Penat dengan rutinitas yang itu-itu saja, membawa saya kembali ke tempat ini, Perkampungan Suku Baduy.
Bertolak dari Bogor menggunakan KRL, kami (Saya dan Eva), tiba di Stasiun Tanah Abang. Titik temu kami dengan Fia, salah satu kawan yang ikut serta Get Lost kali ini.
“Fia. Hampir aja gue ma Eva kelewatan dong turunnya.” adu saya ke Fia
“Loh kok bisa.”
“Iya nih kita keasikan ngobrol dan curcol.” jelas saya
“Btw, kita masih sempat nih pake Kereta Kalimaya buat ke Rangkasnya. Keretanya jam 4 sore, mana KTP kalian.” saya terburu-buru menjelaskan.
Kami berlarian menaiki tangga dengan tas besar dimasing-masing punggung kami.
Tiket sudah ditangan, Rangkasbitung saya kembali.
Kereta melaju meninggalkan ibu kota, satu setengah jam kemudian kaki-kaki kami telah menjejaki jalanan Kota Rangkasbitung.
“Selamat datang di Rangkasbitung, Eva, Fia. Ditempat gue menghabiskan masa SMP dan SMA.”
Kami berjalan terus mengambil arah kiri dari pintu keluar stasiun, berbelok ke arah Barata/Rabinza. Satu-satunya Mall di Kota ini.
“Kita belanja logistik dulu di sini. Karena besok pagi ga mungkin sempet. Abis itu kita makan Mie Uun.” ajak sama pada mereka.
Logistik sudah. Waktunya Mie Uun. Mie paling terkenal di Rangkasbitung.
“Waktu SMA, gue sering makan Mie ini, buat gue sih enak.” cerita saya ke Eva dan Fia
Terdengar nostalgia SMA ya.. haha 🙂
***
Esok hari, kami bergegas menuju Barata, tempat dimana Elf yang akan kami tumpangi berada. Menurut supirnya, Kang Asep, Elf akan berangkan jam setengah 6 pagi. Tapi jam 5.15 WIB, kami telah ditinggalkan Elf Kang Asep. Kamu tega Kang, padahal kita udah janjian 🙁
Usut punya usut, hari itu, supir yang bawa Elf bukan Kang Asep. Tapi orang lain, dan dia main tinggalin kita aja. Padahal Kang Asep sudah berpesan kami bakalan naik Elf pagi itu. hiks 🙁
Ini bukan kali pertama saya tertinggal Elf sih saat ke Baduy, jadi ya sudahlah begitu adanya. Nikmati saja.
Bapak-bapak yang saya tanya mengenai keberadaan Elf menawarkan untuk menaiki angkotnya untuk bisa ke Ciboleger. Akhirnya kami memutuskan naik angkot.
Jam 6.00 WIB, kami meninggalkan Rangkasbitung yang masih sepi, menyusuri jalan berlubang, berdebu, nan berkelok-kelok menuju Ciboleger. Bekal nasi merah, serta lauk pauk untuk sarapan yang kami beli sambil menunggu angkot berangkat gagal kami lahap dalam perjalanan.
Pukul 7.30 WIB, kami tiba di Ciboleger. Kami langsung menyusuri tangga, menuju Kadu Ketug 3, desa tempat kenalan saya, orang Baduy Luar tinggal. Kampung ini semakin ramai dibanding setahun yang lalu. Hampir tiap rumah menjajakan kerajinan khas Baduy, terutama Tenun Baduy. Tenun-tenun berwarna-warni menggantung dipelataran rumah yang berjajar rapih. Membentuk lorong warni-warni seolah menjadi ruang selamat datang yang menawan.
Kampung terlihat sepi dibeberapa sisi. Ternyata mereka sedang berkumpul disalah satu rumah warga yang hendak melaksanakan hajatan nikah pekan depan.
Lokasi rumah pemangku hajat yang bertetangga dengan tempat kami akan menginap, membawa keuntungan tersendiri bagi kami. Jadi bisa ngobrol-ngobrol dan melihat proses persiapan mereka yang tengah membuat adonan kue wajik dan uli.
***
Siang hari kami berkeliling kampung Kadu Ketug 3. Saya hendak mengunjungi kenalan saya yang lain di rumahnya. Sembari kami melihat-lihat tenun-tenun yang tergantung manis yang kami lihat ketika memasuki kawasan Baduy.
“Kak gue mau makan Top Ramen ya.” Eva yang penasaran sama mie merk ini mengingatkan saya.
“Iye tar gue cariin Top Ramen. Lu penasaran banget sama Top Ramen. Emang enak sih, murah lagi.” ” jawab saya sambil tertawa.
Saat kami berkeliling, ada rombongan datang dengan jumlah yang sangat banyak memenuhi kampung.
“Wih kok mendadak rame nih. Melipir ke rumah belakang aja yuk, kita makan Top Ramen.” ajak saya
“Teh, mau Top Ramen lah.” pinta saya pada Teh Adah.
“Teu aya Nuz. Meuli heula kaditu ka landeuh. Ke dimakaskeun ku Teteh.” yang dalam Bahasa Indonesia “Ga ada Nuz. Beli dulu sana kebawah, Nanti dimasakin sama Teteh.”
Kami kebawah membeli Mie Top Ramen. Ia harus Top Ramen, ada yang penasaran gitu dengan rasa mie yang murah meriah ini.
Misi Makan Top Ramen Eva, Terlaksana. Tepuk tangan 🙂
***
Sore hari, selepas hujan reda, kami meninggalkan kediaman kenalan saya.
“Teh balik nyah. Rek muter deui neangan gelang jeung tenun yeuh.” dalam Bahasa Indonesia
“Teh balik yah, Mau muter lagi mencari gelang dan tenun nih.” saya pamit
Saya mampir disebuah rumah yang banyak memiliki tenun-tenun. Kalaplah kami di sana. Tenun dan gelang-gelang itu terlalu cantik untuk tidak berpindah tangan.
“Kak, gue mau bikin gelang ya, yang pas ditangan.” Misi Eva berikutnya
“Iye tar itu di Baduy Dalam. Besok.” 🙂
***
“Kang, kita lewat Balimbing ajalah. Ga apa-apa lewat tanjakan kabayang juga, yang penting jalannya ga becek.” pinta saya pada Kang Saidam.
Sebenarnya bukan cuma menghindari jalanan becek, saya juga menghindari tanjakan demi tanjakan yang silih berganti jika memilih jalan lain. Kalau lewat Balimbing, hanya akan ada 3 tanjakan tajam untuk bisa sampai di Cibeo. #sampaihafalgue
“Kita lewat Balimbing aja ya, biar dikit tanjakannya, tapi kampung yang dilewati banyak.” penjelasan saya kepada dua orang teman yang baru pertama kali ke Baduy ini.
“Tapi tar kita lewat tanjakan cinta, sebutan gue untuk tanjakan kabayang. Karena saking panjangnya, dan selalu terbayang macem si cinta.”
“Okeh deh.” jawab mereka kompak
Sekitar jam sepuluh kami beranjak meninggalkan Kadu Ketug 3 menuju kampung-kampung berikutnya yang akan kami lewati untuk tiba di Cibeo. Kampung Baduy Dalam, tempat kami akan menginap. Sepanjang perjalanan kami banyak menemukan leuit atau lumbung padi.
Tanjakan pertama kami lalui dengan mulus, tibalah kami di Balimbing, sebuah kampung yang berada di lembah. Jalanan mendatar kami lalui untuk sampai ke Marengo dan Gajeboh. Tepat di Kampung Gajeboh, kami berhenti cukup lama.
Kami berfoto-foto diatas jembatan yang menjadi ikon kampung ini.
“Yuk, jalan lagi takut hujan.” ajak saya.
Perjalanan dilanjutkan menuju kampung berikutnya yaitu Cicakal Muara. Jalanan sedikit menanjak kami lalui dengan mulus kembali. 🙂
Beberapa warga kami temui sedang sibuk menenun, bahkan membuat pola kain tenun.
Wajah-wajah lelah sudah tampak dari kami, keringat becucuran. Tepat setelah kampung Cicakal Muara, kami mendapati tanjakan yang aduhai.
“Muka lu pucet Va. Udah istirahat dulu lah. Ngemil nih.” sambil saya sodorkan beberapa camilan padanya.
Namun, ternyata Mba ini butuh Nasi alias Sangu untuk mencharger energi. Dan sialnya, mana ada Sangu diatas bukit.
“ya udah, lu tidur dulu aja deh, biar energinya balik.” dan dia beneran tidur. 😛
Kami melanjutkan perjalanan empat puluh menit kemudian. Menuju dua kampung Baduy Luar, sebelum kemudian memasuki kawasan Baduy Dalam.
Kami melewati Kampung Cipaler dengan rumah-rumah berundaknya memasuki kampung yang saya lupa namanya, dan beristirahat cukup lama di sana. Makan siang dengan Mie Sukses, agar sukses sampai di Cibeo. Dan ternyata benar, kami sukses melewati Tanjakan Kabayang, alias Tanjakan Cinta dan sampai Cibeo dengan selamat, sehat santosa di sore hari. Kami membutuhkan waktu 6 jam perjalanan santai untuk sampai di Cibeo.
Cibeo ramai sore itu, oleh mereka yang berkunjung, maupun warga setempat. Rupanya sedang ada prosesi lamaran di Balai Pertemuan, sehingga hampir seluruh warga Cibeo pulang kampung dari huma/ladang masing-masing untuk prosesi itu. Kami beruntung bisa mengunjungi Cibeo disaat seperti ini, berkeliling dan berinteraksi dengan anak-anak yang asik bermain tanah dipinggiran rumah.
“Ayah, pang jeuhkeun gelang nu kadong kieu, tapi nu pas dileungeun.” pinta saya pada Ayah Narja.
yang dalam Bahasa Indonesia “Ayah, tolong buatkan gelang seperti ini, tapi yang pas ditangan.”
Misi Gelang Baduy Eva, terlaksana. Sedangkan punya saya dan Fia, gagal.
***
Kami mendapati seorang wanita Baduy sedang menggosok kulitnya dengan sabut kelapa di Sungai. Kulit kuning langsat nan bersih wanita itu membuat kami penasaran untuk mencobanya.
Kami meminta sabut kelapa dari wanita Baduy tersebut dan mengikuti caranya mengosok-gosok di kulit.
“Kita bisa putih dan bersih macem gitu ga nih.”
“Haha, ngarep ya. Kalau bisa kita ganti lulur kita pake sabut kelapa.”
“Besok-besok gue coba kali ya di kosan. Lebih alami lagi.” obrolan wanita yang ga jauh-jauh dari kulit yang lebih bersih.
***
Malam beranjak, namun udara yang kami rasa tak terlalu dingin. Hingga kami berani menyentuh air sungai dimalam hari. Jalan bertiga berbekal lampu senter, membuat kami terseok kesana-kemari.
Malam itu banyak pria-pria Baduy berkumpul di sekitar Balai Adat, acara lamaran ternyata masih berlangsung hingga malam hari.
Beberapa cahaya kecil mengintip dari balik semak belukar ketika malam hari. Baru ketika menjelang subuh saya berani mendekat kearah cahaya kecil itu. Dan ternyata itu jamur fluorenscent, jamur serupa yang pernah saya temui di Gunung Halimun.
***
Saat cahaya matahari mulai menyapa, kami telah meninggalkan Cibeo untuk bergegas kembali ke tempat asal.
***
Bagaimana menuju Baduy?
Kalian bisa menggunakan pilihan angkutan berikut untuk bisa get lost ke Baduy
Tanah Abang-Rangkasbitung: KA Kalimaya (15K) atau Rangkas Jaya (5K)
Tanah Abang-Maja: Commuter line dilanjutkan kereta lokal rangkasbitung
Angke/Duri-Rangkasbitung: KA Rangkas Jaya (5K)
Rangkasbitung (di depan Barata)- Aweh: Angkot (4-5K)
Aweh-Ciboleger: Elf (25K) atau
Rangkasbitung (di depan Barata)-Ciboleger: Elf atau Bus Rudi (25K)
Bisa juga pakai Ojeg di depan Stasiun Rangkasbitung langsung ke Ciboleger: 50K
Nah, Option terakhir kalau udah kepepet banget tuh. Kalau sudah tertinggal semua angkutan diatas.
Mari berkelana, Bahagia!
5 comments
Kalo guide lokalnya berapa mba ? Sama semalam di Baduy kena berapa
setau saya, di sana ga ada tarif guide resmi mas. Saya harga persaudaraan mas, jd lupa berapa. Udah kyk sodara banget yg nganternya. hehe
Kak, kalau ke sana perorangan bisa ga ya? Tanpa guide?
Bisa kok dateng perorangan. Kalau bisa ga tanpa guide saya kurang tau. Saya selalu pake guide.