Cangkuang: Menapaki Jejak Hindu dan Islam di Tanah Sunda

“Jika masa lalu tak pernah ada, bukankan hari ini tak pernah menyapa?”

Hari itu di minggu terakhir di tahun 2015, kami melaju meninggalkan Garut. Hingga pada saat macet mendera, saya melihat papan petunjuk jalan bertuliskan Situ Cangkuang.

“Wah, Situ Cangkuang tuh Bi” saya berujar pada tante saya yang sedang menyetir.

“Bagus ga?”

“Di internet sih bagus” jawab saya singkat

Tiba-tiba kemudi berbelok ke arah kanan “Ayoklah kita ke sana dulu”

Setelah kurang lebih 15 menit melewati jalanan sempit namun dengan pemandangan yang indah, tibalah kami di Situ Cangkuang.

Saya membayar tiket seharga tiga ribu rupiah per orang untuk memasuki kawasan Situ Cangkuang. Pemandangan danau di siang hari, cuaca cerah, rakit-rakit yang berwarna warni, kemudian gunung di kedua sisinya, menjadikan Situ Cangkuang cantik kala itu. Karena memang sedang puncaknya liburan, tempat ini pun tak sepi pengunjung.

Cangkuang sendiri merupakan sebuah desa di Garut-Jawa Barat, tepatnya di Kecamatan Leles. Lokasinya dikelilingi oleh empat gunung yaitu Gunung Guntur, Gunung Haruman, Gunung Kaledong, dan Gunung Mandalawangi. Nama Cangkuang sendiri berasal dari nama tanaman sejenis pandan (Pandnus furcatus) yang memang banyak terdapat disana. Sedangkan Situ Cangkuang sendiri dahulunya membungkus sebuah daratan kecil (Pulau Panjang) di Cangkuang, yang mana di pulau tersebut terdapat sebuah perkampung kecil yaitu Kampung Pulo dan sebuah Candi peninggalan Hindu.

Rakit untuk melintasi Situ Cangkuang
Rakit untuk melintasi Situ Cangkuang

Kami melintasi Situ Cangkuang dengan rakit yang cara menggerakkannya menggunakan sebilah bambu yang ditolakkan ke dasar danau untuk bisa sampai kedaratan kecil ditengahnya. Kemudian kami menyusuri jalanan yang ramai hingga sampai di sebuah gerbang bertuliskan “Selamat Datang di Kampung Pulo”. Saya menebar pandangan ke sekitar, tampaknya sedang ada acara. Ada tenda-tenda semacam sisa acara pernikahan disana.

Mesjid Adat Kampung Pulo
Mesjid Adat Kampung Pulo

Kampung Pulo hanya terdiri dari enam rumah panggung dengan enam kepala keluarga. Sedikit sekali bukan? Lalu kemana penduduk lainnya? Menurut informasi yang saya baca di dunia maya, apabila ada anggota keluarga yang telah menikah, maka ia akan tinggal di luar Kampung Pulo. Mereka bisa kembali ke Kampung Pulo ketika salah satu anggota keluarga ada yang meninggal. Saya masih haus informasi tentang Kampung Pulo, namun sayang suasana yang sangat ramai membuat saya sulit menemukan pemandu atau bahkan penduduk setempat untuk bertanya ini dan itu mengenai Cangkuang dan Masyarakat Kampung Pulo.

“Mengunjungi suatu tempat tanpa mengenalnya dengan lebih detail dan tak bersentuhan dengan penduduknya, terasa kurang berkesan bagi saya. Karena perjalanan terletak bukan hanya pada keindahan panorama semata”

Enam rumah di Kampung Pulo dibangun saling berhadapan, dengan halaman yang luas di depannya, dan tepat setelah pintu masuk terdapat Mesjid Adat Kampung Pulo untuk beribadah. Kok ada mesjid? Itu artinya mereka memeluk agama Islam? lalu mengapa ada Candi Hindu disana?

Tipikal rumah di Kampung Pulo
Bangunan rumah di Kampung Pulo

Saya kemudian melanjutkan langkah kaki menaiki anak tangga menuju Candi Cangkuang yang di sekitarnya terdapat banyak pemakaman, dan satu rumah sejenis museum. Ada satu makam yang berbeda tepat di dekat Candi Cangkuang. Makamnya yang berbeda tentulah menggambarkan sosoknya yang bukan orang sembarangan.

Menurut sejarahnya, dahulu kala sekitar abad ke 17 Masehi ada seorang Senopati Kerajaan Mataram dari Yogyakarta singgah dan menetap di sini. Kalah dari VOC di Batavia tidak membuatnya kembali ke Yogyakarta. Ia memilih menyingkir ke Garut dan menyebarkan Islam kepada masyarakat yang sebelumnya beragama Hindu. Ia kemudian menikahi wanita setempat dan menetap disana. Itu kenapa di samping Candi terdapat sebuah makam kuno yang disebut sebagai makam Arif Muhammad, Sang Senopati tersebut.

Kami mengintari candi tersebut secara seksama, mencari celah untuk mengabadikannya tanpa potret manusia di dalamnya. Tapi nihil, semakin siang semakin ramailah tempat ini. Tempat ini menjadi tontonan semata, Candi Cangkuang hanya jadi background foto saja.

“Peradaban yang ada saat ini adalah hasil dari sebuah peradaban yang kini jadi sejarah. Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Jas Merah. Begitu bukan kiranya ungkapan Bung Karno?”

Candi Cangkuang
Mengabadikan Candi Cangkuang

Candi Cangkuang konon katanya satu-satunya candi di Jawa Barat. Candi ini sendiri, yang merupakan peninggalan Hindu, pertama kali ditemukan oleh seorang Belanda bernama Vorderman, ia mencatat penemuan tersebut dalam sebuah buku Notulen Bataviaasch Genoschap pada tahun 1893. Baru kemudian tahun 1966 tim peneliti Prof. Harsoyo dan Dr. Uka Chandrasasmita menemukan reruntuhan bangunan yang terpendam yang kemudian digali tahun 1974-1976. Batuan-batuan tersebut direkontruksi ulang hingga menjadi Candi Cangkuang yang bisa kita lihat saat ini yang merupakan peninggalan abad ke 8 Masehi. Jadi jelaslah bahwa kira-kira baru empat abad yang lalu penduduk disini mengenal Islam.

Kami kemudian beranjak pergi meninggalkan Candi Cangkuang dan Kampung Pulo. Disekitar area banyak sekali para penjual pernak pernik dan oleh-oleh khas tanah priyangan. Kami terus berjalan hingga menemukan rakit yang tadi kami gunakan untuk menyebrang. Saya duduk ditepian rakit menikmati alam pegunungan yang melingkupi danau ini. Angin semilir menerpa wajah.

Penjual oleh-oleh khas priyangan
Penjual oleh-oleh khas priyangan

“Cangkuang menyadarkan saya bahwa jejak-jejak masa lalu adalah sejarah yang membentuk apa yang bisa kita saksikan dan rasakan saat ini.”

Mengunjungi tempat bersejarah dan mengenalnya, mungkin dapat memperbaiki cara pandang kita terhadap sesuatu dan bagaimana sepatutnya kita bersikap. Mau seperti apa masa depan? Sikap kita yang menentukannya saat ini.

Salam,

Nunuz

4 comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *