Simple Miracles Karya Ayu Utami: Antara Doa, Arwah, dan Tuhan

Seperti karya-karya sebelumnya yang sering kali berseri, yaitu Dwilogi Larung dan Saman, Trilogi Si Parsit Lajang-Cerita Cinta Enrico-Pengakuan Eks Parasit Lajang, dan Seri Bilangan Fu, maka kali ini Ayu Utami mengambil tema yang berbeda untuk seri terbarunya. Mengusung tema spiritualisme kritis, Simples Miracles menjadi karya pembuka diseri ini.

Apa itu Spiritualisme kritis?

Spiritualisme kritis adalah penghargaan terhadap yang spiritual tanpa mengkhianati nalar kritis. Masih bingung?

Baiklah akan saya ceritakan tentang buku ini. Buku ini terdiri dari tiga Bab, yaitu Hantu, Tahun, dan Tuhan, yang setiap Babnya terdiri dari banyak cerita. Buku ini adalah kisah nyata dari penulis, sehingga karya ini tak lain adalah perjalanan bertanya jawab perihal hidup, mati, arwah, Tuhan, keajaiban, dan doa. Beberapa hal dalam hidup mungkin tak mampu kita nalar dengan logika, namun keberadaannya kadang tak bisa dipungkiri.

Semua bermula ketika ia nyekar ke makam nenek, kakek, dan pamannya. Waktu itu ia masih kecil dan diminta berdoa oleh Sang ibu. Kemudian ia mempertanyakan berdoa untuk apa. Kemudian Sang ibu menjawab agar simbah dan pakde masuk surga?

Kemudian pertanyaan demi pertanyaan bermunculan untuk apa hidup kalau akhirnya akan mati. Doa dan arwah apa hubungannya, dan lain sebagainya. Lalu apa hantu? Pertanyaan-pertanyaan itu tumbuh bersama bertambahnya usia.

Pada Bab HANTU. Ia berkenalan dengan kelahiran, arwah, keajaiban, dan kematian.

Awalnya ia mendapatkan cerita tentang hantu dari bibi dan juga kakaknya yang bernama Cecilia.  Tapi ia meragukan hal tersebut. Hingga lahirlah keponakan yang bisa melihat A’um sejak masih balita.

Lewat keponakannya yang bernama Bonifacius, Ayu Utami pada akhirnya berdialog mengenai apa yang bisa dilihat Bonifacius tapi tak bisa dilihatnya. Arwah. Ia pun pernah menguji coba apakah Bonifacius berbohong atau tidak dengan suatu metode wawancara yang bisa menyakinkannya bahwa keponakannya tersebut tidak sedang berbohong. Bahkan, ketika Sang Ayah meninggal, Bonifacius menjelaskan bahwa saudara-saudara kekeknya tersebut telah datang menjemput.

Sang penulis juga menyadari bahwa cinta kasih sang ibu yang religius menghadirkan keajaiban-keajaiban dikehidupan keluarga. Sepanjang cerita banyak sekali keajaiban yang tak bisa dipungkiri kehadirannya.

Keajaiban adalah saat kita mencapai keselamatan (atau kebahagiaan) dengan cara yang tidak kita prediksi sebelumnya. Kadang keajaiban itu begitu sederhana sehingga kita tidak mau mengakuinya.

Pada Bab TAHUN. Ayu banyak berkisah mengenai perubahan zaman, sikap kritis, budaya, ritual, doa, kuasa, cinta, dan iman.

Ia mencoba membahas bagaimana seseorang mempertanyakan dan menalar Tuhan, mempertanyakan ritual keagamaan yang berbeda-beda, dan perihal doa dan iman. Ia menguji pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan nalar yang bisa kita pahami.

Pelan-pelan aku belajar, ada perbedaan ditingkat ekspresi, tetapi ada persamaan di tingkat esensi.

Pelan-pelan aku belajar, ada persamaan dalam esensi, meski ada perbedan dalam substansi.

Doa bukanlah hukum. Doa adalah cinta dan keindahan.

Imanmu menyelamatkanmu. Tapi iman juga bisa mencelakakanmu.

Di akhir Bab, yaitu TUHAN.

Pada awal bab ini Sang penulis mendapatkan teka-teki standar ganda.

Tidakkah suatu standar ganda jika ibuku skeptis tentang hantu tetapi beriman tentang Tuhan?

Persamaan hantu-hantuan dan tuhan-tuhanan adalah keduanya tidak bisa dibuktikan secara obyektif. Mereka juga suka membikin takut orang. Perbedaannya, hantu itu jangka pendek, Tuhan itu jangka panjang. Begitulah persamaan dan perbedaan yang agak bodoh.

Bab ini banyak bercerita tentang kondisi Sang ibu yang sakit, kemudian sembuh ketika diajak ke Lourdes. Ibunya yang diprediksi akan meninggal di hari jumat pukul delapan oleh Bonifacius. Juga tentang doa-doa ibunya yang berwujud nyata.

Jika mukjizat datang, mungkin ia memang datang tanpa sensasi.

Untuk hal-hal yang tak bisa diverifikasi, aku memilih berdoa.

Doa bermurah hati pada yang lemah. Doa tidak menuntut orang menjadi kuat.

Hal-hal tersebut pada akhirnya membuat ia berdoa agar bisa mendampingi ibunya menyambut ajal.

Tuhan, perkenankanlah aku menemani ibuku saat ia menjemput ajal…

Kejadian demi kejadian dalam hidup memperlihatkan beberapa hal jika terjadi bersama-sama akan menciptakan makna baru. Dan, keajaiban hanya bisa difahami oleh mereka yang memiliki sistem makna.

Kau bisa menggunakan nalar kritis untuk mencatat peristiwa-peristiwa dan menyaring informasi gaib dari para pelihat. Ini jalan yang kupilih.

Buku ini menjelma sebagai perjalanan spiritual dari Ayu Utami yang masa kanak-kanak menjadi sosok yang religius, kemudian sekular diawal 20-an hingga 40-an, sampai berakhir di spiritualisme kritis.

Penasaran? mending baca aja deh bukunya.

Mari berkelana lewat kata 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *