Sebelum saya menyelesaikan pendidikan dijenjang tertinggi, saya sudah berencana untuk mengambil jeda dalam hidup. Saya mau istirahat dari tempat bernama Kampus. Saya membutuhkan ruang sendiri untuk merenung, melakukan hal-hal baru, keluar dari zona nyaman, traveling, dan menilik lagi apa yang ingin saya lakukan di masa depan. Saya memutuskan meninggalkan Kota Hujan dengan segala kenangan dan pembelajaran selama sebelas tahun lamanya.
Di awal tahun 2019 ini, saya ingin bercerita banyak hal tentang hidup yang dijalani sepanjang tahun yang telah berlalu. Tentang mimpi yang lambat laun memudar dan kehilangan arah. Tentang rasa sabar yang diuji terus menerus tanpa jeda. Tentang keputusan yang tak pernah bisa dimengerti oleh sebagian besar manusia yang saya temui. Tentang pertemuan yang mengingatkan saya untuk menjadi manusia yang lebih baik. Tentang harap dan doa yang diam-diam malah terwujud. Tentang hati yang berpulang pada rumah yang sebenarnya.
- Ternyata tak mudah menjadi seorang Guru SD
Akhir 2017, saya memutuskan untuk bergabung dengan sebuah gerakan pendidikan yang bertujuan membantu perbaikan pendidikan di pelosok Banten. Saya, yang merupakan putri daerah merasa terpanggil dengan gerakan tersebut. Kemudian, saya mendaftar, melakukan seleksi, dan akhirnya terpilih. Jadi relawan pendidikan setelah lulus adalah salah satu yang memang ada di wish list saya.
Per Desember 2017, resmilah saya menjadi Relawan Pengajar di Gerakan Banten Mengajar Batch 5. Sebelum terjun ke lokasi penempatan, saya beserta relawan yang lain diberi pelatihan selama satu setengah bulan. Selain itu, kami pun bergotong royong mencari dana untuk membiayai gerakan ini.
Minggu ke tiga di Bulan Januari 2018, tibalah saya di Kampung Rorah Badak, Cibitung, Kabupaten Pandeglang. Tiga minggu kedepan, saya akan tinggal bersama masyarakat di sini, berbaur bersama mereka, melakukan kegiatan-kegiatan positif. Selain itu, saya pun menjadi guru sekolah dasar di sana. Sebuah profesi yang bahkan saya hindari sejak dahulu kala. Bosan aja, keluarga saya rata-rata guru sih. 🙂
Apa rasanya jadi Guru SD?
Sulit, tampaknya satu kata itu yang paling tepat menggambarkan betapa besarnya tanggung jawab seorang guru SD. Apalagi guru SD di daerah, yang ke sekolah saja harus berkendaraan cukup jauh atau bahkan berjalan kaki di medan yang sulit. Fasilitas yang serba terbatas, peran orang tua yang minim, kesadaran akan pentingnya pendidikan yang tak kalah memprihatinkan menjadikan tugas guru menjadi berlipat-lipat. Belum lagi kendala rasa “Malas” jika kondisi hujan besar, jalanan becek berlumpur. Ah, rasanya saya pun hanya ingin sembunyi saja didalam selimut.
Selama menjadi guru, saya mendapati kenyataan bahwa betapa sulitnya mengajari seorang anak untuk mengenal huruf dan angka, serta membaca, menulis, dan berhitung. Sempat tercengang lantaran ada anak yang menulis huruf dengan terbalik. Mengerutkan dahi ketika mendapati tulisan tanpa spasi padahal sudah dikelas yang tinggi. Hingga saat salah seorang guru di sana bertanya, apakah mau jadi guru? Dengan cepat saya menjawab mau jadi dosen saja 🙂
Saya banyak melakukan diskusi dan tentunya melakukan pengamatan selama di sana. Masalah pendidikan di pelosok tuh terbilang kompleks. Pendidikan tak hanya berbicara mengenai fasilitas sekolah dan kepiawaian guru untuk mengajar. Melainkan lebih dari itu, menyangkut masalah sosial budaya dan ekonomi. Sehingga untuk menyelesaikannya, kita dituntut untuk merunutkan mana sebab mana akibat untuk memutus rendahnya pendidikan di pelosok. Pekerjaan seperti ini, tak bisa diselesaikan dalam waktu setahun dua tahun, apalagi oleh saya yang hanya tinggal tiga minggu di sana.
