Haru membuncah ketika pada akhirnya saya bisa menginjakan kaki ditempat ini. Tempat yang membuat saya jatuh hati dalam ketidaktahuan sejak delapan tahun silam. Jatuh hati pada imajinasi betapa indahnya tempat ini saat saya membaca buku 5 cm.
Mungkin bagi orang lain untuk sampai ke tempat ini begitu mudah, open trip tersebar dimana-mana sejak tempat ini dijadikan lokasi syuting. Tinggal beli tiket perjalanan, transfer duit, packing, dan brangkat. Ga perlu repot-repot toh, terlihat mudah, dan seperti tak beresiko.
Tapi tidak untuk saya, dua kali gagal berangkat ke tempat ini, sempat bikin patah hati dan ga mau berandai-andai dulu untuk bisa menginjakan kaki di Ranu Kumbolo. Apalagi sampai mendaki ke puncak Mahameru, menyiapkan mental dan memastikan diri untuk tidak merepotkan orang lain bukan perkara mudah bagi saya.
Tahun ini, tiba-tiba rezeki itu datang. Teman saya akan menikah di Jawa Timur dan ada upacara Kasada di Bromo, yang sudah saya incar beberapa tahun yang lalu akan berlangsung di tanggal yang berdekatan. Jadilah sekalian jalan mari kita mencoba peruntungan sekali lagi.
Akhirnya saya memutuskan untuk memasukan Ranu Kumbolo sebagai salah satu tujuan saya dengan status tentatif, karena jujur saya belum tahu akan ke sana dengan siapa.
Tapi nasib ternyata berkata lain. Banyak kawan banyak rezeki, begitu kiranya yang terjadi pada saya. Tujuh belas Juli 2016, sekitar pukul 19.30 WIB, saya tiba di Ranu Kumbolo, disambut dengan langit yang cukup cerah menjelang purnama.
Awalnya kami hanya hendak pergi ber tiga, kebetulan salah satu kawan sudah pernah pergi ke sana, kemudian berkembanglah menjadi lima, dan hingga pas hari H pendakian menjadi ber sembilan. Dari mulai tidak tahu akan pergi dengan siapa, hingga pada akhirnya di sinilah kami bersembilan kini berada. Ranu Kumbolo, surganya Gunung Semeru. Jaring-jaring pertemanan yang entah bagaimana caranya, mempertemukan kami (Saya, Fia, Mas Adhi, Ayah, Mas Ari, Mas Peto, Bang Manto, Bang Berto, dan Kancut).
Perjalanan Ranu Pani ke Ranu Kumbolo kami tempuh dalam waktu kurang lebih empat jam. Kami berjalan cukup santai karena tak ada yang hendak kami kejar. Udara cukup dingin kala itu, namun makanan hangat buatan koki handal Bang Berto yang berduet dengan Bang Manto, menyelamatkan perut yang keroncongan. Saya bersyukur saat dini hari turun hujan, jadi udara terasa lebih hangat. Tapi ternyata tidak untuk Fia, birthday girl kita malam itu kedinginan.
Hujan ternyata tak jua berhenti hingga siang hari, Ranu Kumbolo digulung kabut, meski sesekali ia muncul kepermukaan. Kami memutuskan untuk tidak melanjutkan diperjalanan ke Kalimati. Ranu Kumbolo kami pilih untuk menghabiskan waktu semalam lagi.
“Gue udah nyampe Ranu Kumbolo aja seneng banget fi” tutur saya pada Fia
“Sama kak, akhirnya gue nyampe sini juga kak” jawab Fia
“Seneng bisa lihat Ranu Kumbolo sedikit sepi. Ga suka ke gunung tapi rame, gue kangen gunung yang sepi.” saya menjelaskan
Saya tak keberatan menghabiskan semalam lagi di Ranu Kumbolo. Kapan lagi saya merasakan keseruan mendaki bersama para guide-guide dan koki profesional ini. Kapan lagi saya bisa puas berfoto-foto, berkeliling Ranu Kumbolo, menyaksikan ia ramai, sepi, ramai lagi, serta melihat para pendaki yang datang dan pergi.
Nampaknya Doa saya terwujud, tangan Tuhan sedang bekerja. Saya benar-benar merasa sedang berlibur ala koper kala itu. Seperti merasakan trip Naik Gunung dengan fasilitas VVIP. Loh kok bisa?
Tak kan lari gunung dikejar, tak kan kemana puncak didaki. Tak usah memaksa jika alam tak merestui.
Naik gunung itu perjalanan hati, perjalanan untuk belajar berkomunikasi dengan semesta lewat sepi. Setidaknya itu versi saya.
Dua hari dua malam di Semeru, saya ngapain aja? Nanti saya ceritakan ditulisan berikutnya ya.
Mari berkelana, bahagia!
5 comments