Pukul 8 pagi, kami beranjak menuruni tangga demi tangga menuju Terminal Ciboleger. Tempat dimana kami memarkir kendaraan. Pagi ini, kami hendak mengunjungi Baduy Dalam. Setelah sebelumnya menginap di Kampung Kadu Ketug, untuk mengurus beberapa keperluan.
Mobil yang kami tumpangi melaju cukup cepat, menyusuri jalan berkelok dan sepi. Kami berbelok arah kiri, menuju daerah Bojongmanik. Setelah hampir dua jam menyusuri jalanan yang kondisinya kurang bagus, kami mulai masuk ke Desa Kroya. Desa yang harus kami lalui untuk sampai ke Cijahe, pintu masuk ke kawasan Baduy.
Cijahe, mungkin sebenarnya sudah tidak asing lagi untuk mereka yang sering berkunjung ke Baduy Dalam. Cijahe diibaratkan pintu belakang kawasan Baduy, karena pintu utama untuk memasuki kawasan Baduy sebenarnya Ciboleger. Pintu ini sering digunakan oleh mereka yang ingin ke Baduy Dalam, tapi tidak mau bersusah payah naik turun bukit dan bejalan belasan kilometer.
Kami tiba di Cijahe, setelah menempuh perjalanan hampir 2,5 jam dari Ciboleger. Untuk memasuki kawasan Baduy, kita akan dihadapkan pada jembatan bambu yang menghubungkan wilayah non Baduy dengan Baduy. Tepat diujung jembatan, sudah terpajang jelas papan petunjuk arah. Jika hendak ke Cibeo, silahkan ambil kiri. Namun, jika hendak menuju Cikeusik, silahkan ambil kanan. Lalu jika akan ke Cikartawana? bisa lewat keduanya.
Tentu kalian tahu, jika Baduy dalam itu menghuni tiga kampung yaitu Cikeusik, Cibeo, dan Cikartawana. Nah, jika lewat jalur Cijahe, kita hanya memerlukan waktu kurang lebih 1,5 jam sampai ke Cibeo, sekitar 1 jam untuk sampai ke Cikeusik, dan sekitar 2 jam untuk sampai ke Cikartawana. Hemat waktu dan energi tentunya. Tapi tentu tak hemat biaya. Karena untuk bisa sampai ke Cijahe agak sedikit sulit. Angkutan umum yang langsung menuju desa ini tidak ada. Dibagian paling bawah saya akan tulis rute dan perkiraan biayanya yah.
Mengingat waktu tempuh yang sangat singkat, maka sepanjang perjalanan hanya huma dan reuma yang bisa disaksikan. Beda banget kalau kita jalan berjam-jam dan belasan kilometer melalui pintu utama Ciboleger. Kita akan memasuki kawasa Kadu Ketug, melewati Jembatan Bambu Gajeboh, perkampungan-perkampungan Baduy Luar yang unik, serta berbagai aktifitas masyarakatnya, baik itu menenun, maupun menumbuk padi.
Cerita selengkapnya: Menuju Cibeo Lewat Pintu Utama
Melewati jembatan Cijahe, kami langsung dihadapkan dengan hamparan padi nan hijau. Ah, rupanya lahan ini tengah menjadi huma. Berbeda dengan kali pertama saya datang ketempat ini empat tahun lalu. Areanya penuh dengan pepohonan dan semak-semak, masih berupa reuma.
Jalan setapak terlihat sangat panjang nan landai.
“Ahay, bisa jalan santai nih.” sorak saya
Kami pun hanya sesekali melewati tanjakan kecil, ya tanjakan kecil jika dibandingkan tanjakan kabayang, yang lumayan menguras energi atau tanjakan dari Balimbing menuju Kadu Ketug.
Baru setengah jam kami berjalan, hujan turun cukup deras. