Menjadi menu wajib bagi saya menggunjungi museum ketika saya berkelana ke suatu kota. Kebiasaan itu baru-baru ini saya lakukan, sekitar kurang lebih satu tahunan ini lah ya. Saya banyak merasakan manfaat dari berkunjung ke museum sebelum berkunjung ke tempat lain di kota yang saya singgahi. Ibaratkan membaca karya ilmiah, saya membaca abstraknya terlebih dahulu untuk tahu gambaran secara keseluruhan. Baru deh, setelah tahu gambaran umumnya seperti apa kota yang sedang disinggahi, saya memutuskan kemana kaki ini sebaiknya melaju.
Dibawah teriknya mentari Kota Padang, saya berjalan meyusuri bangunan demi bangunan yang beratap meyerupai tanduk kerbau, bagonjong namanya. Saya memasuki sebuah museum di jantung kota ini. Tepatnya Museum Adityawarman yang berlokasi di Jalan Dipenogoro No. 10 Kelurahan Belakang Tangsi, Kecamatan Padang Barat, Kota Padang, Sumatera Barat.
Bangunan yang diresmikan pada tanggal 16 Maret 1977 ini awalnya diberi nama Museum Negeri Propinsi Sumatera Barat. Kemudian berganti nama menjadi Adityawarman pada tanggal 28 Mei 1979. Adityawarman sendiri berasal dari nama seorang raja di Minangkabau dari trah kebangsawanan Majapahit. Museum ini difungsikan sebagai tempat menyimpan dan melestarikan benda-benda bersejarah yang berasal dari Minagkabau, Mentawai, bahkan Nusantara.
Memasuki bangunan berupa rumah gadang yang dilengkapi lumbung padi (rakiang) disisi kanan dan kirinya, saya mulai menjelajah memasuki abad ke 18.
Sejarah Pers
Pada bangunan utama ini, kita akan disajikan berbagai koleksi surat kabar dari masa ke masa sejak abad ke 18-an. Mulai dari surat kabar berbahasa Belanda hingga Melayu. Pada area ini juga, kita diperkenalkan dengan para jurnalis-jurnalis atau pers yang lahir di ranah minang. Selain itu, terdapat berbagai koleksi mesin ketik, kamera, radio, perekam suara, bahkan mesin cetak surat kabar yang jadul abis.
Hingga tulisan ini saya buat, saya baru tahu jika “Sejarah Pers” ini sifatnya sebagai pameran yang akan berakhir di bulan Juli 2018 ini. Wah, saya beruntung sekali bisa berkunjung saat masih pameran. Karena banyak sekali informasi yang saya dapat mengenai perkembangan surat kabar di Propinsi ini.
Saya sampai berpikir, pantas saja orang sini kalau jadi penulis maupun pencipta lagu, karyanya bagus-bagus, mereka terbiasa menulis. Mengingat saya baru selesai membaca Karya A. Fuadi dan mengagumi setiap lirik dalam lagu-lagu penyanyi favorit saya, Tulus.
Khasanah Koleksi Museum Adityawarman
Menuruni tangga ke lantai dasar, kami disajikan beragam koleksi pakaian adat, perhiasan, kerajinan tangan baik dari anyaman maupun batok kelapa, keris-keris, hingga alat musik khas Minangkabau. Selain itu, pada lantai dasar ini juga terdapat beberapa koleksi terkait dengan penemuan-penemuan fosil manusia purba di Nusantara. Terdapat pula pedang-pedang, grabah-grabah, dan keramik-keramik khas Etnis Tionghoa. Tak lupa awetan-awetan hewan yang terdapat di Propinsi Sumatera Barat.
Memasuki lantai dasar ini, berasa lagi makan gado-gado. Semua serba ada! Tapi yang jelas nih ya, perhiasan-perhiasan Khas Minangkabau, motifnya cantik-cantik 😉
Arsitektur Tradisional Minangkabau
Meninggalkan bangunan utama, kami memasuki area yang berisi berbagai macam arsitektur tradisional Minangkabau. Memasuki area ini, saya disambut dengan replika sebuah surau yang unik, memiliki menara yang tinggi ditengah-tengahnya. Melihatnya, saya jadi teringat kisah anak ratau yang tidur di lantai teratas surau dari bukunya A. Fuadi.
Baca juga: Merantau Ke Ranah Minang Bersama Anak Rantau-A.Fuadi
Saya pun baru tersadar bahwa rumah gadang bermacam-macam bentuknya. Mulai dari rumah gadang bapakserek, pasisie, kajang padati, datuak bandaro kuniang limo kaum, atap stasiun, atap tungkuih nasi, hingga rumah tua kampai nan panjang.
