Saya baru tahu bahwa selain Kota Hujan, Bogor memiliki julukan sebagai “Kota Pembela Tanah Air.” Bagaimana hal itu bermula?
Ternyata, pada zaman dahulu kala, zaman dimana Indonesia belum merdeka, zamannya kita masih dijajah tentara Jepang, zaman emak bapak belum berojol, Bogor menjadi pusat pelatihan tentara Peta alias Pembela Tanah Air.
Singkatnya, Peta merupakan satuan tentara sukarelawan bentukan Jepang pada 3 Oktober 1943. Nah, tentara ini awalnya digunakan Jepang untuk mempertahankan wilayah jajahan mereka di Indonesia. Intinya pada saat itu Jepang terdesak karena adanya Perang Pasifik. Dan…. keluarlah tuh Osamu Sarei No. 44, kalau kata kitamah surat keputusan kali ye, untuk membentuk tentara sukarela yang diberi nama Kyōdo Bōei Gyūgun. Tapi, di sisi lain, Peta banyak melakukan pemberontakn dan malah menjadi alat untuk memerdekakan diri menjadi Negara Indonesia.
Pusat pelatihannya di Bogor atau disebut Jawa Bōei Gyūgun Kanbu Resentai. Dulunya tempat ini merupakan bekas markas Koninklijk Nederlandsh(ch)-Indische Lager (KNIL) atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda. Nah, tempat ini sekarang menjadi Museum Peta dan masih menjadi Pusat Pendidikan Zeni.
Saat memasuki gerbang museum, saya menyaksikan banyak sekali relief-relief para tentara Peta di dinding gedung. Melihat tulisan-tulisan yang tertera, seperti Syodancho, Chudanco, Daidancho, Budancho, Gyuhei, mengingatkan saya pada novel Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan.
Seorang petugas mendatangi saya saat sedang membaca peraturan untuk melakukan kunjungan dimuseum ini.
“Mau masuk museum Mba?” tanya beliau pada saya
“Oh iya Pak, bisa ga ya? soalnya di sini katanya harus pakai surat izin?” saya memastikan informasi yang baru saya baca di kertas yang menempel di loket pembayaran
“Berapa orang Mba?” tanyanya kemudian
“Berdua aja kok Pak. Bisa?” lanjut saya menjelaskan
“Bisa kok. Nanti tinggal bayar tiket aja. Dari mana Mba?”
“Oh deket kok Pak. Dramaga. Saya sudah lama di Bogor tapi belum pernah berkunjung kesini. Pengen tau aja.”
“Oh deket itu mah. Mahasiswa ya.”
“Iya Pak.” kemudian saya menanyakan perihal tiket
“Bayar berapa ya Pak?”
“Oh nanti bayar di kantor 10 ribu per orang.”
“Baik Pak, terima kasih. Saya tunggu teman dulu.”
Ketika teman saya tiba, kami segera masuk dalam ruangan museum sebelah kanan untuk membayar tiket. Seorang Ibu paruh baya menyambut kami.
“Kalian mau main aja kan? Bukan tugas kuliah?”
“Iya bu, main saja.”
“Oh ya sudah. Ini selebaran mengenai Museum ini dan kalian boleh mulai berkeliling dari ruangan seberang nanti masuk ruangan ini sampai ujung. Bisa berdua saja kan? ga perlu pemandu?”
“Kami sepakat menjawab bisa. Ga usah Bu.”
Pembangunan Museum Peta dimulai 14 November 1993 oleh Umar Wirahadikusuma dan diresmikan pada bulan Desember 1995 oleh Presiden Soeharto.
Kami memasuki ruangan sebelah kiri jika dari pintu masuk. Kami disambut banyak sekali benda-benda mulai dari papan yang bertuliskan percakapan presiden Soekarno dengan pihak Jepang terkait pembentukan tentara kemerdekaan.
Selain itu, terpajang pakaian-pakaian tentaran Peta dan senjata-senjata yang digunakan disertai jabatan yang ada dalam tentara Peta ini. Mulai dari Komandan Peleton (Syodancho), Komandan Kompi (Cudancho), Komandan Batalyon (Daidancho), Komandan Regu (Budancho), dan Gyuhei (Prajurit). Semuanya tersusun apik dan resik.
Baca juga : Sehari Menjadi Turis Lokal di Kota Bogor (Bagian 1): Museum Perjuangan
Saya sibuk menyelami jenis-jenis jabatan yang ada, karena sekali lagi yang teringat novel karya Eka yang melibatkan tokoh seorang Syodancho.
“Jadi si Syodancho dalam Cantik Itu Luka jangan-jangan tentara Peta?” pertanyaan itu berputar-putar dibenak saya
Kami kemudian melongok diorama-diorama yang mengisahkan perekrutan tentara Peta. Tentara Peta berasal dari Jawa, Madura, dan Bali. Perekrutan dilakukan di asrama Daidan (Batalyon) di daerah-daerah setempat, yang kemudian disusun dalam regu-regu, kemudian pleton-pleton. Calon-calon perwira tersebut melakukan latihan kemiliteran di Lembaga Pendidikan di Bogor, yang merupakan Kawah Candradimuka.
