Saya tersesat di suatu tempat yang jauh dari ekspektasi. Tiba-tiba, saya telah sampai di sebuah bangunan masjid yang cukup tua, terselip diriuhnya pasar di Kota Semarang. Mesjid Agung Semarang atau masyarakat lokal menyebutnya Masjid Kauman. Didominasi cat berwarna hijau, dengan menara masjid yang tinggi membuatnya kontras dengan bangunan disekitarnya.
Saya semakin penasaran ketika mulai memasuki pelataran masjid, melihat bedug yang cukup besar. βWah masjid tua nih kayaknyaβ kalimat itu yang muncul dikepala. Tanpa disengaja, saya pun menemukan sebuah tulisan yang memberi tanda bahwa masjid ini berharga, punya nilai sejarah sepertinya. Rasa penasaran itu tak bisa saya temukan jawabannya ketika berada di sana, kami harus buru-buru ke lokasi utama yang ingin kami tuju saat itu.
Hasil penelusuran dari berbagai artikel di dunia maya, saya baru tahu jika Masjid Kauman Semarang ini merupakan Cagar Budaya. Artinya, bangunan ini dilindungi karena memiliki nilai sejarah. Lalu apa sih sejarah yang pernah terukir di tempat ini? yuk, simak ceritanya.
Masjid Kauman ternyata didirikan sejak abad ke 16 oleh Kiyai Ageng Pandanaran atau Ki Ageng Pandan Arang di Kelurahan Mugas. Lokasi saat ini (Kauman), merupakan lokasi ketiga setelah sebelumnya di Kelurahan Mugas dan daerah Bubahan. Dulunya, tempat ini merupakan pusat syiar agama Islam dan menandai mulai masuknya islam di Jawa Tengah. Ki Ageng Pandan Arang inilah yang diberikan tugas oleh Sunan Kalijaga untuk menyebarkan agama Islam di kawasan sebelah barat Kasultanan Bintoto Demak yang kita kenal “Semarang”.
Selain itu, konon masjid ini menjadi satu-satunya masjid di Indonesia yang mengumumkan kemerdekaan secara terbuka. Sosok dr. Agus merupakan orang dibalik mimbar tersebut.
Saat melihat bangunan ini, kesan bangunan tua dan klasik terlihat dari bagian depan yang memiliki ornamen warna kuning mirip-mirip rumah joglo khas Jawa, kaca jendela yang berornamen dengan dinding yang tebal (seperti ada unsur Eropa), mimbar ukiran klasik, hingga tiang-tiang penyangga yang besar dan berjumlah cukup banyak. Lokasinya juga, khas banget masjid-masjid tua, dekat alun-alun. Selain itu, terdapat tulisan disalah satu tembok masjid/inskripsi menuturkan,
βTanda peringatan ketika kanjeng Tuan Nicoolass Hartingh, Gubernur serta Direktur tanah Jawa pada saat Kanjeng Kyai Adipati Suramanggala membangun hingga jadinya masjid ini pada tahun 1170 hijriah.β
Sosok Tuan Nicoolass Hartingh, ternyata merupakan tokoh utama dibalik pecahnya Kesultanan Mataram menjadi Kesultanan Ngayogyakarta dengan Kasunanan Surakarta lewat Perjanjian Giyanti tahun 1755. Baru sadar, itu kenapa di Jogja ada peninggalan Mataram tepatnya di Kota Gede. Ketauan nilai sejarah jeblok π
“sejarah itu bertalian, karenanya menyenangkan ketika menelusurinya. seperti menyusun puzzle. sejarah itu bukan mengingat tahun, melainkan lebih dalam dari itu. memaknai peristiwa.”
Hingga saat ini, Masjid Kauman telah mengalami beberapa kali renovasi. Namun, hal itu tidak menghilangkan kesan klasiknya hingga saat ini. Bahkan pada tahun 1885 pernah terbakar lantaran tersambar petir. Cerita ini bisa ditemukan pada inskripsi yang terdapat di sana.
Oh ya, gaya bangunan masjid ini sedikit mengingatkan saya dengan Masjid Agung Kota Palembang!
Ternyata, tersesat bisa jadi jalan untuk kita bertemu potongan puzzle yang baru.
Mari berkelana, kalau pandemi udah ga ada π
*Foto diambil 31 Desember 2013