“Iman adalah hal yang hampir tidak terdefinisi. Karena ketika yakin, dan seseorang bertanya padamu mengapa yakin. Kamu hampir sulit menjabarkan alasan-alasannya”
Hari itu hujan rintik-rintik mengantar saya pada sebuah tempat ibadah di Kaki Gunung Salak. Tempat dimana manusia-manusia menyembah Tuhan yang mereka yakini dalam ritual-ritual keagamaan. Saya selalu tertarik melihat orang-orang beribadah, apalagi jika ritual tersebut berbeda dengan agama yang saya anut, seperti menyaksikan waisak.
Saya mohon ijin agar bisa memasuki kawasan Pura Jagatkarta pada seseorang di pintu masuk, agar bisa melihat-lihat pura terbesar di luar Pulau Dewata ini. Saya menghampiri seseorang yang sedang duduk bersila di gazebo di Palinggih Ratu Gede Dalem Ped Gunung Salak, sebuah bangunan untuk berdoa. Saya menyapanya dan mengajaknya berbincang-bincang.
“Permisi pak, saya boleh ambil foto-foto disini?” saya menyapanya
Dengan sopan ia menjawab “Silahkan”
“Pak memang diatas ada bangunan lagi ya?” sembari saya tunjuk sebuah tangga munuju bangun yang tak terlihat jelas.
“Ada, kalau mau sembahyang boleh kesana” ujar bapak tersebut
“Saya boleh?” karena jelas saya berbeda keyakinan dan jilbab saya menjadi pencirinya
“Boleh, tidak apa-apa jika mau sembahyang. Hanya tak boleh mengambil foto saja”
Rasa penasaran sebenarnya ingin saya tuntaskan dengan naik kebangunan teratas. Tapi saya takut mengganggu. Saya putuskan untuk berjalan-jalan dipelataran saja, dan meminta ijin untuk mengabadikannya dalam megabyte.
Saya mendapati beberapa keluarga yang datang untuk beribadah. Perempuan-perempuannya menggunakan kebaya dengan bawahan kain. Sedangkan laki-lakinya menggunakan sejenis safari dengan bawahan kain dan tak lupa ikat kepala. Saya mengamati mereka dari semenjak datang hingga mengakhiri sembahyang.
Saat hendak menaiki tangga dan memasuki kawasan Pura, mereka melepas alas kaki dan menyipratkan sedikit air dalam kendi pada wajah masing-masing. Fungsinya mungkin mensucikan.
Kemudian berjalan menuju Palinggih Ratu Gede Dalem Ped Gunung Salak untuk bersimpuh duduk, mengangkat tangan kemudian berdoa.
Mereka mulai meniti anak tangga disisi kiri menuju mandala utama. Yang jika telah usai sembahyang mereka turun dari anak tangga disisi kanan.
Terakhir sebelum hujan mengguyur dengan deras, saya menyaksikan mereka yang telah turun dari mandala bergerak menuju sebuah patung gajah. Saya mengamatinya dalam sunyi, dalam hening dan dinginnya kaki Gunung Salak. Wajah-wajah berseri terpancar jelas meski rintik hujan telah berubah lebih deras.
Saya melihat isi kotak kecil yang sedari tadi mereka bawa. Kiranya ini yang mereka bawa untuk sembahyang. Beberapa panganan yang biasa kita konsumsi dalam kehidupan sehari hari.
Melihat orang beribadah menjadi pengalaman berbeda dalam hidup saya. Menyadari jika perbedaan itu memperkaya.
“Kamu yakin Tuhan itu ada?”
“Saya yakin, tapi saya tak yakin persepsimu dan aku sama akan Tuhan.”
Sebuah tanya jawab diakhir novel supernova Kesatria, Puteri dan Bintang jatuh, menyentil saya akan sebuah keyakinan.
Dia ada, setidaknya dalam perwujudan kemungkinan-kemungkinan, yang jika kita hitung dengan matematika, statistika dan jangkauan ilmu manusia hal tersebut tetap tak mungkin terjadi. Dia dipikiran saya sekarang, yang untuk menyentuhnya saya ujarkan harapan saya dalam doa, sembahyang.
Saya yakin Dia ada. Persepsi kita yang berbeda akan Tuhan itu seperti apa, terwujud dalam ritual-ritual keagamaan yang berbeda pula. Namun tujuannya sama, menanam dan menuai kebaikan.
How to go there?
Rute angkot di Bogor berubah sejak April 2016. Jadi jika hendak kesana dari Stasiun Bogor, naiklah angkot 02 atau 03 ke arah Gunung Batu, kemudian dari Gunung Batu naik angkot ke arah pertigaan Pancasan, dan selanjutnya naik angkot Virus atau BFC kearah Curug Nangka.
Saat ini jika berkunjung kesana, kita akan diarahkan kebagian sebelah kanan, dan menikmati megahnya Jagatkarta dari sisi kanan saja.
Tabik,
Nunuz
*Foto diambil tahun 2013
1 comment