“Uhuk, uhuk,…Waduh pasirnya masuk mulut.” Saya terbatuk-batu ketika tiba-tiba Kawah menyemburkan abu vulkanik saat perayaan Kasada Bromo.
Hari masih gelap ketika saya mencoba meniti anak tangga menuju puncak Bromo. Saya jalan berdesakan dengan mereka yang sama-sama ingin menyaksikan prosesi pelemparan sesaji dan ongkek pada puncak perayaan Yadnya Kasada Suku Tengger.
“Gue lupa pake masker nih. Gue balik badan aja deh Mas Wisnu, lu lanjut aja ke atas.” Saya memilih balik badan mengurungkan niat untuk menyaksikan prosesi itu di bibir kawah.
Dengan terburu-buru saya menuruni anak tangga.
“Lah Mas Hidayat turun juga?” tanya saya kepada Mas Hidayat ketika saya menemukan ia tepat di anak tangga paling dasar.
“Iya serem tadi semburan abunya.” terang Mas Hidayat
“Iya bener Mas. Saya juga horor. Udah gitu banyak banget lagi orang-orang di bibir kawah. Tuh lihat.” Sambil saya menunjuk ke arah puncak.
Kami akhirnya memutuskan duduk di warung sekitar untuk menunggu Mas Wisnu.
Perasaan ngeri campur bahagia mengambang dihati saya. Saya mengingat pertama kali datang ke tempat ini lima tahun silam dan mendengar cerita mengenai Yadnya Kasada Bromo dari Mas Zul, guide kami saat itu. Selang lima tahun berlalu, saya baru punya kesempatan untuk bisa menyaksikannya dengan mata kepala saya sendiri meski harus dikondisi Bromo yang sedang erupsi.
***
Beberapa hari sebelum saat dimana saya menjejakan kaki di Pasir Bromo. Saya meminta izin pada orang tua untuk bisa menyaksikan acara ini. Bapak yang hobi banget nonton berita mengetahui kondisi Bromo saat itu. Saya yang memang sudah mempersiapkan semuanya dari jauh-jauh hari bersikeras untuk tetap pergi dan menyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
“Ya udah aku ke Malang dulu aja, nanti kalau kondisi ga memungkinkan aku batalin ke Bromo.” ucap saya pada Bapak
Setelah sebelumnya menginap di Guci, menuntaskan mimpi ke Semeru selama 3 hari, barulah saya melakukan perjalanan dari Malang menuju Bromo seorang diri. Bermodal rute dari teman, saya tiba di Bromo dengan selamat.
Dari terminal Arjosari, Malang saya menggunakan bus ke terminal Probolinggo. Disalah satu warung makan di Terminal Probolinggo saya berkenalan dengan Mas Hidayat yang ternyata sengaja datang dari Kalimantan untuk bisa menyaksikan Kasada.
“Sendirian Mas. Mau ke Bromo juga untuk lihat Kasada?” tanya saya
“Iya, Mbanya sendirian juga?”
“Engga Mas, nanti di Cemoro Lawang ada teman yang gabung. Dia udah sampai duluan dari semalam. ” jawab saya sedikit panjang
Perjalanan Terminal Probolinggo menuju Cemoro Lawang cukup memakan waktu. Namun pemandangan yang indah tak membuat mata ini bosan.
***
Sampai di Cemoro Lawang yang kala itu hujan, Mas Hidayat memutuskan bergabung dengan saya yang sedang mencari Mas Wisnu.
“Saya mau cari teman saya Mas, katanya dia di Pos masuk area Bromo. Gabung aja Mas?” tawaran saya ke Mas Hidayat
“Oi Mas Wisnu.” teriak saya ketika melihat sosok laki-laki berkupluk ini.
“Maaf ya lama, kemaren ga ada sinyal di Ranu Pane. Kenalin Mas Hidayat, kenalan di terminal tadi.”
Acara kenalan selesai, kami bergegas menuju loket pembayaran dan berunding mau cari penginapan dan sewa jeep atau tidak. Dan kami bersepakat untuk tidak melakukan keduanya.
Saya yang memang penasaran dengan Suku Tengger mencoba membuka pembicaraan dengan seorang Mba-mba panitia acara. Hingga pada akhirnya obrolan saya berlanjut dengan salah satu petugas kehutanan. Berjam-jam kami bertiga ngobrol mengenai Tengger, Konservasi, dan Edelweiss. Terima kasih untuk cerita tentang Tengger dan kesempatan menanam edelweisnya Pak. 🙂
***
Malam beranjak ketika obrolan kami sudahi di kantor kehutanan. Kami pamit untuk mengisi perut kemudian melanjutkan jalan menuju Pura Poten. Belum lama kami berjalan Mas Hidayat mencoba peruntungannya memberhentikan mobil pick up. Alhasil, kami boleh nebeng hingga Pura. Hemat energi, hemat biaya banget nih. Ini pengalaman saya nebeng kendaraan. Asik juga 🙂
Sampai di Pura Poten gerimis bukannya mereda malah bertambah deras. Banyak warung tenda berdiri dan menjajakan minuman dan makanan hangat kala itu. Masyarakat setempat pun mengadakan hiburan dengan bermain musik hingga menyalakan api unggun untuk mengusir hawa dingin. Saya seperti sedang menyaksikan pasar malam dilautan pasir Bromo malam itu.
