Pertama kali mendengar Pulau Angso Duo, pikiran saya langsung melayang menuju Provinsi Jambi. Yang saya tahu, Angso Duo itu ikonnya Provinsi Jambi. Tapi pulaunya ada di Pariaman, Sumatera Barat. Ada cerita apa dibalik Angso Duo? Akhirnya saya searching-lah di Mbah google yang serba tahu.
Menurut cerita rakyat, Jambi dahulu kala menjadi bagian dari Kerajaan Pagaruyung dibawah kekuasaan Majapahit. Konon katanya seorang puteri bernama Selaras Pinang Masak, melepaskan sepasang angsa di Hulu Sungai Batanghari. Ia membiarkan angsa itu pergi dan berhenti pada daerah yang angsa tersebut kehendaki. Nah, di daerah tersebutlah akhirnya Sang Puteri mendirikan Istana Melayu Jambi sebagai ganti dari Istana Pagaruyung yang ia tinggalkan.
Versi lainnya nih, sekitar tahun 1500-an seorang Raja Orang Kayo Item menikahi Mayang Mangurai puteri dari Temenggung Merah Mato dari Sumatera Barat (Pagaruyung). Sebagai hadiah mereka diberi sebuah Perahu Kajang Lako dan sepasang angsa. Mereka diminta melepaskan angsa itu di Sungai Batanghari dan mengikuti angsa itu pergi. Jika angsa itu berhenti dan bertelur, maka di sanalah mereka harus membuat kerajaan baru (sumber).
Atau versi lain lagi yang saya baca di instagramnya @info_seputar_jambi, bercerita bahwa pemangku adat Melayu Jambi dari Gujarat menikahi Puteri Selaras Pinang Masak, kemudian mempunyai anak yang salah satunya adalah Orang Kayo Hitam. Nah, Orang Kayo Hitam ini menikahi Mayang Mangurai dengan versi pernikahan yang sama dengan cerita diatas.
Terlepas dari cerita rakyat tersebut dan bagaimana hubungan antara Jambi dan Pariaman seperti apa, Pulau Angso Duo ternyata cantik dengan pasir putihnya. Ga nyesel pagi buta udah ngejar kereta dari Padang menuju Pariaman. 🙂 🙂 🙂
Sekitar pukul 05.20 WIB, saya dan Eva bergegas meninggalkan kosan kami di Jalan Minahasa 3, Jati, menuju Stasiun Padang. Kereta Api Sibinuang yang akan kami tumpangi akan berangkat dari Stasiun Padang Pukul 05.45 WIB. Kami bergegas memesan kendaraan online untuk bisa sampai ke stasiun tepat waktu.
“Pak, ke Stasiun Padang. Kami mengejar kereta paling pagi ke Pariaman Pak.” saya berujar kepada supir online agar ia mempercepat laju kendaraan
Untungnya Padang ga ada macet kayak di Bogor. Jadi kami hanya butuh kira-kira sepuluh menit untuk sampai di stasiun, sesuai dengan yang diprediksi google map.
Saya segera berlari menuju loket penjualan tiket kereta.
“Tiket ke Pariaman, Duo Uni.” saya berusaha berbicara dalam logat minang
“Bisa tidak kursinya dekat jendela dan kami berhadapan?” saya meminta kursi agar kami bisa sama-sama merasakan pemandangan disepanjang jalan.
“Ngga bisa, ini karcisnya sudah dicetak.” Ia menjelaskan dengan logat minang
“Oh, kalau begitu, nomor kursinya saja yang berdekatan.” pinta saya kembali
“Terima kasih.” Saya menyerahkan uang sepuluh ribu untuk dua tiket KA Sibinuang menuju Pariaman
Satu setengah jam berlalu dan hati saya masih berdebar karena saking senangnya bisa naik kereta di Pulau Sumatera dan menginjakan kaki di Pariaman. Mungkin ini yang dirasakan anak kecil ketika ia berhasil melakukan sesuatu untuk pertama kali. Bangga! Haha
“Sesenang itu saya naik kereta.” unggah saya di media sosial 🙂 🙂
Sesampainya di Stasiun Pariaman, kami memutuskan untuk bertanya kepada penjaga loket perihal pembelian tiket untuk sore hari. Karena kami memang berniat hanya menghabiskan waktu di Pariaman hingga petang.
“Uda, untuk tiket sore hari, kereta terakhir bisa dibeli kapan?” tanya kami
“Nanti jam setengah tiga. Itu untuk tiket jam setengah 5 sore.”
Setelah mendapatkan informasi yang kami butuhkan, sarapan adalah tujuan kami berikutnya. Kami memilih katupiak sayur yang gerobaknya terparkir didepan sebuah ruko pasar di depan stasiun. Saya pikir makan apa itu, ternyata ketupat sayur. Ejaan dalam tulisannya saja yang beda. Hahaha
Sambil menyantap ketupat sayur, kami sempat mengobrol perihal pantai yang akan kami datangi dengan Uda penjual ketupat. Kami pun ditawari beberapa tukang ojek untuk pergi ke penakaran penyu yang lokasinya tak terlalu jauh dari Stasiun. Tapi kami tolak, karena kami sudah punya tujuan pertama yang ingin didatangi.
Ketupat dalam piring sudah habis, waktunya kami berangkat menuju tujuan pertama. Ternyata, Pantai Gandoriah itu persis di dekat stasiun, dibelakang stasiun persis malah. Bahkan pintu masuknya melewati rel kereta ga jauh dari stasiun.
“Ya Allah ini mah deket banget ya.” Ujar saya
Karena masih pagi, sekitar pukul 8, Pantai Gondariah terlihat lengang. Hanya ada kami, dua wanita yang bingung mau kemana, beberapa penjual, dan pemilik kapal.
Seorang pemilik kapal menawarkan kami untuk menyeberang ke Pulau Angso Duo. Tawar menawar hargapun kami lakukan. Tapi harga tak bisa turun juga, 40K/orang biaya untuk menyeberang pulang pergi dan retribusi di pulau harus kami keluarkan. Tak apa lah, itu masih termasuk dalam kisaran harga yang teman saya informasikan. Kapan lagi kan ke Pulau Angso Duo 🙂
Tak lama kapal yang akan kami tumpangi tiba. Penumpangnya hanya kami berdua dan kami merasa memiliki kapal pribadi.
Kurang lebih 20 menit waktu yang diperlukan untuk menyeberang. Syukurlah ombak pagi itu masih tenang, hingga ketupat sayur dalam perut tidak keluar lagi lewat mulut.
Kami kegirangan begitu sampai di Darmaga Pulau Angso Duo. Pulaunya bagus, punya pasir putih, air yang berwarna jernih biru toska, dan area pulau yang bersih. Ga nyesel sudah memilih menyeberang ke pulau ini.
Baca Juga: Museum Adityawarman
Kami sibuk mengambil gambar satu sama lain hingga berkali-kali, mumpung masih teduh dan sepi. Karena hasrat ingin pipis, saya mencoba mencari toliet. Toiletnya berada agak jauh dari dramaga dan posisinya tepat didepan Surau yang bersisian dengan Makam Syekh Katik Sangko. Wih, ngedenger kata makam jangan ngeri dulu lah. Makam tersebut memang dikeramatkan, banyak orang yang ziarah ke pulau ini. Tapi, pemandangan dan fasilitas yang ada di pulau ini sudah tertata dengan baik untuk wisatawan.
Baca Juga: Pantai Air Manis
Semakin siang, pulaunya semakin ramai. Saya berjalan meyusuri pantai pasir putih, mencoba mengelilingi pulau seluas kurang lebih satu hektar ini. Saya melihat banyak fasilitas-fasilitas umum yang telah dibangun di Pulau ini, tak hanya toilet dan Surau. Fasilitas tersebut meliputi taman, penginapan-penginapan, gazeboh-gazeboh untuk beristirahat, spot foto berlatar tulisan angso duo yang gede banget, mainan anak berupa ayunan dan perosotan, kursi-kursi dipinggir pantai, dan warung warung yang menjajakan makanan ringan hingga berat. Menurut Uda-uda yang saya tanya, katanya harga penginapannya kisaran 250K. Itupun dia jawab sambil becanda.
Tak jauh dari Pulau Angso Duo, terdapat pulau lainnya seperti Pulau Tangah, Pulau Ujuang, dan Pulau Kasiak. Menurut pemilik kapal yang kami tumpangi, untuk Pulau Tengah dan Pulau Ujuang masih belum banyak fasilitas yang dibangun dan jarang juga orang yang berlibur ke sana. Nah, untuk Pulau Kasiak, pulau ini jauh jaraknya dan tidak dibuka untuk umum lagi. Dibuka untuk tujuan-tujuan tertentu saja dan sifatnya rombongan. Karena, biaya menyeberangnya pun tergolong mahal. Bisa kena 100K untuk pulang pergi.
Kalau sudah capek berkeliling pulau, kalian bisa duduk-duduk manis dipelataran warung-warung makanan sambil menikmati es kelapa muda. Asli, seger banget!
Baca Juga : 5 tempat wisata yang layak kamu kunjungi ketika berada di Sumatera Barat
Terus gimana cara pulangnya? Gampang banget, kalian akan diberi nomor kontak pemilik kapal. Jika ingin pulang ke daratan, tinggal telepon. Ia akan mengintruksikan kalian untuk naik kapal apa saja yang berhenti di Pantai Gandoriah. Sepertinya mereka sudah terintegrasi satu sama lain, sesama pemilik kapal.
Gimana, seru kan bermain pasir putih di Pulau Angso Duo?
Lanjut ke Pantai Gandoriah yuk 🙂
Mari berkelana, bahagia!
16 comments
Kereeen… Jadi inget pengalaman ke Sumatara, trus naik speed boot.
Nice share kaka.. Lumayan buat referensi liburan 🙂
Kunjungi juga blogku yaa..
http://lellyfitriana.com
Yuhu Mba… Liburan everyday sih maunya 🙂
Baru tau padang ada kereta
Ada, sih. Sumatera mana aja sih yang ada kereta? jadi pengen nyobain kekeretaan di sumatera.
Keren ka, pengen nyobain naik kereta di sumatera jadinya hehehe.
cobain aja. macem kereta ekonomi sih kalau di Jawa. Cuma sensasinya dan pemandangannya aja beda, naik kereta di sumaterabarat liatnya rumah gadang.
Waah kak Nunuz sudah sampai aja ke sana… Kerennnnn bangettt ya kak? Kalau saya pulang kampung mugi2 bisa mampir ke sana…
Wah Mba Tuti orang sumbar nih?
Ajak-ajak dong kalo kesini
Yukz, kpn2 ngetrip barengan 🙂
Wow, keren banget pantai pasir putihnya.. Tentu juga dengan legendanya yang menarik…
Sumatra emang memesona..
Sayang perjalanan ke Sumatra baru 1x, cuman ke Kerinci sama Gunung Tujuh… hehe
Salam kenal
Wah asik banget ke Kerinci. Saya justru belum pernah ke sana. Soon harus ke kerinci 🙂
Padang itu memang indah Mba, dulu saat kecil saya sering ikut orang tua perjalanan dinas ke Padang, sayang saat itu masih belum kenal sama blog dan fotografi hihihi
Iya, tepatnya sih Sumbar yang indah, ga cuma Padang.
Blog dan fotgrafi rame di era 2000an ya kyknya. hhi
Beberapa tahun lalu saya pernah ke pulau Angso Duo, disitu ada beberapa spot foto dengan properti yang dibuat oleh anak-anak muda sana, terlihat seperti properti ala-ala prewed. Sekarang udah enggak ada lagi yah?
Pengalaman saya ke pulau itu, emang bagus pasir dan lautnya, syukurlah sampai sekarangpun masih bagus,, hehe. Terima kasih ceritanya
Masih ada sih Mba spot itu, kayak ayunana, bangu-bangku, namun sedikit. Atau bisa jadi karena saya ga ke taman bagian dalamnya. Terima kasih sudah mampir di blog saya 🙂