“Kamu ingat terakhir kali aku bercerita pada mu tentang apa dear?” ungkapku pada kertas-kertas kosong dibuku harianku yang sekarang mulai terisi dengan tulisanku.
Aku memang punya kebiasaan menuliskan apapun yang berkesan dalam hidupku pada sebuah diary. Padanya aku bercerita bagaimana seorang fotografer petualangan bernama Nandito Pramudita, melamarku di atas deck kapal yang akan membawa kami berkeliling pulau-pulau kecil di Flores.
Liburan akhir tahun yang mengasikan sekaligus perayaan dua tahun kami telah bersama menjadi sepasang kekasih. Nandito, sosok laki-laki yang berhasil meyakinkanku bahwa bersamanya aku akan baik-baik saja. Bersamanya aku belajar berbagi, belajar mendengar, juga belajar mengerti satu sama lain. Jujur, perlahan tapi pasti aku semakin mencintainya.
—-***—-
Bogor, 17 Februari 2017
Hari ini aku tak hendak bercerita Nandi padamu. Tadi siang tanpa sengaja aku bertemu seseorang dari masa lalu ku. Aku bertemu Ben Yudistira, senior sekaligus teman ku saat kuliah. Ingatkah kamu siapa dia?
Tadi aku bertemu Ben disebuah Bookstore di Jalan Padjajaran. Tempat kami dulu menghabiskan waktu diakhir pekan, berburu novel-novel bagus. Aku sungguh tak menyangkan bisa bertemu dengannya di kota ini, karena yang aku tahu dia bekerja di Sulawesi. Kami sudah lama sekali tak bertemu, ada kira-kira empat tahun dear.
“Efrin?” dengan ragu-ragu seorang pria berkemeja flannel menyapaku
“Iya, anda siapa ya?”
“Lu lupa ya ma gue?, ini gue, ayo coba ingat-ingat”pinta pria itu
“Ini orang ga penting banget sih, sok kenal, main tebak-tebakan pula” gerutuku dalam hati. Hingga pada menit ke tiga aku menyadari siapa sosok pria di depan ku saat ini.
“Hai Ben. Bener kan kamu Ben. Ya ampun sorry, sorry aku ga ngenalin kamu. Abis beda banget” jujur aku tak mengenalinya, ia lebih hitam dengan rambut yang sedikit gondrong.
“Lebih dekil ya” ucapnya
“Haha. Ga kok. Lebih item aja. Kelamaan main di hutan sih. Masih di Sulawesi?”
“Tahu dari mana gue kerja di Sulawesi”
Harus aku akui ya dear, kamu juga pasti belum tahu tentang ini. Diam-diam setelah dia pergi. Aku terus mencarinya kabarnya lewat dunia maya. Terlalu segan aku menanyakan kabarnya secara langsung ataupun bertanya pada teman-temannya.
Kami asik mengobrol, hingga tatapan pelayan Bookstore yang sedikit sinis mendarat pada kami. Akhirnya Ben mengajakku ke sebuah Café. Ia memintaku memilih Café mana yang akan kami tuju.
Kami duduk di sebuah Café yang bernama “Hujan Pasta”, yang tentunya memiliki aneka macam menu pasta.
“Bogor udah banyak berubah ya Frin?” Ben membuka obrolan kembali
“Udah berapa tahun ga ke Bogor?”
“Ya kurang lebih dua tahun lah”
“Ngomong-ngomong. Kamu di sini lagi ada acara kantor atau liburan?” tanya ku menyelidik
“Acara kantor sekalian liburan. Gue abis ngehadirin seminar konservasi gitu. Terus dapet jatah libur deh tiga hari sebelum balik lagi ke Sulawesi. Ya udah gue pake aja buat muter-muter Bogor. Sekalian Nostalgia. Ga tahunya bisa ketemu elu lagi disini. Takdir kali ya”
“Hehe. Iya takdir kali ya?”
“Lu kerja dimana sekarang Frin?”
“Kemarin sih gabung jadi asisten peneliti untuk penelitian di Papua. Next mungkin gue mau sekolah lagi”
Tiba-tiba suara pelayan wanita menghentikan obrolan kami “Permisi mba dan mas ini pesanannya. Satu spaghetti, satu fettuccini, satu orange squash, dan satu coklat panas. Sudah semua ya pesanannya. Selamat menikmati”
“Terimakasih mba” kami menjawab berbarengan
Sambil menikmati makanan, kami mengobrol banyak hal tentang pekerjaan Ben, tentang aku, tentang masa-masa kita kuliah hingga satu pertanyaan terlontar darinya.
“Cowok lu anak mana sekarang?”
“Cowok ku?”
“Iya, masa cowok gue. Udah bisa move on kan?”
“Apa maksud kalimat terakhir itu” kesal ku dalam hati
“Oh, iya cowok ku. Ada di Jakarta. Cewek mu siapa sekarang Ben?”
“Ga ada. Belum bisa move on nih dari lu.”
Aku hampir saja tersedak makan yang sedang mendarat di lidahku. Seketika Bogor mendadak lebih dingin dari biasanya bagiku. Aku mulai tak berselera lagi menghabiskan spaghetti ini. Tapi aku berusaha menutupinya dari Ben.
“Wuis becanda mulu, ga berubah dari dulu” entah kenapa kalimat itu yang malah terlontar dari ku.
Ben malah diam mendengar pernyataanku. Hari mulai petang ketika kami berpisah.
“Frin, bagi nomor HP lu dong. Boleh?”
“Boleh lah Ben” ku ketikan nomor HP ku di posel pintarnya.
