“Biarlah waktu membeku, agar aku bisa bersamamu di bawah ribuan bintang dan rembulan yang bersinar terang. Seterang hatimu…”
Begitulah kiranya kalimat yang tertulis dihalaman paling belakang dari buku catatan perjalananku setahun silam.
Ini ceritaku disuatu masa bersama dia yang ternyata adalah kepingan lain dari puzzle impianku.
Perkenalkan aku Fernanda Efrina, orang biasa memanggilku Efrin. Seorang wanita yang sibuk mencari jawaban atas banyak pertanyaan di dalam benaknya. Seorang wanita yang begitu mencintai petualangan dan alam semesta.
Jumat 2 Mei 2014, Pukul 12.30 WIB di Stasiun Pasar Senen
Diantara ratusan orang yang memadati stasiun ini siang itu, ada aku yang sedang sibuk mencari-cari seseorang yang menjadi partnerku berpetualang kali ini. Dengan tas backpack yang penuh sesak, entah apa isinya, aku mencarinya diterik matahari. Kurogoh Handphone dalam saku celana lapangku, ku pilih satu nomor yang akhir-akhir ini sering berkirim pesan denganku, ku pencet tanda bersimbol telepon terangkat berwarna hijau.
“Tut…tuttt..tuuuttt” Sambungan terhubung
“Oi, nunggu dimana? Gue udah di senen nih? Banyak banget orangnya disini, pusing gue” begitulah cerocos ku ketika sambungan telepon memperoleh jawaban.
“Masuk aja ke dalam, gue ada di deket peron Matarmaja” Singkat jelas padat jawabnya
“Oke”
Peron Kereta Matarmaja. Yup, peron yang tak asing bagi ku, karena ini entah kali keberapa aku ketempat itu, menunggu kereta yang akan membawaku pada tempat indah dan petualangan seru, dengan manusia-manusia baru. “Awesome Journey” biasa ku menyebutnya.
Hampir setahun belakangan, aku rajin mencari teman perjalanan di dunia maya, disebuah forum perjalanan yang isinya orang-orang yang terjangkit “virus traveling” yang sulit disembuhkan. Berkenalan, merencanakan perjalanan, melakukan perjalanan bersama, kemudian bertambahlah pengalaman dan teman baru. Ah bahagianya.
Itulah kali pertama aku bertemu dengannya di dunia nyata.
“Nandi” ia menjulurkan tangannya tanda perkenalan
“Efrin” saya menyambut uluran tangannya dan berjabat tangan, tanda resmi kami berkenalan.
“Gimana susah ga buat nyampe sini” Nandi memulai obrolan kami siang itu
“Hemp, lumayan, transportasinya sih engga, tapi nyari lu diantara ratusan manusia yang susah. haha” jawabku sambil tersenyum.
Hari itu aku melihat senyum manis dari manusia yang baru dikenal ini.
“Yang lain mana?” tanya ku padanya.
Karena hari itu kami akan pergi berlima untuk mengeksplor indahnya “Afrika Van Java” yang tak lain adalah Taman Nasional Baluran.
“Belum pada datang, paling dua puluh menit lagi”
Ku lihat jam ditanganku, tepat Pukul 13.10 WIB, masih ada waktu empat puluh menit untuk kami meninggalkan stasiun ini. Kami pun meneruskan obrolan yang kian lama kian seru. Ternyata Nandi orangnya seru, meski agak sedikit pendiam, namun dia bisa sangat cerewet ketika membicarakan semua perjalan-perjalanan yang telah dilakukannya, apalagi ketika dia menunjukan foto-foto perjalanannya yang tersimpan rapih di Smartphone-nya.
“Foto-fotonya bagus, ini alamnya yang bagus apa emang yang ambil fotonya yang jago” aku memujinya.
Sekali lagi ia tersenyum manis.
