“Layaknya batik, tenun memiliki filosofi dalam setiap motifnya. Menjadi penciri dari sebuah tradisi, yang diturunkan dari generasi ke generasi.”
Saya pertama kali mengenal tenun secara lebih dekat ketika berkunjung ke pemukiman Baduy. Ya, pemukiman salah satu Suku Bangsa di Indonesia yang masih mempertahankan tatanan hidup yang tadisional. Mereka tinggal di Desa Kanekes, Leuwidamar, Provinsi Banten. Ketika berkunjung ke tempat ini entah untuk keberapa kalinya, saya selalu menyempatkan diri untuk melihat tenun-tenun yang bergantung dipelataran beberapa rumah warga. Warnanya bervariasi, motifnya juga beragam.
Saya memilah-milah motif mana yang kiranya saya suka, yang cocok ketika saya kenakan sebagai syal untuk menemani saya mendaki gunung, atau sekedar pemanis tampilan saya ketika bepergian. Maklum saja, saya adalah manusia yang suka akan ketinggian namun tak tahan dengan udara dingin yang menusuk.
Cinta pada kain tradisional saya ternyata bermula di tempat ini. Salah seorang warga Baduy yang sudah saya kenal menceritakan jenis-jenis motif tenun yang ada disana. Saya hanya ingat beberapa diantaranya poleng akar kawung, poleng keues, poleng geuneuk, suat samata, susuatan, adu mancung dan masih banyak lagi. Nah, tiga motif yang saya sebutkan pertama adalah motif tenun yang biasa digunakan sebagai sarung (warnanya hitam dan biru tua), sedangkan adu mancung biasanya digunakan sebagai sabuk, atau bahkan mereka menjahit pakaiannya sendiri dari kain-kain yang mereka buat. Sebenarnya warna khas tenun awalnya hanya warna indigo dan hitam sesuai dengan pewarna alami yang tersedia di alam, lambat laun banyak inovasi-inovasi yang mereka lakukan terhadap tenun, baik motif maupun warna untuk memenuhi kebutuhan pasar (permintaan pembeli).
Di Baduy, hanya wanita-wanita dari Baduy Luar yang menenun, dan dilakukan oleh berbagai usia, anak-anak, remaja, bahkan lansia. Hampir disetiap pelataran rumah terdapat alat menenun. Saya sempat menyaksikan beberapa proses menenun ketika sempat tinggal disana beberapa waktu yang lalu. Ternyata prosesnya ribet banget, panjang banget, jadi wajar jika kain tenun adalah kain yang bernilai tinggi.
Jadi, sebelum proses menenun itu sendiri, ada beberapa tahapan yang harus dilalui. Saya berkesempatan melihatnya disela-sela perjalanan saya berkeliling pemukiman Baduy, meskipun tak mendetail semua prosesnya. Pertama yang dilakukan adalah memilih benang, yang kemudian dilanjutkan dengan menggulungnya menjadi gulungan-gulungan yang lebih kecil. Benang-benang ini kemudian ditarik sedikit demi sedikit untuk membentuk pola. Pembentukan pola ini disebut ngarapan. Dibutuhkan ketelitian luar biasa, karena pola ini yang menentukan motif tenun apa yang akan kita buat. Proses kemudian dilanjutkan, ngalira namanya. Sebuah proses membentangkan benang kemudian menyisirnya agar tidak kusut, kemudian menyanggahnya dengan kayu agar pola tak berubah. Setelahnya dilipat dan mulai ditenun. Saya tegaskan lagi, ini tidak semua prosesnya secara detail loh… Hufh
Saya juga sempat menyaksikan lansia menenun kain boeh atau kain kafan. Berbeda dengan tenun kebanyakan, kain kafan ini lebih tipis dan jarak antar benang renggang. Sehingga terlihat bolong bolong kecil dan lebih lentur.
Sejak melihat bagaimana sebuah tenun dihasilkan, saya makin mengaguminya. Saya menyukai tenun dalam ukuran yang pas untuk digunakan sebagai syal, kain tenun menjadi barang wajib yang saya bawa kemanapun saya pergi. Bahkan ketika pergi ke suatu tempat yang terdapat pengrajin tenun, kain tenun adalah buah tangan yang wajib saya bawa pulang.
Saat ke dieng beberapa tahun lalu, saya tak lupa membawa syal dari Tenun Baduy ini. Bahkan ketika ke Solo, teman saya mengira jika itu batik lurik. Haha tebakan anda salah kawan…
Beberapa bulan lalu pun saya tak lupa membawa Tenun Flores. Hasil menitip dari seorang temen yang pergi ke Flores. Saya bawa kain itu menemani saya mendaki Gunung Lawu. Jadi ingin berkunjung ke Flores dan menggunakan kain tenunnya di Danau Kelimutu. Tak terbayang juga jika saya yang berkunjung kesana, bisa kalap jajan tenun sembari asik mengabadiakan ibu-ibu yang menenun.
Karena Baduy adalah penghasil tenun terdekat dari tempat tinggal saya, jadilah saya mengkoleksi beberapa motif tenun yang mereka miliki. Salah satunya motif susuatan ini, yang saya gunakan sebagai penghangat dikala dingin menusuk di tanjakan setan Gunung Gede, Cipanas-Bogor atau pemanis dari tampilan saya di Gunung Prau,Wonosobo.
Atau ini, tenun Sasak pemberian dari kawan yang berasal dari Lombok. Selain sebagai syal, tenun ini bisa saya fungsikan sebagai masker. Yah, seperti yang saya lalukan ketika saya berkunjung ke Gunung Kawah Ijen yang udaranya berbau belerang. Tenun itu multi fungsi, kalau kepepet tidak ada sajadah untuk solat, bisa lah tenun ini digunakan. haha
Ketika akhir tahun lalu saya berkunjung ke Lombok pun, saya menyempatkan diri melihat proses membuat tenun di Desa Bayan Beleq. Kemudian membelinya sebagai buah tangan. Enaknya saya gunakan di gunung mana ya tenun Bayan ini?
“Seperti gunung, tenun pun mengajarkan arti sebuah proses, kesabaran dan penghargaan atas sebuah keberhasilan”
‘Postingan ini diikutsertakan dalam kompetisi blog #KainDanPerjalanan yang diselenggarakan Wego’
2 comments
Luaaarrr biasa, fotonya keren2… story-nya cihuy 🙂
Terima kasih, salam kenal mba nurul.. 🙂