Saya hanya bisa menularkan kebiasaan baik kepada mereka dengan membuka taman baca setiap harinya. Tingginya antusiasme dari anak-anak di sana untuk bermain dan belajar, memberikan saya secercah harapan untuk hari yang lebih baik untuk mereka.
“Saya percaya, jika kita mampu mengubah pendidikan menjadi kebutuhan, bukan keharusan, sesulit apapun keadaannya, mereka akan berusaha untuk mendapatkannya.”
Semoga tahun 2019 saya bisa kembali kesana, untuk melanjutkan yang tertunda menghidupkan taman baca. Ada yang mau bergabung? Kamu bisa intip kegiatan saya saat menjadi relawan di instagram @gbm.rorah_badak
- Menjadi manusia di Museum Multatuli
Saya mendapati sebuah tulisan “Tugas Manusia Adalah Menjadi Manusia”, ketika memasuki Museum Multatuli yang kala itu baru saja diresmikan. ‘Multatuli’ tak asing lagi ditelinga saya yang pernah menghabiskan waktu selama enam tahun di Kota Rangkasbitung dan melewati Jalan Multatuli setiap hari. Namun, kalimat tersebut barulah saya ketahui dan menggelitik untuk dikulik.
Lewat museum ini saya belajar tentang betapa berpengaruhnya sebuah tulisan hingga bisa membebaskan. Betapa dahsyatnya sebuah tulisan seorang ‘Multatuli’ yang mampu menggerakan berbagai tokoh dunia termasuk Indonesia. Melalui tulisannya, kita dibangunkan dari tidur panjang bahwa apa yang dinamakan penjajahan itu tak pernah mengenal kata baik.
“Ternyata hidup itu pilihan, mau merdeka atau terkekang, semuanya kamu yang tentukan. Dan saya memilih membebaskan diri dari stereotipe yang berlaku di masyarakat. Menjadi manusia yang saya harapkan.”
Bahkan ketika berwujud manusia pun, untuk menjadi manusia ternyata kita perlu berusaha. 🙂
- Wisuda bukan Wis Udah
Duh, yang ini ceritanya lebih panjang ngalahin drakor. Bulan Maret 2018 adalah salah satu keajaiban dalam hidup saya, bisa wisuda untuk ketiga kalinya. Meski sudah melakukan sidang di bulan Agustus 2017, tapi momen wisuda tuh jadi berasa resmi aja menyandang gelar Doktor. Gelar akademik tertinggi yang bisa kalian raih. Boleh ya kali ini bangga sama diri sendiri. 🙂
Banyak orang tanya “Ga bosan wisuda?”
“Bosan sih, tapi bagi saya wisuda adalah untuk orang tua. Bentuk penghargaan saya atas dukungan dan doa mereka yang tak pernah putus untuk keberhasilan saya.” Jawab saya
Pertanyaan “Ga bosan” sering saya dengar. Salah satunya “Ga bosan sekolah terus?”.
Alasan saya sekolah sebenarnya sederhana, suka dengan apa yang saya pelajari, kemudian memutuskan untuk menekuni. Saya bahkan tak pernah berpikir akan bekerja apa nantinya. Kalau ada istilah cinta itu buta, sepertinya saya mengalami hal tersebut pada Bioantropologi, bidang yang saya tekuni. Apa itu yang orang-orang sebut passion?
Belajar hal yang saya sukai bukan berarti tak pernah mengenal kata bosan, ingin menyerah, dan kata-kata pesimis lainnya. Tapi, keputusan sekolah yang diambil secara sadar, kecintaan akan hal yang dipelajarin menjadi kekuatan yang begitu berarti untuk menjalani pendidikan tertinggi ini. Berdebat, gondok, dan sebel-sebelan sama supervisor mah sudah biasa, jadi bumbu. Meskipun kadang ada sedikit ngena di hati juga sih. 🙂
Sebelas tahun non stop kuliah dari sarjana sampai doktor bukanlah perkara mudah. Apalagi mengambil kuliah dijenjang S3 untuk makhluk berjenis kelamin perempuan, belum bekerja, dan berumah tangga, plus sekolahnya di Indonesia. Keputusan yang tak biasa dilingkungan sosial saya. Apalagi setelah lulus, bukan bekerja malah sibuk ambil jeda dan jalan-jalan. Ya, tebelin kuping sama lapangkan hati saja sih kuncinya.