Saya dan Fia sibuk membaca informasi dan mendiskusikan hal tersebut.
“Jadi Peta itu cikal bakal militer, tentara yang ada saat ini ya?” kami saling bertanya-tanya satu sama lain
“Baca lagi yuk.” kami pun sibuk membaca keterangan-keterangan yang terpampang di sana
“Ga kebayang gue kalau hidup di zaman penjajahan.” Fia tiba-tiba berujar ketika melihat salah satu diorama yang penuh luka.
“Sama Fi, gue juga. Dan kita hidup di zaman kayak gini aja udah banyak ngeluh.”
Kami melanjutkan berkeliling menyelami satu persatu diorama yang ada diruangan-ruangan tersebut. Melihat betapa besar perjuangan mereka untuk bisa memperoleh kemerdekaan Indonesia. Mereka juga terlibat dalam pembentukan Badan Keamanan Raykat (BKR) kemudian Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Diorama-diorama yang tertera di Museum Peta ini berjumlah empat belas, berkisah dari A sampai Z. Dari mulai Peta terbentuk sampai lahirnya TNI-AD pada 15 Desember 1945. Serta peristiwa-peristiwa penting selama masa-masa mereka berkiprah. Mulai dari pemberontakan di Blitar, peristiwa di Yogyakarta, Malang, hingga pengambilan alih markas angkatan darat Jepang di Jawa Timur, dan Peristiwa di Ambarawa.
“Banyak yang ga ada dibuku sejarah sekolah nih.” kata Fia
“Iya ya, gue aja kaga pernah denger tuh nama orang yang itu, apa gue lupa ya. Padahal dia bagian penting dari Peristiwa Proklamasi Indonesia.” kami sama-sama menunjuk sebuah papan bertuliskan nama-nama perwira.
Pandangan saya kemudian beralih pada senjata-senjata api yang berbaris rapih di sana. Pada samurai yang menjadi saksi bisu sebuah perjanjian untuk menyelesaikan pemberontakan.
“Liatnya aja gue horor nih senjata.” gumam saya.
Hari itu saya senang, karena bisa main ke museum lagi. Iya, main ke museum yang pada akhirnya ingin saya agendakan rutin. Efeknya bagus banget sih bagi saya. Sedikit banyak jadi melek sejarah dan bisa memicu rasa ingin tahu saya terhadap informasi yang saya dapatkan. Jadi bisa searching sana-sini perihal kondisi bangsa ini di zaman dahulu.
Buat kalian yang berminat untuk mengunjungi museum ini, berikut caranya:
Transportasi:
Jika dari Stasiun Bogor, kalian bisa menggunakan angkot ke arah air mancur dengan biaya 5K atau kalian bisa menggunakan transportasi online langsung tagging Museum Peta dengan biaya sekitar 6-9K. Museum Peta berada di area Komplek Zeni.
Waktu Kunjungan dan Tiket:
Senin-Jumat Pukul 08.00-15.00 WIB
Tiket: 10K/orang
Untuk rombongan, kalian harus mengirim surat izin kunjungan terlebih dahulu. Apa saja yang harus ada disurat tersebut, Please cek this picture.
Do and Don’t there:
- Berpakaian rapi dan sopan
- Tas dititipkan ke petugas museum
- Tidak boleh membawa makanan ke ruang museum
- Tidak boleh membawa senjata api, tajam, dan obat-obatan terlarang
- Tidak boleh menyentuh benda koleksi museum
- Harus mengikuti petunjuk petugas dan pemandu
- Harus tertib ya 🙂
- Baca selengkapnya di Picture ya 🙂
Sudah siap main-main ke museum, yuk kita main bareng 🙂
Mari berkelana, bahagia
6 comments
Baru tahu saya kalo di Bogor ada museum ginian..
Nice inpoh mbak..
Iya, saya pun baru tahu setahun belakangan ini. Haha
Terima kasih informasinya, Mbak. Saya salah satu yang masih senang berkunjung ke museum. Kalau kata Pak Karno sih “Jasmerah” – Jangan sampai melupakan sejarah… Hehehe.
Suatu saat pasti mampir ke museum ini.
Salam, Asyik ya bisa main alat musik tradisional Jawa. Sembari nguri-uri kebudayaannya 🙂
Salut buat effort-nya, mbak.
Kebetulan saya juga suka kebudayaan Jawa, terutama wayang orang dan kulit. Jadi kalau kangen dengerin gending Jawa langsung melipir nonton pementasan wayang.
Kunjungan perdana ke blog-nya mbak nih 🙂
Salam, https://jelajahlangkah.wordpress.com/
Waah, maaf… Komennya dobel. Abaikan yang sebelumnya, Mbak. Maaf 🙂
Senang sekali berkunjung ke museum ya, Mbak. Saya juga masih mengagendakan untuk berkunjung ke museum tiap kali ada kesempatan.
Jasmerah kata Bung Karno – Jangan sampai melupakan sejarah 🙂
Salam, https://jelajahlangkah.wordpress.com/
hai Mas Yokhana, salam kenal. Emang kayaknya berkunjung ke museum harus jadi menu wajib kalau traveling deh. Biar Jas Merah 🙂