Satu per satu partner perjalanan berdatangan. Ada dua sejoli Tio dan Gea, kemudian disusul oleh Anggi lima menit kemudian. Lengkap sudah. Waktunya kami masuk ke dalam kereta karena sepuluh menit lagi, ia akan melaju meninggalkan ibu kota.
Baluran, 3 Mei 2014
Pertemuan kali itu ternyata awal dari pertemuan aku dan Nandi berikut-berikutnya. Ia melihat antusias yang besar pada ku akan keindahan alam, hutan, dan keanekaragaman hayati di dalamnya. Ia melihat binar mataku yang begitu bahagia melihat Rusa, Banteng, Burung Merak hilir mudik bermain di alamnya.
“Wah, ada kera tuh..” teriak Gea menunjuk pada satu hewan yang sedang berjalan diantara dahan-dahan.
“Mana Ge?” Jawabku
“Itu”
“Wah itu sih Monyet ekor panjang Ge, bukan kera. Beda loh Monyet dengan Kera” Entah kenapa setiap ada orang yang keliru membedakan antara Monyet dan Kera, aku gatal ingin memberi penjelasan.
“Monyet itu berekor Ge, tapi kalau Kera itu yang ga berekor, misalkan Simpase, Gorilla, Owa. Nah itu kera. Lu pernah lihat kan ?”
Nandi ternyata secara diam-diam memperhatikan semua kejadian itu. Mendengar dengan seksama ketika aku menuturkan satu persatu nama ilmiah dari hewan-hewan tersebut dan bercerita mengenai mereka. Ternyata ia pun memiliki antusias yang sama denganku meski dari sudut pandang yang berbeda.
Bogor, September 2014
Waktu berlalu tiga bulan lebih dari perjalanan kami di Afrika Van Java. Beberapa kali aku dan Nandi bertemu, hingga pada akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke suatu pulau yang menjadi surganya kupu-kupu dan keanekaragaman hayati dengan misi yang lebih jelas. Sebuah pulau yang terbentuk dari benturan-benturan beberapa lempeng bumi, yang menjadikannya pulau dengan bentuk paling unik di Indonesia. Sulawesi namanya, pulau yang berbentuk layaknya huruf “K”. Kali ini, kami berniat untuk mengeksplore Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.
Bandara Soekarno Hatta, 7 September 2014
Akhirnya kami bertemu kembali untuk sama-sama menuntaskan mimpi di Sulawesi.
“Nand, lu dimana?” aku meneleponnya karena satu setengah jam lagi kami harus terbang meninggalkan kota ini.
“Masih di jalan 5 menit lagi nyampe kok. Tenang aja”
Nandi memang sosok yang tenang, meski sempat ketinggalan satu dari alat perangnya di hutan rimba. Nandi tiba di waktu yang tepat. Kami pun memulai perjalanan ini berdua.
Bantimurung Bulusaraung, 8 September 2014
“Kamera, lensa, tripod, kartu memori cadangan, baterai cadangan, GPS, topi, jas hujan”
Aku mendengarkan Nandi melafalkan barang-barang bawaannya untuk mengabadikan petualangan di Surga Kupu-kupu atau orang mengenalnya sebagai “The King of Butterfly” ini. Sedangkan aku, berbekal pensil, buku catatan lapang, voice recorder, dan kamera prosumer menggantung dileher, rasanya sudah cukup sebagai juru tulis.
Nandi memang penggila fotografi, ia senang mengabadikan perjalanan melalui foto maupun video, termasuk hewan-hewan yang menurutnya unik dan menarik. Nandi sering berujar, kalau saja aku seorang Biologist mungkin foto-foto hewan-hewan ini sudah memiliki nama.
Itu kenapa kami cocok. Aku seorang Biologist yang senang menghafal nama-nama dari hewan-hewan tersebut, tapi aku tak pandai mengabadikan hewan-hewan tersebut dalam bentuk foto maupun video dengan indah.
Mungkin ini yang dinamakan takdir, potongan puzzle ku ternyata cocok dengan puzzle miliknya Nandi.
