik lagi ke bukunya.
Pamungkas buku ini cukup kocak. “Sepotong Surga yang Tuhan Titipkan” karya Ester Aprillia sangat menyegarkan. Dengan gaya nyablak, dan sedikit bergendre komedi. Dia menceritakan tentang Bali dan persahabatan dengan renyah. Pas banget nih tulisan di taro di belakang, pikir saya. Jadi penutup yang Asik. Penutup yang pas.
Ekspektasi berlebihan mengenai buku ini, membuat saya sedikit kecewa. Keterlibatan perasaan antara tempat dan pengalaman penulis mengenai definisi rumah yang saya rasa kurang tergali disini. Sama beberapa masih ada yang typo, kurang spasi, dan salah huruf. *Hadoh dosen skripsi banget sih.
Tapi bagi saya mereka tetap penulis hebat. Yang setidaknya berani mengambil kesempatan untuk menceritakan perjalannya. Membaginya dengan saya.
Terus menulis dan ceritakan indahnya Indonesia pada mereka. Iya mereka, mereka yang lupa dirinya Indonesia.
Salam
Nunuz