“Gue enggap bang, berenti bentar yak?” itu kiranya kalimat yang sering saya lontarkan ketika mendaki Gunung Lawu via Candi Cheto.
Pukul 2 pagi tepat dihari terakhir dibulan Mei, kami menjejakan kaki di Stasiun Solo Jebres, setelah hampir 8 jam di kereta. Kami para wanita (saya, tami, dan mba karisha) segera bergegas ke Toilet untuk bebenah dan berganti kostum. Handphone saya berdering, tanda sms masuk.
“Mba, sampai stasiun jebres jam berapa? saya sudah didepan stasiun, mobilnya warna ungu ya mba.” begitu kiranya isi sms yang dikirim Pak Larto. Pengemudi dari mobil yang akan mengantar kami ke Candi Cheto.
“Wah, bapaknya rajin banget, padahal minta dijemput jam 4 pagi.” Itu yang terlintas di benak saya.
Saya membalas sms Pak Larto dan memintanya untuk menunggu. “Baik pak, kami sudah sampai, namun masih beres-beres dan menunggu teman yang lain yang dari Jogja dan Malang”
Setelah beres bebenah, kami rombongan Jakarta (saya, Tami, Mba Kharisa, Ipoy, Bang Yuher, Kang Arie, Iwan, dan Bang Dandy) keluar stasiun dan menemui teman-teman yang dari Jogja (Jojo, Mas Oki, dan Mas Wisnu). Hanya Jojo yang saya kenal dan sisanya baru kenal hari itu, bahkan saya sering tertukar mana yang Mas Wisnu mana yang Mas Oki, yang kemudian saya kenal sebagai “Duo muser-muser” paling fenomenal.
Karena masih ada yang harus dibeli, beberapa dari kami memutuskan keluar dari stasiun untuk mencari secercah harapan minimarket yang buka. Hasilnya nihil.
Jam menunjukkan pukul 4 dini hari, namun satu lagi personel kami belum tiba, Ega namanya yang kemudian mendapatkan panggilan sayang “Kamunya”, Mba asal Malang ini terkendala macet, kira-kira 10 menit lagi ia akan tiba.
Sambil menunggu kami repacking, tas saya yang konon kata para pria ini terbilang berat, dikeluarkan isinya dan dibagi-bagi. Hehe 🙂 Nesting dan flysheet melesat pindah ke tas orang lain. Lumayan ngurangin beban 🙂 ..Repacking beres.
Mba Ega tiba dengan wajah yang bingung. Saya langsung menyapa mba-mba yang bingung di depan saya ini.
“Ega bukan ya?”
“Iya” jawab mba-mba tak dikenal depan saya ini
“Oh, bener, sini mba masuk, kita berangkat” disertai kenalan terlebih dahulu.
Sepanjang perjalanan ke Candi Cheto kami berhenti 4 kali. Sekali mampir ke minimarket untuk jajan, sekali berhenti di Pom bensin untuk Sholat di Musholanya (bukan di pom bensinnya ya), sekali di tempat makan untuk sarapan, dan sekali di lokasi dekat kebun teh untuk menemui teman Bang Yuher dari Wonosobo yang ingin bergabung untuk mendaki.
Pukul 7 pagi kami tiba di Candi Cheto, setelah melewati perkebunan teh, dengan jalanan berliku, menanjak terjal, dan merasakan dinginnya udara pagi. Pukul 7.30 WIB, kami mulai menjejaki tangga demi tangga Candi Cheto. Kami disambut view Gunung Lawu yang megah. Kami berdoa bersama dan memulai pendakian dengan Jojo sebagai yang terdepan dan Bang Yuher yang paling belakang. Tentunya para ladies di depan. Lama kelamaan sih makin mundur tuh para ladies terutama saya. haha
Melalui Candi Kethek, kami terus berjalan tanpa jeda. Satu jam berlalu, kami diminta berhenti, karena teman Bang Yuher memutuskan mundur dari pendakian dan kembali turun. Setengah jam berikutnya kami melanjutkan perjalanan ke Pos 1 dengan 12 personel tersisa.
“Istirahat 10 menit ya” salah seorang dari kami memberi titah
Kami melanjutkan perjalana ke Pos 2 dengan jaur yang lebih licin, karena harus berjalan pada cerukan aliran air. Dengan nafas mulai tersengal-senggal saya terus berjalan.
Dengan perjuangan, bagi saya, sampailah kami di Pos 2 dengan waktu tempuh 1 jam. Istirahat lagi, haha padahal selama perjalanan Pos 1 ke Pos 2 istirahatnya 2 kali.
Dari sepanjang perjalanan saya nyari “Bonus”, tapi ga nemu. Mamam banget.. Mana udah setahun ga naik gunung, ga olah raga, karena sibuk didepan leptop. Maklum mahasiswa Deadline. #curcol
Ketika energi mulai pulih, kami melanjutkan perjalana ke Pos 3. Otak saya mulai kacau nih, mulai mengeraskan tekad.