Kami ditemani Pak Maros untuk memasuki kawasan Bantimurung ini. Beliau banyak bercerita bahwa ada sekitar 200 jenis kupu-kupu di tempat ini. Selain kupu-kupu, tempat ini juga terkenal dengan ekosistem karstnya yang menawan. Aku makin tak sabar untuk melihatnya.
Nandi sibuk mengabadikan kupu-kupu yang beterbangan hilir mudik kesana-kemari dengan sayap warna warni. Sedangkan aku sibuk mengamati, mecatat jenis kupu-kupu tersebut, dan sesekali bertanya kepada Pak Maros jika aku tak tahu jenisnya.
Kami meneruskan perjalanan merambah hutan Bantimurung. Hari menjelang siang ketika kami akhirnya bertemu dengan Monyet Hitam Sulawesi.
“I’m lucky girl, yeay” teriak ku
“Pak, kalau mau lihat tarsius disebelah mana ya?” aku bertanya pada Pak Maros.
“Oh nanti malam. Nanti saya ajak ke tempat biasa saya lihat” Pak Maros berjanji.
Aku penasaran dengan hewan kecil bermata besar ini, karena ia hanya ada di Pulau Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera. Hewan ini termasuk hewan langka, jadi suatu keberuntungan jika aku bisa melihatnya di alam liar.
“Yakin lu mau trekking malem-malem?” Nandi meragukan keberanianku keluar malam hari
“Yakin lah demi Tarsius. Lagi pula diantar oleh petugas dari sini. Ga mau ikut?” Candaku pada Nandi.
“Ikut lah, mau foto. Hhehe “ seringainya.
Malam itu ternyata kami kurang beruntung. Tarsius enggan menyapa kami.
Bantimurung Bulusaraung, 9 September 2014
Keesokan harinya kami diantar oleh Pak Zaki untuk mengeksplor kawasan karst Bantimurung yang tersohor dengan keindahan stalagmite dan stalagtite nya.
Seperti biasa Nandi sibuk dengan alat perangnya dan aku sibuk dengan alat perangku. Bersiap menggunakan pakaian yang memang dikhususkan untuk pejelajahan goa dengan helm dan headlamp melekat erat di kepala, kami pun siap untuk “Awesome Journey” berikutnya.
Ini bukan kali pertama aku dan Nandi melakukan aktifitas dalam Goa, karena sebelumnya, kami pernah melakukannya di Goa Jomblang, Yogyakarta.
***
Di dalam “Goa Mimpi” aku menyaksikan indahnya “Tower Karst“ yang pernah aku lihat dalam seminar mengenai karst Bantimurung, semasa kuliah dulu.
“Indah sekali” decak ku kagum
Lama kami di dalam goa, hingga sore baru kembali ke stasiun pengamatan dan bermalam disana. Ketika dalam perjalanan pulang aku melihat Burung Rangkong Khas Sulawesi.
“Oh Tuhan, indahnya negeri ini” batinku berucap.
***
Malam beranjak lebih cepat dari hari-hari yang lalu. Berbalut sleepingbag aku tertidur lelap.
Bantimurung Bulusaraung, 10 September 2014
“Pagi Efrina. Nih teh anget buat lu”
Nandi membangunkaku dengan segelas teh ditangannya. Kami sarapan bersama ditemani kicau burung-burung yang menghuni belantara ini.
“Hari ini, mau cari apa lagi nih?” tanya Nandi padaku
Lusa kami akan pulang ke ibu kota, jika sesuai jadwal, kami harusnya kembali ke Makasar siang ini dan bermalam di Toraja untuk kemudian esok hari kembali dengan penerbangan paling pagi ke Jakarta.
“Gue masih betah disini Nand, semalem lagi disini gimana? Masih penasaran pengen liat Tarsius nih”
“Hemph, kita ga jadi ke Toraja nih?”