“ Miscall dong. Biar aku save juga no HP mu”
—****—-
Ben adalah seniorku saat kuliah. Tepatnya dua tahun diatasku. Entah kenapa kami bisa dekat dan sering jalan bareng. Sesekali kami nonton di Bioskop, sesekali kuliner, sesekali menikmati curug-curug yang indah di Bogor, dan sering kali menghabiskan weekend kami di Bookstore. Aku dan Ben sama-sama suka membaca. Jenis bacaan kami pun serupa dan cenderung sama. Kira-kira baru enam bulan kami jalan bersama sebagai teman, Ben telah selesai dengan studi S1 nya. Ia kemudian lulus dan menghilang. Aku memang sempat datang ke acara wisudanya. Bahkan ku hadiahi ia sebuket bunga dan sebuah buku yang sudah lama ia incar. Namun setelah itu ia tak pernah lagi muncul dihadapanku, bahkan hanya sekedar untuk pamitan. Ia meninggalkanku dengan banyak kenangan manis namun berujung menyakitkan. Dia tak lagi menghubungiku, aku malah tak bisa menghubunginya, nomor HPnya telah berganti. Tapi anehnya ia sering muncul di timeline facebook ku dan bertegur sapa dengan teman-teman wanitanya. Inikah cara dia menjauh dari ku.
Aku yang tanpa sadar mencintainya, merasa gerah dengan semuanya. Hingga pada suatu waktu ia muncul di jendela pesan facebook ku.
“Hai” sapanya sore itu di penghujung tahun 2014
“Hai” jawabku singkat
“Apa kabar?”
“Baik” ku jawab tanpa bertanya kembali kabarnya. Amarah masih menyelimuti hatiku. Bagaimana tidak. Sudah hampir dua tahun ia tak menghubungiku, bahkan tak pernah berusaha menghubungiku. Ia meninggalkan tanya dalam hatiku. “Cintakah ia padaku? Perlakuannya begitu manis padaku”
“Sibuk apa sekarang?”
“Sibuk kuliah Ben, sambil persiapan skripsian”
“Sibuk dong sekarang”
“Iya”
Jawabanku yang singkat-singkat membuat Ben menghentikan percakapan kami. Ben buat ku masa lalu. Besok aku hendak ke Bandung bersama Nandi menghabiskan akhir tahun 2014 disana. Aku tak mau mood ku rusak gara-gara Ben
—**—
Bogor, 24 Februari 2017
HP ku berbunyi. Sebuah pesan Whatsup masuk dari Ben. Tepat seminggu setelah pertemuan tak sengaja kami di Bookstore.
From : Ben Yudistira
“Hai frin, maaf ganggu kamu malam-malam. Gue cuma mau minta maaf sama lu. Maaf karena meninggalkan lu begitu saja empat tahun lalu. Maaf ga pamit waktu pergi dari Bogor selepas Wisuda. Sebenernya, gue waktu itu mau pamitan sama lu. Tapi pas nyampe gerbang rumah lu. Gue denger Andra nembak lu. Lu tahu kan gue sama Andra sahabatan banget. Dan gue ga mau nyakitin Andra karena ternyata gue juga suka sama lu. Gue memilih pergi dari lu demi persahabatan. Gue tahu itu menyakitkan buat lu, buat gue juga. Ga mudah buat gue lupain lu, bahkan sampai hari ini. Gue cuma pengen lu tahu, gue sayang sama lu. Itu aja. Selamat ya Frin udah nemu cowok yang sayang sama lu. Jatuh cinta sama lu adalah hal terindah yang pernah ada di hidup gue, dan sayangnya gue ga pernah perjuangin lu ya Frin. Maaf dan terimakasih.”
Aku terpaku membaca pesan itu, tak ada sesal bahkan air mata. Aku telah mengikhlaskan Ben dan karenanya aku bertemu Nandi saat perjalanan patah hatiku ke Baluran 2014 silam.
Send To: Ben Yudistira
“Tak ada yang perlu di maafkan Ben. Jika ada yang salah dari perasaan kita empat tahun lalu. Kita adalah penyebabnya Ben. Perasaan kita tak pernah punya nama, kedekatan kita juga tak pernah menemukan julukan yang pas. Kita teman itu yang biasa kamu bilang di depan Andra kan?. Dan selamanya akan jadi teman Ben.”
Aku kembali membuka diary ku dan menuliskan sebuah puisi di dalamnya:
Elegi Cinta di Kota Hujan
Tangisku adalah hujan
Yang datang dimusim kemarau
Lantaran engkau
Sang elegi cinta di kota hujan
Engkau adalah elegi saat senja menyapa
Ketika langit menjadi sendu
Lantaran awan kelabu
Begitulah aku dikurung rindu padamu
Tahukah engkau lebih dari 365 hari
Aku menunggumu
Hari-hariku bagai elegi yang bersemi
Dalam bingkai tangis dalam hati
Tahukah engkau,
Saat maaf tertera dalam tautan pesanmu
Dan kenyataan yang tak lagi menyakitkanku
Engkau tak lebih dari elegi dimusim gugur
Engkau adalah ketidak mungkinan yang pernah ada
Kau elegi yang sekarang hanya jadi pusaran
Dan ketika musim hujan tiba di kota kenangan
Ia tak lagi memutar elegi tentang dirimu, wahai kawan
Dari Ben aku belajar, Jatuh Cinta tak pernah memandang siapa, kapan dan bagaimana. Tapi sikap kita terhadap rasa yang bernama cinta lah yang menentukan kisah hidup kita berikutnya.
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Writing Project #StorialGiveaways yang diselenggarakan Nulisbuku.com dan Storial.co.