Di dalam Pura Poten, sudah berjajar para dukun yang akan mengikuti acara Yadnya Kasada Bromo dan banyak warga Tengger yang membawa sesaji datang dan pergi. Mereka datang untuk berdoa dan memohon doa kepada dukun, kemudian membawa sesaji itu untuk dilempar ke kawah.
Asap dupa yang membumbung, udara lembab, dan hujan membuat nafas saya sesak. Diantara derasnya hujan, puluhan kamera siap membidik mengabadikan peristiwa yang hanya dilakukan sekali dalam setahun di purnama kedua belas penanggalan Jawa ini.
Yadnya Kasada berasal dari kata “Yadnya” yang berarti kurban suci dan “kasada atau kasodo” yang berarti bulan kedua belas.* Acara ini sendiri merupakan perayaan bentuk dari rasa syukur atas karunia Sang Hyang Widhi Wasa yang mereka terima serta penghormatan kepada leluhur Sang Hyang Dewa Kusuma dan berlangsung di Pura Poten Bromo.
Setiap desa menyediakan ongkek sebagai tandu sesaji. Selain itu, setiap warganya pun menyediakan sesaji masing-masing untuk nantinya di lepar ke kawah Bromo. Sesaji-sesaji itu dapat berupa hasil pertanian, peternakan, dan masih banyak lagi. Ada yang dibawa dalam bungkusan tertutup maupun terbuka berupa keranjang.
Doa berlangsung cukup lama di Pura Poten. Diguyur hujan semalaman dengan suhu 11 derajat celcius cukup membuat frustasi juga. Hujan yang bertambah deras, mata yang kantuk di sepertiga malam serta asap dupa yang menyengat, membuat saya lemah.
“Keluar aja yuk. Engap banget nih, hujan pula. Cari yang anget-anget dan neduh.” ajak saya
Kami memilih untuk keluar Pura dan diam di warung-warung tenda hingga prosesi pelemparan ongkek dimulai menjelang pukul lima pagi.
Berduyun-duyun orang-orang dari berbagai usia keluar dari Pura dan menyusuri pasir Bromo yang hanya diterangi obor. Ongkek yang berukuran sangat besar dari berbagai desa pun diangkut dengan berjalan kaki. Warga ikut menggiring prosesi tersebut bahkan wartawan pun tak kalah ramai untuk mengabadikan peristiwa ini.
“Semalem ga lihat sampai beres Mba di dalam Pura?” tanya bapak petugas kehutanan yang semalam kami temui
“Engga Pak, ngantuk. Didalam acaranya apa saja sih pak selain berdoa?” tanya saya
“Biasanya ada pemilihan dukun baru juga. Tapi tahun ini tidak ada dukun yang diganti.”
Yang menarik lagi dari acara ini adalah, saat melepar sesaji ke kawah, di mulut kawah sudah terdapat beberapa orang yang akan menangkap dan mengambil sesaji itu.
“Itu kok ada yang bawa kambing ya dari arah puncak?”
“Iya, kan abis dilempar ada yang ngambilin lagi dari warga yang lain terus dibawa pulang.” Mas Wisnu yang berhasil samapai ke bibir kawah menjelaskan
“Loh kok, gue jadinya ngerasa ini acara sedekah dan bagi-bagi rezeki sesama orang Tengger ya. Tapi pakai ritual dulu. Unik yah.”
Pulangnya, kami berhasil nebeng pick up lagi, walau sebelumnya harus berjalan kaki cukup jauh dulu. Pengalaman yang sangat menyenangkan bagi saya.
Terima kasih Mas Wisnu dan Mas Hidayat menjadi teman melek semalam suntuk diacara Yandnya Kasada Bromo. Salam hangat dari Kota Hujan 🙂
Nyadar ga kalau warna baju kita bertiga senada? haha 🙂
Mari berkelana, bahagia!
4 comments
Petualangan yg seruu abiz…..mudah2an bisa ngetrip bareng lagi.sukses slalu buat enengnunuz
Semoga bisa bertemu di kalimantan..:)
artikel bagus, sangat bermanfaat. terimakasih. saya juga ada artikel lain : http://news.unair.ac.id/2020/08/11/ukuran-keluarga-pada-suku-tengger/
terima kasih. thanks for sharing your article. 🙂