“Jadi, besok pagi kita berangkat dari sini langsung ke Toraja, tapi jadinya cuma bentaran disana. Gimana?” rayuku pada Nandi
“Oke sip.”
Saking senangnya, tanpa sengaja aku memeluk pria manis di depanku ini. Keadaan mendadak kikuk dan hening, kami berdua membisu.
“Udah, mandi sana, beres-beres, kita ke Air Terjun Bantimurung. Ngadem” Sambil melempar handuk ia menyuruhku bersiap
“Yey, kalau jalannya ke Air Terjun sih gue ga usah mandi, disana aja mandinya.”
Kami bersenang senang disana, bermain air, sambil menyaksikan kupu-kupu beterbangan indah.
“Ini potongan surga kali ya Ef?”
“Iya Nand, kece banget nih tempat, pantesan si Wallace betah disini”
“hah, Alfred Russle Wallace maksud lu?”
“Kok lu tau sih?”
“Itu orang keren Ef, gue pernah baca profilnya, dia berkelanan untuk menggali pengetahuan, sampai akhirnya bertemu Surga kupu-kupu disini. Dia yang sebenarnya menemukan teori seleksi alam kan?”
“Yup, dia yang melihat adanya perbedaan hewan-hewan di beberapa tempat, kemudian menciptakan garis imajiner bernama Garis Wallace. Dan pulau ini tempat kita sekarang berada adalah bagian dari Wallace.”
***
Sore hari kami sudah kembali ke tempat kami bermalam. Kami bersiap untuk nanti malam berburu Tarsius.
***
“Mbak, Mas, suaranya pelankan, Itu Tarsiusnya ada di pohon” ucap Pak Maros
“Mana pak” dengan berbisik saya bertanya
“Itu yang matanya nyala, keliatan tuh ada tiga ekor”
“Ya Tuhan, Tarsius di depan mata jelas banget” aku terperangah
Akhirnya malam itu aku bisa tertidur pulas. Malam terakhir di Bantimurung memberiku oleh-oleh pengalaman tak tehingga. Melihat Tarsius di alam liar.
Toraja, 11 September 2014
Pagi sekali kami meninggalkan Bantimurung melanjutkan perjalanan ke Toraja. Toraja memiliki landscape yang indah dengan tatanan rumah tadisional yang menawan serta pemakaman di tebing-tebing karst yang tersohor. Kami hanya sebentar ditempat ini, karena harus kembali ke Makasar.
Besok waktunya kami kembali ke kehidupan nyata.
Aku dan Nandi pasti akan bertemu untuk menyusun cerita petualangan kami di Bantimurung ini. Karena misi kami jelas, mengenalkannya pada dunia, batapa kayanya Indonesia.
Bogor, 19 September 2014
Ternyata aku dan Nandi memang ditakdirkan bersama, menjelajah negeri alam teramat indah ini. Pernah suatu waktu kami bercerita tentang arti nama kami masing-masing. Fernanda Efrina yang merupakan namanku memiliki arti petualang alam semesta yang berasal dari bahasa Jerman dan Turki. Sedangkan nama Nandi adalah Nandito Pramudita yang memiliki arti yang sama dengan namaku, namun berasal dari bahasa Jepang dan Sangsekerta. Hemph, mungkin memang kami potongan manusia yang harusnya dipersatukan alam.
Jika suatu saat aku bisa mengulang perjalanan seperti ini kembali, kuharap bisa melakuknya bersamanya.
******* Tamat******
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Awesome Journey” Diselenggarakan oleh Yayasan Kehati dan Nulisbuku.com
Tulisan ini dimuat disini juga.
2 comments
Dekat Taman Nasional Bantimurung itu ada perkampungan terpencil yang “dikurung” oleh perbukitan karst.
Tumbuh-tumbuhannya unik-unik di sana, dengan bermacam-macam nipah.
Namanya Rammang Rammang. Baiknya dikunjungin juga tuh..
Semoga suatu hari bisa ke sana. Aamiin
Trims Infonya 🙂