[review] Mengapa Luka Tidak Memaafkan Pisau-M. Aan Mansyur

Ketika membaca kumpulan puisi dari karya teranyar M. Aan Mansyur, saya mengerti mengapa karya ini berjudul “Mengapa Luka Tidak Memaafkan Pisau.”

Sepanjang membaca karya “Mengapa Luka Tidak Memaafkan Pisau” hati saya terasa perih namun bibir tersenyum getir. Ada beberapa luka yang tidak pernah sembuh, ada beberapa tanya yang tak pernah temu jawab, ada beberapa gelap yang tak pernah bertemu titik terang.

Kumpulan Puisi Aan Mansyur “Melihat Api Bekerja”

Banyak sekali bait-bait yang pada akhirnya membawa saya berfikir, apa yang hendak disampaikan Aan Mansyur kepada kami pembacanya. Buku kumpulan puisi ini seperti merepresentasikan berbagai luka yang mungkin kita alami disepanjang hidup. Luka karena cinta, luka karena pasangan, luka karena keluarga, bahkan luka karena kecewa pada negara.

Dalam menjalani hidup kita bersinggungan dengan banyak hal, mengalami banyak hal, berinterkasi dengan banyak orang yang mungkin tanpa sadar kehadiran mereka meninggalkan luka. Lalu mengapa tidak bisa memaafkan pisau? karena bekasnya masih ada meski kita sudah bisa berdamai dengan keadaannya. Atau, malah menjadi bayang-bayang tanda tanya hingga waktu yang meredakannya. Hingga sampai bukan lagi menemukan jawabannya, tapi merasa cukup untuk mempertanyakannya.


Ada puisi yang begitu berkesan bagi saya, judulnya “Makassar Adalah Jawaban Tetapi, Apa Pertanyaannya?”. Ini maknanya ngena banget sih. Saya merasa akhir-akhir ini banyak orang kehilangan jati diri hanya demi sebuah pengakuan. Saya pikir hanya cukup sampai di situ, nyatanya tidak. Akhir-akhir ini banyak tempat kehilangan jati diri dan bersolek menjadi orang lain.

Karya Aan Mansyur, Kumpulan Cerpen Kukila

Saya kadang bertanya “kenapa sih harus sama dengan tempat lain? lalu apa bedanya pergi ke sini dengan ke sana? kenapa harus bersolek menjadi replika, jika dengan apa adanya cantik rupa?”

Kumpulan puisi ini bagus banget sih, meskipun saya butuh waktu untuk mencernanya. Saya jadi berfikir bahwa pada akhirnya…. luka akan mereda bersama waktu dan kata-kata.. bukan menghilang…

Pada akhirnya…

“menyerahkan diri kepada benda-benda
yang pecah di dalam jiwa kita
& membiarkan segala yang telah
mati memilih kata-kata

(bahasa adalah permakaman

& berusaha menjadi kosong

adalah berusaha menjadi utuh

kembali)”

Selamat membaca,

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *