Seperti yang saya ceritakan dipostingan Cirebon: Dari Terasi Sampai Batik Trusmi, salah satu tujuan perjalanan kali ini adalah Desa Trusmi. Desa penghasil batik yang namanya tertuang dalam buku “Urang Kanekes” karya Don Hasman dan Filomena Reiss. Dengan menggunakan ojek online, saya membayangkan bisa sampai ke sebuah desa yang terdapat ibu-ibu yang sedang membatik. Tapi ternyata saya tiba di sebuah pusat wisata belanja Batik Trusmi dan oleh-oleh Khas Cirebon. Meski tak sesuai ekspektasi, perjalanan memang selalu memberikan kejutan yang akan selalu dikenang. Kejutan tersebut bernama Museum Trupark.
Apa sih Museum Trupark?
Museum Trupark merupakan museum batik yang baru diresmikan 29 November 2018 lalu dan berlokasi di Kecamatan Plered, Kabupaten Cirebon. Museum ini terletak satu komplek dengan Pusat Belanja Batik Trusmi, Restoran Batik Kitchen, dan Pendopo yang biasa digunakan untuk pagelaran seni dan belajar membatik. Menurut Mba Putri, pemandu saya saat itu, Trupark merupakan singkatan dari Trusmi Park yang tak lain merupakan tempat di mana museum ini berada. Menyuguhkan informasi mengenai batik terutama batik Khas Cirebon dengan kemasan yang modern bergaya Pop Art, museum ini mencoba menyasar generasi milenial.
Baru saja memasuki museum, saya langsung suka dengan tampilannya yang instagenic atau instagramable . Pada sebuah dinding bercat merah muda terdapat logo dari museum ini. Logo tersebut terdiri dari motif batik mega mendung (awan) Khas Cirebon, sebuah lingkaran layaknya globe, dan roket yang terbang menuju angkasa. Gambaran tersebut merepresentasikan keinginan atau tujuan dari adanya museum ini adalah untuk mengenalkan batik Cirebon lebih luas lagi.
Berbagai Koleksi Museum Trupark
Masih diruangan pertama, saya juga bisa menyaksikan dinding yang dihiasi topeng-topeng yang beraneka rupa. Terdapat lima jenis topeng Khas Cirebon yang berjumlah 500 buah. Jika kamu pernah mendengar tari topeng, nah tarian tersebut berasal dari kota ini. Sembari memperhatikan detail topeng-topeng yang dipasang dengan cantik, saya mendengarkan kisah yang dituturkan Mba Puteri mengenai topeng ini. Tentunya berkali-kali juga saya yang mengajukan pertanyaan tentang topeng ini.
Lima jenis topeng Khas Cirebon ini memiliki filosofi yang menggambarkan tahapan hidup manusia. Panji, Samba, Rumyang, Tumenggung, dan Kelana, merepresentasikan perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia. Mulai Panji yang masih suci, hingga Kelana yang telah tumbuh menjadi dewasa. Coba saja kamu perhatikan ekspresi dari setiap topeng tersebut. Serupa dengan ekspresi kita ketika melewati fase-fase dalam hidup. 🙂
Panji adalah topeng berwarna putih yang menggambarkan kondisi manusia ketika baru lahir dalam keadaan suci. Jika topeng ini digunakan dalam tarian, maka gerakan-gerakan tariannya pun tergolong sederhana. Topeng ini biasa digunakan oleh anak kecil ketika menari. Kemudian seorang anak akan tubuh menjadi lebih ekspresif dan ceria yang digambarkan oleh topeng Samba. Lambat laun mereka beranjak remaja hingga dimulailah fase pencarian jati diri yang tergambar pada topeng Rumyang. Masih berwarna menyerupai Rumyang, topeng Tumenggung menyiratkan seseorang beranjak dewasa. Hingga diakhir, sebuah topeng dengan rupa wajah mengeras dan berwarna merah padam adalah milik sang Kelana yang telah menjadi dewasa.
Mendengar kata ‘Kelana’ dengan filosofinya, saya langsung teringat nama blog yang saya gunakan.
“Namanya sama dengan Blog saya Mba?”
“Oh ya?” jawab Mba Puteri
“Iya namanya Kelana.”
Lagi-lagi saya merasa bahwa perjalanan kali ini adalah untuk menyadarkan saya menjadi manusia yang lebih dewasa dan bijaksana. Setiap momen dalam hidup, senang susah, jatuh bangkit, adalah semua hal yang mendewasakan dan membawa saya pada posisi saat ini. Setelah saya berpikir lebih lanjut, lima topeng ini mengingatkan saya pada tahapan pertumbuhan manusia versi Bogin, yaitu Infant, Childhood, Juvenile, Adolescent, dan Adult.
Di sisi lain, terdapat sebuah miniatur kota dengan motif batik yang menggambarkan Kota Cirebon. Kemudian, terdapat dinding yang dipenuhi batik megamendung dengan warna berbeda-beda. Bahkan kita bisa berfoto dengan menggunakan batik kimono dan payung bermotif etnis thionghoa di spot ini. Nuansa thionghoa di Cirebon ternyata dipengaruhi oleh kehadiran ‘Putri Nyi Ong Tien’ dari Tiongkok yang konon menikah dengan Sunan Gunung Jati.
