Pesona Baduy dalam balutan tradisi

Lebih dari setahun berlalu kala terakhir kali saya berkunjung ketempat ini. Tepat minggu lalu, disela-sela kesibukan, terseliplah warna merah di kalender bulan Maret 2016 di hari Jumat. Waktunya kita berlibur. Saya langsung memutuskan untuk “mudik” ke Baduy. Saya ajak serta kedua teman saya yang kebetulan memang sedang membutuhkan liburan.

Entah untuk kali ke berapa saya berkunjung ke Desa Kanekes ini, maka dari itu saya menyebutnya “mudik”.  Suasana di Baduy sering membuat saya merindu untuk “pulang kampung”. Saya mengambil ponsel untuk menghubungi salah satu kenalan di Baduy Luar, mengabari mereka jika saya hendak kesana.

Jam menunjukkan pukul setengah dua belas siang, ketika elf kami melaju meninggalkan terminal Cimarga, menyusuri jalanan yang tidak begitu mulus melewati perkampungan demi perkampungan hingga akhirnya tiba di Ciboleger. Sebuah kampung perbatasan yang juga berfungsi sebagai terminal pemberhentian kendaraan bermotor.

Saya menerima tas carriel saya dari seorang kondektur elf, dan langsung menyangkutkannya pada bahu-bahu yang sudah saya istirahatkan kurang lebih satu setengah jam. Kami berjalan menaiki tangga demi tangga, melipir sebentar ke warung makan, mengisi perut yang mulai keroncongan. Kami pun berpapasan dengan beberapa orang Baduy Dalam yang sepertinya tengah mengantar beberapa tamu.

Perjalanan kami lanjutkan, hingga pada saat memasuki gerbang selamat datang, saya membaca sepenggal tulisan larangan merokok tertanda Jaro Saija. Saya masih belum tersadar jika Jaro telah berganti hingga kenalan saya Orang Baduy Luar ini bercerita telah ada pergantian jaro lebih dari enam bulan yang lalu.

Sesampainya saya di rumah salah seorang kenalan di Kadu Ketug 3, kami disuguhi buah pisitan yang awalnya saya kira dukuh. Saya sibuk mencicipi pisitan, kemudian bertanya bedanya pisitan, kokosan, dan dukuh. Karena jujur, beberapa hari sebelumnya, saya sempat berdebat dengan seseorang mengenai buah-buah ini.

Saya asik mengobrol dalam bahasa sunda, yang mengakibatkan saya harus jadi translator untuk kedua teman saya. Yang dalam bahasa Indonesia kiranya begini obrolan kami.

“Kalau pisitan sama dukuh, bedanya kulit pisitan lebih tipis dari dukuh dan mulus ga ada titik-titik di kulitnya, getahnya lebih banyak, buahnya sedikit asam, dan bentuknya sedikit lonjong. Kalau dukuh itu lebih tebel kulitnya, buahnya lebih manis, bentuknya lebih bulat.” Ayah Kaldi menjelaskan

“Terus kang bedanya dengan kokosan?” tanya saya lagi

“Nah kalau kokosan beda lagi, warnanya sedikit kecoklatan”

“Agak kuning, coklat gitu ya kang?” jelas saya

“Iya, dan biasanya asem, buahnya dalam satu tangkai banyak, lebih gepeng lagi bentuknya”

Obrolan yang cukup bermutu bukan, belajar taksonomi langsung di lapangan. Ilmu yang kadang tak saya dapat dibangku sekolahan.

Selepas Ashar saya memutuskan berkeliling kampung, melihat kesibukan masyarakat Baduy di sore hari. Biasanya jika sore mereka telah kembali dari huma atau ladang.

Kami berkeliling melihat-lihat kerajinan tenun yang tergantung rapih di pelataran rumah. Warna-warni tergantung cantik bak pelangi. Kami terus berjalan, sesekali berhenti untuk bertanya pada ibu-ibu yang sedang duduk-duduk dipelataran rumah perihal tenun.

