Setelah melakukan perjalanan kira-kira 25 menit dari Pusat Kota Serang, tibalah saya dan Fia di sebuah komplek reruntuhan bangunan layaknya benteng. Motor kami terus melaju mengikuti arah yang ditunjukkan google map ditemani debu-debu tebal yang berterbangan dilindas ban. Tujuan kami adalah Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama.
“Nah, ini nih Fi museumnya. Akhirnya nyampe juga.” seru saya
Motor kami melaju memasuki pagar sebuah gedung bercat hijau, yang dihalamannya terdapat meriam yang cukup besar. Belakangan baru saya ketahui meriam itu bernama Ki Amuk.
“Pak, maaf ini parkirnya dimana ya?” tanya saya kepada Pak Satpam yang sedang duduk di pos jaga.
Bapak tersebut menunjukkan area parkir yang berada dipojok kanan arah masuk gedung. Sudah banyak motor-motor terparkir di sana, kami mengisi bagian yang kosong dan cukup teduh.
Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama berlokasi di Desa Banten, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Provinsi Banten. Museum yang diresmikan pada 15 Juli 1985 oleh Prof. Dr. Harjati Soebadio ini merupakan tempat penyimpanan berbagai jenis koleksi arkeologi hasil penelitian yang dilakukan di Wilayah Kesultanan Banten Lama. Untuk memasuki museum ini, kita tak perlu merogoh kocek sangat dalam, cukup 2K/orang.
Memasuki museum, saya langsung disambut dengan gerabah-gerabah tanah liat berukuran super besar dengan papan bertulisakan “Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama”. Kami melipir ke arah kiri untuk kemudian membaca informasi-informasi yang terpampang didinding museum. Cerita bermula pada perdagangan di masa Kesultanan Banten. Pada masa Kesultanan Banten yaitu sekitar pertengahan abad ke-15 hingga akhir abad ke-16, perdagangan internasional terjadi di Pelabuhan Karangantu. Adapun komoditas yang diperdagangkan berupa rempah-rempah seperti lada, tepatnya Banten saat itu memonopoli perdagangan lada asal Lampung.
Melanjutkan menilik koleksi berikutnya, saya melihat gambaran kapal VOC, keramik-keramik dari Cina, serta artefak lainnya. Pada sebuah didinding, saya mulai membaca mengenai tata kota dan penduduk Kesultanan Banten. Membaca informasi yang tertuang, saya jadi bertanya-tanya, dimanakah keturunan-keturunan dari berbagai suku bangsa yang bermukin di Kesultanan Banten ini sekarang berada ya? Karena kalau diperhatikan perdagangan membawa Banten dihuni oleh berbagai etnis.
Sketsa Serrurie (1902) mengenali setidaknya ada 33 pemukiman penduduk Banten berdasarkan jenis pekerjaan yang berlangsung, seperti Panjaringan (pemukiman tukang jaring), Kepandean (Pemukiman pengrajin logam), Pamarican (pemukiman penghasil lada), dan lain sebagainya. Beberapa daerah tersebut familiar bagi saya dan masih ada sampai saat ini. Jadi penasaran penduduknya masih mengerjakan pekerjaan yang sama seperti dulu ga ya?
Banyak sekali informasi mengenai Kawasan Kesultanan Banten yang bisa kita baca di museum seluas 778 meter persegi ini, mulai dari benteng-benteng, masjid-masjid, dan keraton-keraton yang dibangun pada masa itu. Bahkan, ada informasi mengenai teknologi pengolahan air bersih, pengelolaan logam, dan pembuatan gerabah pada masa itu. Menarik bukan?
Selain itu, koleksi yang mengisi dua ruangan di Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama ini tak hanya berupa infografis, keramik, dan gerabah. Tetapi ada juga persenjataan, perhiasan dari logam, penggilingan tebu, peralatan mencari ikan, sebuah Arca Nandi yang menunjukkan pengaruh hindu-budha di Banten, serta informasi mengenai kesenian tradisional Banten yang paling terkenal, yaitu Debus.
Berkeliling museum ini sebenarnya menyenangkan. Bagi kalian yang ingin mengetahui bagaimana Banten tempo dulu, berkunjung ke museum ini adalah jawabannya. Namun sayang, pencahayaan yang kurang, udara yang pengap dan panas, membuat kami agak kurang nyaman berada didalamnya. Karena untuk bisa menyerap informasi yang ada didalamnya, biasanya saya membutuhkan waktu kurang lebih dua jam. Kondisi yang pengap dan panas lantaran pendingin ruangan yang dimatikan ini akhirnya mempercepat laju kami meninggalkan museum ini.
Sepertinya pencahayaan menjadi permasalahan yang utama dari beberapa museum yang pernah saya kunjungi. Padahal, dengan pencahayaan yang baik, museum menjadi tempat yang menyenangkan untuk bermain sambil belajar. Kesan museum yang seram, dingin, pengap dan menyeramkan pun akan lenyap dalam sekejap. Imbasnya, pengunjung museum pun akan semakin bertambah dari berbagai kalangan dan tingkat usia. Sehingga, pengetahuan anak muda mengenai sejarah pun meningkat. Karena untuk mencintai kita perlu menggali informasi siapa dan bagaimanan kita tempo dulu bukan?
Baca Juga: Museum Multatuli, Destinasi Asik Di Rangkasbitung Yang Instagramable
Informasi Penting!
Jam Operasional: 09.00-16.00WIB
Sabtu-Minggu dan Hari Libur Nasional Tutup
Tiket: 2K/orang
Transportasi: Lebih disarankan menggunakan kendaraan pribadi
Mari berkelana, bahagia!
8 comments
Artikel yang menarik. Mohon diperhatikan penulisan kata depan yang harus dipisah ya, Kak. Contohnya: di halaman, bukan dihalaman.
Makasih Kak Maria. Next ku belajar EYD lagi nih 🙂
Aku tuh pernah main ke banten lama, ke surosowan dll, pas mau ke museumnya tutup, sedih 🙁
Iya yak, katanya sih tutup dihari minggu. 🙁
Museumnya panas kan, Kak? Hemat energi banget nih museumnya. Dan sering tutup. Aku pernah bawa teman ke sana hari minggu dan zonk dong. Akhirnya berjalan-jalan di reruntuhan benteng saja.
Iya kak panas banget. Ku kesana dihari kerja. Denger-denger sih justru hari minggu libur. Aneh ya harusnya pan buka karena orang liburan di hari libur.
Tiketnya murah sekali ya..
Sebagai orang yang tak suka ke museum, saya cukup menikmati review dari yang sudah kesana saja.. ?
Rata-rata tiket museum 5K ke bawah sih.
Meski tiketnya murah tpi masih jarang juga orang main ke museum.
Thanks Mas, semoga tertarik ke museum ya 🙂