Memasuki sebuah lorong terdapat tiga belas motif batik Khas Cirebon yang menurut saya sih keren-keren banget. Seniman batik macam apa yang bisa membuat motif serumit dan sedetail itu. Proud! Dari gambaran motif yang ada, saya melihat adanya percampuran budaya di sana. Buat saya yang awam tentang batik dan sejarah, saya melihat unsur megamendung (Cirebon), unsur naga (Seperti Barongsai Etnis Thionghoa), gapura (mirip bangunan Mataram), serta atap-atap bangunan yang melengkung seperti bangunan vihara. Unsur megamendung bisa dipastikan ada disetiap motif yang tercipta. Saya jadi ingat pernah melihat motif ini di film animasi Jepang. 🙂
Oh ya, museum ini terdiri dari dua lantai loh. Masih di lantai pertama, sejarah Cirebon dan potret-potret Keraton Kasepuhan juga turut menghiasi museum ini. Berikutnya terdapat manequin dengan motif batik, cetakan batik, potret dan peralatan lengkap ketika membatik, serta Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). Baru tahu juga saya kalau ada tenun di Cirebon. Nah kan banyak yang baru saya tahu saat berkunjung ke sini.
Selain berbagai cetakan motif batik yang tersusun rapih dan cantik, tapi berukuran mini ini, terdapat juga cetakan batik yang super gede banget yang masuk Rekor Muri. Asli sih gede banget satu dinding ruangan penuh. Ah, menggali pengetahuan tentang batik ternyata bisa seseru ini. Menurut Mba Puteri, Gua Sunyaragi dahula kala pun digunakan sebagai tempat membatik bahkan terdapat satu motif Taman Arum Sunyaragi yang menvisualisasikan tempat ini.
Di lantai dua ini, kamu akan dijelaskan satu persatu alat dan bahan yang digunakan untuk membatik. Pertama kamu akan dikenalkan dengan gawangan (yang menjadi bambu untuk membentang kain saat membatik), kemudian malam (cairan lilin warna cokelat), berbagai jenis kain saat membatik (moris, sutera ATBM, Sutera ATM, Dobi) , dan berbagai jenis canting. Nah kan cantingnya saja banyak jenisnya sesuai jumlah cucukannya. Saya saja juga baru sadar jika membatik itu sebenarnya menutup bagian yang akan menjadi pola dengan malam menggunakan canting. 🙂
Saat berkeliling lantai dua ini saya dijelaskan berbagai koleksi motif batik dengan berbagai filosofinya oleh Mba Dinar, seperti motif sidomukti, sawat riweuh, naga seba, kembang kelapa, kotak banji, trusmian dan lain-lain. Motif kotak banji ini menarik nih, motif ini terinspirasi dari kotak perhiasan etnis thionghoa. Saya jadi menduga di Cirebon terjadi pertukaran budaya sama lain karena perdagangan. Dilantai dua juga terdapat koleksi batik dari tahun 1918 seperti Batik Materos dan Krikilan, yang merupakan milik dari nenek moyang pendiri museum Trupark ini.
Kamu pun bisa berfoto menggunakan Kimono batik yang sudah disediakan dibeberapa spot dinding yang menyerupai kamuflase. Selain itu, museum ini dilengkapi dengan ruangan tiga dimensi (3D) yang memutarkan video mapping batik yang berubah-ubah dan ruang audio visual yang berkisah mengenai Cirebon dan batik yang mendunia. Keren deh!
Beruntungnya saya, setelah puas berkeliling museum akhirnya bisa melihat proses membatik secara langsung. Berbincang-bincang sebentar mengenai bagaimana membatik, motif dan lamanya waktu yang mereka butuhkan untuk membatik. Sebuah karya seni memang lahir dari tangan-tangan kreatif yang hatinya penuh kesabaran. Kurang sabar gimana, untuk sehelai kain batik tulis itu membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk jadi. Wajar saja jika harganya mahal. Sebanding!
Kehadiran museum ini, menurut saya smenjadi alternatif untuk hiburan sekaligus menyajikan informasi mengenai batik kepada generasi milenial dengan cara yang lebih fun. Anak zaman now pasti suka sih ke museum ini, karena bisa narsis di semua sudut museumnya. Usaha yang cukup baik untuk melestarikan kebudayaan Indonesia.
Info Penting!
Untuk mengunjungi tempat ini, perhatikan info berikut dan peraturan kunjungannya ya.
- Tiket:
Senin-Jumat: Pelajar (35K), Umum (50K)
Sabtu-Minggu: Pelajar (45K), Umum (60K)
- Jam Operasional:
Senin-Jumat: (12.00-18.00 WIB)
Sabtu-Minggu (09.00-18.00 WIB)
- Lokasi: Museum Trupark (google map)
Seru banget kan belajar tentang batik dari A sampai Z di Meseum Trupark. 🙂
Mari berkelana, bahagia!