Selain itu, diruangan ini juga terpajang berbagai alat yang digunakan untuk pembangunan rumah gadang, berbagai ukiran khas Minang, hingga aksara tradisionalnya. Jadi sudah tahu kan kalau rumah gadang itu ga mesti punya atap bagonjong atau menyerupai tanduk kerbau.
Habis ini keliling Sumbar motoin rumah gadang kali ya? sambil belajar filosofinya 🙂
Bencana Kota Padang
Ada yang ingat gempa hebat yang memporak-porandakan Kota Padang 2009 silam?
Jika kalian berkunjung ke Museum Adityawarman, kalian akan bisa melihat bagaimana peristiwa itu bisa membuat air mata kalian menetes begitu saja. Pada satu ruangan, beberapa foto dokumentasi bencana tersebut terpajang rapi. Didampingi beberapa tulisan kecil sebagai keterangan disalah satu sisinya.
Melihatnya saya tak kuat berlama-lama. Ada rasa ngeri, takut, cemas, sedih, yang menghantui perasaan. Mengingat beberapa waktu belakang ini intensitas gempa sedang meningkat tak jauh dari tempat tinggal saya.
Semoga mereka yang telah pergi, tenang diharibaan Ilahi. Aamiin
Pameran Budaya Mentawai
Lagi-lagi saya beruntung, karena sedang ada pameran mengenai Budaya Mentawai di Museum ini. Asli langsung kalap ngeliat foto-foto dan koleksi yang dipajang. Dalam hati langsung bilang “Gue harus research ke sana!”
Cerita sedikit tentang Mentawai, suku ini menghuni Kepulauan Mentawai di Sumatera Barat, yaitu pulau Pagai Utara, Pagai Selatan, Sipora, dan Siberut. Mereka hidup dipedalaman didekat hulu sungai dengan tipikal rumah panggung yang mereka sebut Uma (rumah komunal atau rumah suku). Ada berbagai jenis tempat tinggal selain Uma, yaitu Lalep yang dihuni keluarga inti dan Rusuk atau Sapou yang dihuni keluarga muda, janda atau duda dan yang terusir dari kampungnya.
Baca juga : Bertemu Malin Kudang di Pantai Air Manis
Melihat berbagai foto yang menggambarkan kehidupan orang Mentawai, melihat replika rumah, alat-alat yang mereka gunakan untuk menyokong kehidupan, kemudian membaca informasi-informasi yang terpajang rapih tersebut, rasanya tak sabar ingin segera bisa kesana dan melihat mereka dalam nyata.
Suku yang terkenal dengan tato yang merajah dihampir seluruh bagian tubuh termasuk wajah ini memiliki kepercayaan yang disebut Arat Sabulungan. Mereka percaya bahwa semua benda memiliki jiwa seperti manusia. Selain itu, mereka juga memiliki roh di alam semesta ini, yaitu Taikamanua (roh di langit), Taikpola (Roh yang tinggal di bumi), dan Taikabaga (Roh dibawah tanah). Agar roh-roh tersebut tidak mengganggu maka diadakan upacara yang dipimpin oleh Sikerei.
Baca Juga: 5 tempat wisata yang layak kamu kunjungi ketika berada di Sumatera Barat
Oh ya, sistem kekerabatan mereka yang patrilinealatau garis keturunan ayah juga berbeda dengan sistem kekerabatan yang dianut masyarakat Minangkabau. Seperti yang kalian ketahui, Minangkabau menganut sistem kekerabatan yang matrilinealatau garis keturunan ibu. Banyak hal kan yang menarik dari Suku Mentawai ini, yang pastinya seru untuk digali dan pelajari.
Makin penasaran dengan Mentawai? Untuk pemanasan cukuplah berkunjung ke museum ini dulu. Kemudian baru kita turun lapang 🙂
Info Penting:
Tiket: 3K/orang
Jam Oprasional: Selasa-Minggu Pukul 08.00-16.00 WIB
Mari berkelana, bahagia!
6 comments
Mentawai, sama-sama tinggal di Sumatera Barat tapi adat istiadatnya sengat berbeda dengan main land ya Mbak. Saya juga pengen banget ke Mentawai 🙂
Iya bener banget Mba, mereka beda banget baik fisik maupun kebudayaannya. Siapa tau bisa main bareng ke sana ya Mba. 🙂
Wih beruntung banget Mba, pas ke sana lagi ada pameran pers. Bisa ditiru nih hobinya kalau main² ke luar kota untuk berkunjung ke museum yang ada di kota yang kita kunjungi hehehe.
iya, kyknya museum jd menu wajib deh. Jadi knln dulu sama daerahnya. 😉
Aku juga sering ke museum kalau mengunjungi daerah. Seru dan banyak insight yang didapat
Seru ya main ke museum. Tapi, yg di Jakarta belum semua berhasil dikunjungi nih.