“Ayo nuz, bisa lah, santai aja jalannya, yang penting nyampe, jangan nyerah karena bakalan ngerepotin”
dan diujung pemberhentian teman-teman yang lain menyapa saya dengan..
“Senyumnya mana kak?”
Jalur yang tak lagi manusiawi mulai berhamburan. Kenapa saya bilang tidak manusiawi, karena teman saya harus sampai berlutut macem begini.
Matahari sudah meninggi ketika kami sampai di Pos 3 Cemoro Dowo. Cacing-cacing dalam perut mulai berdemo meminta jatahnya siang itu. Kami mengisi energi ditempat ini. Dengan bekal yang ada kami makan siang bersama.
Rasa lelah sebenarnya mengalahkan lapar, mau bobo siang aja dah kalau bisa.
Perjalanan kemudian kami lanjutkan, saya makin terdesak kebelakang, makin melambat, dan makin sering bilang..
“Gue engap bang, bagi minum dong atau, istirahat dulu ya” pada sweeper di belakang saya persis.
Lelah makin mendera, kucuran keringat makin meninggi intensitasnya, tangan mulai tak mampu mengangkat kamera, walau sebenarnya mengambil gambar adalah obat frustasi ketika naik gunung bagi saya selain mendengarkan musik. Kali ini saya tak mendengarkan musik, karena ada Jojo yang sesekali menyanyi dengan suara mirip Duta So7. Lumayan hiburan :p
Dua jam berlalu dengan penuh peluh, kami tiba di Pos 4. Cukup lama kami disini, cukup untuk mengganjal perut, mengisi energi, dan menikmati indahnya kabut yang perlahan membungkus pepohonan.
Jalur Pos 3 ke Pos 4 katanya memang yang paling menyita energi. Karena setelah Pos 4, konon kita akan disuguhkan pemandangan yang lebih indah, jalur yang lebih aduhai. Aduhai coy, versi siapa dulu tapi?
Awalnya ada yang mengusulkan untuk buka tenda di Pos ini, tapi area yang sempit, dan keinginan untuk melihat sabana dan bermalam disana mengalahkan segalanya. Apalagi ketika “malaikat” datang menunjukan foto-foto yang menakjubkan di Pos 5. Ya saya sebut mas-mas yang kami temui itu malaikat, saya tak tahu namanya, yang membuat kami bersemangat untuk melanjutkan perjalanan.
Dia berkata bahwa jalur yang akan dilewati lebih landai, mendengar kata landai, seperti saya sedang terhujani angin segar, atau mungkin hujan beneran. Adeeemmm.. Maklum fisik udah melorot. Kamera sudah ditangan, setelah sebelumnya berpindah-pindah tangan. Tekad semakin membulat.
“Gue harus bisa, susah loh nuz nyari waktu buat naik gunung, sekalinya bisa, nanggung kalau setengah-setengah”
Kesibukan di Kampus lima bulan terakhir ini, membuat saya jadi manusia yang sedikit kurang waras. Analisis data, menulis, dan seminar menyita semua waktu saya hingga harus beberapa kali gagal mendaki. Yup, kali ini saya harus berhasil. #curcollagi 😉
Kembali lagi ke Pos 4, yang meniupkan angin segar…
Kami melanjutkan perjalanan dengan formasi seperti biasa, Jojo dan para ladies, kemudian pria-pria yang lain, saya dan paling belakang sweeper yang paling sabar Bang Yuher.
Sempat ada insiden Iwan yang mendadak kakinya keram dan dengan sigap Bang Dandy menolong. Memang partner kerja yang kompak mereka ini.
Ternyata memang benar, jalanan yang kami lalui lebih manusiawi kali ini, dengan pemandangan yang mengagumkan. Ditambah pengalaman yang tak akan pernah saya lupakan, bertemu dengan Jalak Lawu dan melihat tingkah polahnya yang seolah menunjukkan jalan pada saya.
“Itu burung apa bang?”
“Itu burung khas Lawu, jangan di foto nuz” Bang Yuher mengingatkan ketika saya mulai mengangkat kamera
“Baiklah” padahal pengen tak kasih ke teman buat identifikasi bang..
Karena penasaran saya cari di mbah google jenis burungnya, namanya Anis gading sejenis burung Jalak (Turdus poliocephalus stresemanni) dan endemik di Lawu. hehe suseh kalau jalan ama anak biologi ya gini… 🙂 Saya juga makin terhibur dengan bunga edelweiss yang menawan, dan tentunya sabana yang aduhai.
Matahari mulai pergi dan berganti rembulan yang mendekati purnama ketika kami akhirnya sampai di Pos 5, kami bermalam di sabana ini. Ditemani hujan rintik-rintik, kami melepas lelah bertukar energi untuk esok hari.
Hargo dumilah, esok kami datang….
Berikut waktu yang kami butuhkan untuk sampai di Pos 5 ini, berapa jamnya hitung sendiri ya.. hehe 🙂
Candi cheto-pos 1—> 7.40-9.10
1 comment