Kami pun melanjutkan berkeliling menuju kampung sebelah. Hingga berhenti cukup lama di Kampung Kadu Ketug 2, karena kami penasaran pada sesuatu yang tergantung di salah satu tiang bangunan warung.

“Teh numpang duduk ya?” saya memohon ijin pemilik rumah

“Iya, silahkan”

“Teh ini apaan?” salah seorang teman bertanya

“Itu alat musik”

“Gimana mainnya?”

“Dipukul-pukul aja, itu pakai alat pemukulnya”

“Dipukul gini?” tanya teman saya sambil memukul bagian yang seperti gendang dan cuping.

“Kok ga bunyi ya teh, gimana cara maininnya?” teman saya masih penasaran

“Saya juga ga bisa mainnya” pemilik warung menjelaskan

Hingga pada menit yang entah keberapa setelah uji coba yang terus-menerus gagal, tibalah sang pemilik dan sekaligus pemain alat musik tersebut. Seorang pria, akang-akang suami si teteh, dengan baik hati memperlihatkan pada kami bagaimana alat musik tersebut dimainkan.

Alat yang terbuat dari bambu tersebut bernama celempung dan karending. Celempung berupa bambu utuh kemudian salah satunya di beri karet menyerupai gedang, sedangkan sisi atasnya dibentuk menyerupai senar, namum versi bambu, jadi sedikit lebar dan tebal. Bagian inilah yang dipukul-pukul dengan bambu kecil yang ujungnya berkaret hingga mengeluarkan nada seperti gamelan.

Beda lagi dengan karending yang cara membunyikannya dengan ditiup di bagian sisi berongga. Alat ini lebih kecil, diukir mirip kujang. Alat ini mengeluarkan nada menyerupai dengungan. Ini kali pertama saya mendengarkan musik khas Baduy selain angklung.

Saya pun mencoba memainkannya, kami bertiga berkolaborasi membunyikan alat-alat musik ini hingga harmoni. Alat musik ini bisa mengiringi lagu-lagu sunda hingga lagu dangdut. Kami asik bermain musik hingga petang menjelang dan pagelaran musik pun terpaksa diakhiri.

“Baduy selalu memberi pengalaman berbeda disetiap waktunya. Itu mengapa saya selalu ingin kembali dan kembali lagi.”

Fajar menjelang di hari kedua kami di Baduy. Hari ini kami hendak berkunjung ke Jembatan akar. Jembatan yang memang terbuat dari lilitan akar dua pohon yang saling bersebrangan diatas sungai Cisimeut. Jembatan ini cukup tersohor dikalangan pengunjung, dan mereka selalu menyempatkan diri berfoto disini ketika kembali dari Baduy Dalam. Jembatan ini berlokasi tak jauh dari Kampung Batara. Sebuah perkampugan Baduy yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama kurang lebih 3 jam dari Kampung Kadu Ketug 3.

Saat trekking menuju Kampung Batara, kami disuguhkan pemandangan padi-padi yang menguning, siap untuk di panen.

“Sekarang lagi musim panen” jelas Ayah

Tak hanya panen padi, tampaknya masyarakat Baduy sedang panen pisitan, kokosan, dan dukuh juga. Sepanjang jalur trekking saya mendapati pohon-pohon ini penuh buah yang sudah menguning, memohon untuk dipanen.

Wajah-wajah gembiran bercampur lelah terpancar dari teman-teman saya. Sesekali mereka bertanya kampung mana saja yang telah kami lewati. Mengingat semua bentuk kampung dan rumah hampir serangam.

“Kadu Jangkung, Kadu Gede, Karahkal, Ciwaringin, Garendeng, Garehong. Ya kurang lebih enam kampung lah. Tenang tinggal Batara kok, nyampe deh ke Jembatan Akar” tutur saya sembari memberi semangat.

Kami melintasi jembatan yang terbuat dari besi dan sampai di Kampung Batara. Suasana sepi nampaknya memang selalu menjadi ciri khas perkampungan Baduy. Banyak rumah yang ditinggal penghuninya berladang dari pagi hingga petang hari atau bahkan berminggu-minggu karena mereka sibuk merawat padi. Apalagi sedang musim panen seperti saat kami berkunjung sekarang ini.

Suara air deras mulai menyapa pendengaran kami, tanda sungai sudah dekat.

“Itu jembatan akarnya” tunjuk saya pada akar yang berpilin diatas sungai.

Kami bergegas mendekat, kemudian mulai mengabadikannya dalam bantuk digital. Kami diam cukup lama, menikmati sunyi, udara segar, derasnya arus sungai, dan dinginnya air membasahi jemari kaki kami yang letih. Beberapa camilan dan bekal pun mendarat di mulut kami.

Saya mengingat perjalanan yang baru saja dilakukan. Mengingat bagaimana wajah anak-anak Baduy sedang bermain, kemudian malu-malu ketika saya meminta mengambil gambarnya. Melihat bagaimana kakek-nenek duduk berdua di pelataran rumah saling menjaga, karena sang nenek sedang sakit. Merasakan bagaimana sulitnya menaiki bambu untuk mengambil gula aren, karena saya nekat mencoba menaiki bambu tersebut walaupun menyerah pada tangga kedua.

Saya turut merasakan pula bagaimana letihnya mengangkut hasil panen menaiki dan menuruni bukit, hingga bisa dinikmati dalam sepiring nasi. Dan yang lebih mengesankan bagi saya, akhirnya saya tahu darimana asalnya kolang kaling yang biasa tersaji sebagai kudapan berbuka puasa di Bulan Ramadhan. Kolang kaling berasal dari buah aren, meskipun beberapa ada yang berasal dari buah mangrove.

Tradisi yang terpelihara mengajarkan pada mereka bagaimana mengolah alam dengan cukup bijaksana. Kepatuhan akan Sunda wiwitan serta pikukuh karuhun nampaknya mampu membentengi arus modernisasi yang terus bergerak menawarkan perubahan. Kehidupan yang dinamis seiring dengan perubahan zaman nampaknya sedang mereka alami namun dengan tidak melupakan tradisi.

Dari mereka saya belajar mensyukuri setiap apapun yang Tuhan beri dihidup ini.  Karena semua yang serba instan di dunia yang konon modern, nyatanya tak luput dari kehidupan tradisional yang sarat akan makna. Semuanya saling mengisi kekurangan satu sama lain dalam menjalankan fungsi masing-masing di dunia ini.

“Karena perbedaan bukan untuk diperdebatkan, tapi dihayati dan dipelajari.”

Kami menaruh gadget dalam tas masing-masing, karena memang sedang ada gangguan sinyal selama kami di sana. Namun, nyatanya saya bersyukur untuk itu. Kami jadi tidak sibuk dengan dunia maya, hingga lupa dunia nyata. Kami berbicara satu sama lain tentang banyak hal. Hingga ada satu kalimat yang bagus terlontar dari Ayah.

“Dalam diri manusia ada dua, yaitu air dan api. Keduanya tidak boleh saling menguasai. Harus imbang.”

Saya kiranya dapat menangkap maksud kalimat tersebut. Manusia memiliki dua sisi dalam hidupnya, dua emosi; amarah dan sabar, dua sikap; baik dan buruk. Berusahalah untuk menekan amarah, belajar bersabar. Jika perbedaan yang menyulutkan api amarah, belajarlah untuk menjadi air yang mendinginkan dengan sikap toleransi yang mendamaikan.

Hari itu, kami tak dapat berkunjung ke Baduy Dalam, karena sedang Kawalu Tengah. Saat bulan kawalu selama tiga bulan berturut-turut Baduy Dalam ditutup untuk pengunjung. Mungkin lain kali saya ingin mengajak teman-teman saya kembali “Menyelami Baduy Sekali Lagi”, dari sisi lainnya dimana fajar malu-malu muncul dari balik bukit nan asri.

Mari berkelana, bahagia!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *