Hari masih gelap ketika saya menginjakkan kaki di Kawah Ijen. Bau belerang yang menyengat sesekali membuat sesak dada saya.
“Mau melihat api biru nya kan mba?” Seorang Bapak yang memandu kami ke tempat ini bertanya
“Mau pak” jawab saya
“Kita harus turun ke bawah mba”
“Ok pak”
Segera bertanya pada adik saya ” Tia, mau ikut ga? kuat ga? masih engap?”
Dengan sigap dia menjawab” Ga ah teh, aku nunggu disini aja, capek”
“Lah, tar disini ama siapa, sendiri ya, aku pengen turun, pengen lihat” rayu saya
“Ih, takut lah”
Kemudian “Tia disini aja sama ka Arif, aku ga turun mba”
Pas denger kalimat itu, berasa ada angin surga. Akhirnya saya turun bersama Fia dan pemandu kami.
Kawah Ijen terkenal dengan Blue Fire-nya alias Api biru, salah satu daya tarik yang membuat para wisatawan asing berbondong-bondong datang ke Ijen. Dibalik Blue Fire yang tersohor, ternyata ada mereka para penambang sedang bertaruh nyawa mengumpulkan bongkahan belerang.
Didekat Blue Fire dengan kepulan asap belerang yang sangat menyengat tersebut mereka menambang rezeki. Menghadapi gempuran asap beracun tanpa pelindung yang aman. Kadang kala mereka tak memakai masker untuk melindungi paru-parunya. Apa mungkin paru-paru mereka sudah terbiasa dan malah teradaptasi?
Penambang belerang ini terhitung “Strong” bagi saya. Bagaimana tidak, setelah menghadapi gempuran asap beracun, mereka juga dihadapkan pada medan yang sulit. Jalan menajak, berliku, dengan beban hampir satu kwintal di pundak tidaklah ringan. Sesekali mereka berhenti melepas lelah, mencari lahan yang pas untuk menaruh keranjang belerang. Keranjang belerang ini tak bisa ditaruh begitu saja di sembarang tempat. Mereka ditempatkan pada batu diantara cerukan, agar mempermudah saat akan diangkut kembali.
Saat berpapasan dengan mereka, saya melihat wajah-wajah yang letih namun tetap bersemangat dan berusaha kuat. Ada penambang yang bahkan sampai menggigit kain, bermandikan keringat padahal udara sangat dingin, dan jalan setapak demi setapak dengan langkah yang amat pendek karena beban yang begitu berat harus mereka pikul. Selangkah demi selangkah yang penting sampai ya pak.
Menurut Bapak pemandu kami, ada sekitar 200 penambang di Kawah Ijen. Dari 200 orang ini tidak semua bekerja dihari yang sama. Waktu menambang mereka di rolling. Jadi tidak setiap hari mereka menambang. Dalam sehari setiap orang memiliki jatah tiga kali mengambil belerang. Itu artinya mereka bolak-balik melewati jalan yang curam serta jalur ke Paltuding yang lumayan jauh ini (sekitar 3 km) tiga kali dalam sehari (3 rit mereka menyebutnya). Jarak Paltuding-Kawah Ijen tempat mereka menambang-Paltuding, saya tempuh kurang lebih 4 jam tanpa beban di pundak. Cukup lama bukan? dan sangat melelahkah pula pekerjaan mereka.
Sekali angkut mereka bisa membawa belerang yang dihargai sekitar 90 ribu (dua kranjang). Itu artinya penghasilan mereka kurang dari 300 ribu per hari. Cukup sebandingkah dengan resiko kerja dan beratnya medan yang mereka tempuh? Padahal Kawah Ijen merupakan penghasil dan pemasok belerang terbesar di Indonesia.
Beban yang berat, resiko kerja yang tinggi, serta bayaran yang entah sepadan atau tidak sepertinya tak menjadikan mereka bermalas-malasan. Mereka tetap bersemangat, saya masih melihat senyum di bibir mereka. Artinya mereka bahagia.
Bagaimanapun hidup yang kita jalani, tak peduli orang lain melihatnya sesusah apa, tak apalah yang penting kita bahagia.
Saya iseng-iseng mencoba mengangkat keranjang belerang yang sedang terparkir, dan hasilnya nihil. Berat banget, ga sanggup, cariel 40L pas naik gunung sih cuma butiran debu dari keranjang belerang yang diangkut penambang-penambang ini. Jadi malu masih suka ngeluh. Mari belajar “Strong” dari para penambang ini, jangan lupa “Tegar”… hehe 🙂
Terima kasih Bapak pemandu kami yang saya lupa namanya. Maaf, saya punya masalah dalam mengingat nama orang.
Cheers,
Nunuz