“Menjadi wanita bukan berarti membatasi cita-cita. Kalian bebas meraih apapun yang kalian impikan. Tanpa kecuali. Toh Tuhan ketika memerintahkan tuntutlah ilmu dari buaian hingga liang lahat atau tuntutlah ilmu walau sampai ke Negeri Cina, ga nyebutin kan gendernya apa?” *koreksi kalau saya salah
Ketika lulus dan dihadapkan dengan tuntutan sosial, saya bilang sama orang tua singkatnya seperti ini, “Saya sekolah tentu ada tujuan, ada impian yang saya taruh di sana. Gelar doktor adalah bonus dari semua proses belajar yang dilakukan. Ini hanya sebuah tiket untuk impian yang baru saja dimulai. Maka, beri saya waktu untuk mengejar apa yang menjadi impian, hingga terwujud atau mengenal kata cukup untuk berhenti berjuang.”
Jadi doktor bukan untuk gaya-gayaan, karena ada tanggung jawab besar yang menyertainnya. Layak tidaknya menjadi seorang doktor dilihat bagaimana kamu berkarya setelah lulus. Saya sudah berkarya apa ya? Berpikir keras.
- Menjemput kemungkinan dan impian yang mewujud
Tak lama setelah wisuda, saya terbang ke Sumatera Barat untuk memenuhi panggilan tes di salah satu universitas di sana. Tes tanpa persiapan itu seperti bunuh diri sih. Tapi, peristiwa ini cukup untuk memberi saya pengalaman bagaimana berproses untuk memperoleh pekerjaan. Pengalaman ini jadi modal untuk belajar lebih giat dan persiapan yang lebih matang untuk mengikuti tes di tempat lainnya. Panggilan tes datang dan lagi-lagi di Pulau Sumatera, kali ini mari ke Lampung. Sepertinya tahun ini saya sedang berjodoh dengan Sumatera. Karena terhitung dari April hingga Agustus, saya bolak-balik menyeberang ke pulau ini.
Bolak balik Sumatera hasilnya nihil. Kalau ditanya sempat sedih atau ga karena tesnya gagal, saya pastikan pernah. Bahkan, di sebuah gerbong kereta setelah menghadiri seminar seseorang saya menangis lantaran tak kuasa membayangkan jika harus meninggalkan apa yang sudah saya tekuni, menyerah pada kenyataan. Ah, menjadi konsisten dibidang tertentu memang tak mudah. Jalani saja!
Mengusir rasa sedih, saya pun memanfaatkan waktu setelah tes untuk traveling ke berbagai tempat dan bertemu dengan kawan-kawan lama. Berbagai kota bisa saya kunjungi, berbagai kisah tercipta untuk saya bagi. Sumatera Barat, Bengkulu, Sumatera Selatan, dan Lampung mewarnai perjalanan saya sepanjang tahun 2018 ini.
Saya baru tersadar, jika bukan karena tes, belum tentu bisa menjejakkan kaki dibanyak tempat ini. Saya jadi teringat apa yang pernah terucap,“Abis lulus gue pengen rehat, ga mau langsung kerja, gue mau jalan-jalan dulu, menulis perjalanan gue.”
Kemudian saat bisa kembali ke Palembang, saya pun teringat kali pertama datang ke kota itu. “Tahun 2018, tar gue balik lagi lah ke Palembang, siapa tahu bisa nonton Asian Games.” Meski tidak untuk menonton Asian Games, saya datang tepat di bulan di mana perhelatan akbar ini akan digelar. Ajaib! Ucapan adalah doa itu nyata guys!
Tes saya memang gagal, tapi impian saya yang lain terwujud. Mungkin ini cara Tuhan membuat saya melangkah lebih jauh. Menziarahi tempat-tempat baru, bertemu banyak orang yang mengisi jiwa saya yang kosong.
- Menziarahi masa lalu
Setahun belakangan ini, saya sedang getol-getolnya menziarahi masa lalu dengan mengunjungi museum di setiap tempat yang saya kunjungi. Museum adalah sebuah tempat yang berkisah padamu akan masa lalu, yang berujar padamu perihal siapa dirimu, yang membentukmu hari ini, kemudian menuntunmu ke hari esok. Museum mengajarkan saya banyak hal, memberi saya pengetahuan juga inspirasi untuk hidup yang lebih berarti.
Saat mengunjungi museum, saya seperti sedang menyusun puzzle-puzzle memenuhi rasa keingintahuan tentang masyarakat pada zaman dahulu. Terutama tentang penduduk-penduduk lokal dan budayanya. Saya pun tertarik dengan arsitektur bangunan-bangunan tempo dulu. Klasik!
Selama perjalanan saya di Sumatera dan bertemu kawan lama, obrolan tentang tradisi selalu menjadi topik yang tak pernah basi. Saya tak pernah menyangka bahwa Kota Padang yang bangunanya didominasi oleh atap bagonjong khas Suku Minangkabau, punya kisah lain di salah satu sudut kotanya. Tak jauh dari jembatan Siti Nurbaya, terdapat banyak bangunan-bangunan bergaya Eropa dan perkampungan Etnis Thionghoa serta vihara yang megah.
Ketika mengunjungi Bengkulu, Rurin mengenalkan saya pada bangunan-bangunan bersejarah yang tersebar di sudut kota. Bahkan ia mengenalkan Tabut, sebuah upacara tradisional di Bengkulu. Saya pun mengunjungi museum Bengkulu yang menyadarkan betapa banyaknya suku di sana. Bengkulu sangat menarik, padahal sebelumnya yang saya tahu dari Bengkulu adalah Emas di Pucuk Monas.
“Yang menarik dari suatu tempat itu sebenarnya adalah kebudayaan masyarakatnya. Tradisi-tradisi dan upacara adatnya. Itu semua menjadi hal yang ga akan ditemui ditempat lain. Kalau pantai, terus spot-spot foto kekinian sih banyak di mana-mana.” kiranya itu obrolan saya dan Andar, kawan saya di Palembang.
- Mengasah rasa kepedulian
Diantara banyaknya perjalanan yang saya lakukan di 2018, beberapa seminar berbau sains dan lingkungan pun saya datangi. Kondisi semesta yang kian memprihatinkan mengusik hati saya untuk melakukan perubahan-perubahan kecil dari gaya hidup saya. Terutama perihal mengurang sampah plastik. Alam sudah tercemari dengan makhluk bernama plastik ini, bahkan hewan-hewan pun mulai kesulitan untuk menghindari tipuan dan jeratanya. Banyak hewan yang hidupnya terancam gara-gara ulah kita yang mengkonsumsi plastik secara berlebih.
Ketika melihat seekor hewan memakan sampah plastik didepan mata membuat hati saya meringis. Otak saya tak berhenti berpikir apa yang terjadi dalam tubuh hewan itu, bagaimana dia mencernanya. Kepikiran! Jadi, saya harus berubah mulai tahun ini, jadi manusia yang lebih ramah lingkungan di 2019.
Dilain waktu saya mendapati diri saya terdampar disuatu ruangan teater yang menyuguhkan informasi mengenai leluhur dengan berbagai aspek kehidupan. Cara mencari makan, jenis makanan, teknik penyajian, bagaimana mereka memelihara alam semata-mata hanya untuk bisa tetap bertahan hidup. Eksistensi manusia itu produk adaptasi, jika lingkunganya berbeda mereka punya cara bertahan hidup dengan berbeda pula. Jadi mengapa, apa yang mereka makan dan lakukan harus seragam?
Bagaimana mereka beradaptasi sebenarnya terepresentasi dari fisik dan tradisi yang tercipta. Kebudayaan dan kepercayaan leluhur memuat bagaimana kebijaksanaan-kebijaksanan dalam hidup. Lewat penuturan Agustinus Wibowo tentang agama leluhur Aluk Todolo di Toraja, membawa saya pada rasa penasaran mengenai ajaran leluhur.
“Lihatlah agama leluhur dengan perspektif berbeda. Bukan benar salah, sesat tidak sesat, Tapi lihatlah kebijaksanaan-kebijaksanaan yang ada didalam ajaran tersebut.“-Agustinus Wibowo
- Belajar menulis ala Jurnalis
Saya pun menyempatkan diri untuk mengikuti kelas literasi setiap akhir pekan selama dua bulan. Saya menyadari bahwa kegiatan saya menulis di blog haruslah diiringi pengetahuan juga mengenai jurnalisme. Karena sadar tak sadar saya menjadi bagian dari citizen journalism.
“Tahan diri, tahan jari.” Kalau kata Mba Kandi
Di era digital seperti ini, tentu saya pun menjadi harus lebih bijak dalam menyampaikan sesuatu. Melakukan konfirmasi terlebih dahulu atas semua informasi yang dengan mudahnya tersebar. Pastikan itu bukan Hoaks.
Ini menjadi pengalaman yang baru bagi saya, meskipun dulu waktu kuliah sarjana saya memang mengambil minor komunikasi sebagai keahlian pendukung. Dari semua pertemuan, bagian yang membahas feature adalah yang paling menarik. Terima kasih Aksara Institut 🙂
- Hati yang berpulang
Akhir bulan November, saya mulai gelisah, mulai bosan dengan ibu kota dan seminar-seminar yang menjamur didalamnya. Saya mulai bosan dengan keseharian yang datar-datar saja. Menunggu pengumuman hasil tes rasanya menjadikan waktu berjalan begitu melambat dan membuat frustasi. Saya butuh penyegaran, butuh suasana baru, butuh jalan-jalan.
Pasalnya, saya sudah mulai rindu dengan rutinitas. Saya rindu berkutat dengan penelitian dan turun ke lapangan. Hingga akhirnya, Cirebon saya pilih sebagai tempat untuk menemukan kisah yang tersembunyi. Untuk mengisi jiwa yang lagi-lagi gelisah.
Di Cirebon saya dipertemukan dengan beberapa orang yang mengubah hati saya. Di sebuah tempat yang sunyi dan tenang, saya bertemu dua orang bapak yang memberitahu makna dibalik nama yang melekat pada saya sejak lahir.
“Siapa nama kamu?”
“Nunuz”
“Pantesan Nurut.”
“Nama saya Nunuz, artinya Turun.”
“Iya makanya kamu anaknya nurut.”
Kemudian saya terdiam dan coba membalik kata “TURUN” menjadi “NURUT”. Dalam Bahasa Sunda, ‘Nurut’ berarti patuh.
“Oh iya juga ya, mungkin kakek saya mau saya jadi orang yang ‘Nurut’ dan patuh.” jawab saya
Obrolan panjang itu menyiratkan pada saya untuk menjadi manusia yang lebih dekat dengan pencipta. Hidup saya penuh keberuntungan, dikelilingi keluarga yang selalu ada dan mendukung apapun yang saya kerjakan adalah salah satunya.
“Jadilah pohon yang besar, yang dari akar hingga buahnya bermanfaat, bahkan ketika kamu tidak ada.” pesan salah seorang bapak kepada saya.
Saya mendapati kenyataan bahwa nama berarti doa dan dilain hari, nama juga bisa berarti pertanda tentang proses dalam hidup yang kita lewati. Kata ‘Kelana’ di masyarakat Cirebon, menjadi salah satu nama topeng yang menandakan kedewasaan setelah berproses panjang dalam kehidupan. Saya jadi ingat nama blog ini, ‘Kelanaku’, sebuah tempat saya berproses dalam hidup yang disajikan dalam kisah-kisah di sini.
‘Kelanaku’ memang dibuat tahun 2015 untuk menjadi tempat berkisah tentang perjalanan-perjalanan saya. Berkisah tentang hal-hal yang saya temui dan rasakan. ‘Kelanaku’ memang sengaja saya buat untuk menemani perjalanan hidup. Gara-gara blog ini juga hidup saya pernah repot oleh tuduhan-tuduhan yang menyakitkan, yang dalam diam saya simpan. Dulu saya menulis di sini untuk pelarian, tapi saat ini menulis menjadi hal yang selalu ingin saya lakukan. Bercerita padamu bahwa hidup akan baik-baik saja, jika kita menikmati prosesnya. 🙂
Saat perjalanan pulang, saya dipertemukan dengan seorang ibu. Ia menyadarkan saya bahwa “Ibu adalah Malaikat Hidup. Doa Ibu itu ampuh“. Untuk kali ini saya sangat-sangat setuju. Banyak keajaiban terjadi dalam hidup berkat Doa Mamah. Pertemuan kami seolah menyiratkan pesan pada saya, “Jika kelak sudah sibuk dengan pekerjaanmu, dengan kehidupan keluarga kecilmu, jangan pernah lupa untuk menjenguk Ibu.”
Perjalanan pulang itu benar-benar membawa saya pulang dengan sebenarnya, pada keluarga, pada mimpi saya, pada tempat yang kelak membesarkan hidup saya. Sekarang, saya sedang menanti kunci rumah baru untuk mimpi itu resmi terbuka. Karena sejatinya setelah usaha dan doa dilakukan, berpasrah adalah keharusan. Tuhan pasti beri jalan 🙂
“Jika ucapan adalah doa, maka ia adalah mantra yang berjeda. Butuh terus diulang hingga disaat yang tepat ia berwujud nyata.“
Teruntuk Banten, Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Barat, Bengkulu, Sumatera Selatan, Lampung, dan semua kota yang merekam jejak sepanjang tahun 2018, terima kasih untuk semua kisah yang mendewasakan. Selamat datang di tahun 2019, dengan semua kisah seru yang menunggu.
Mari berkelana, bahagia!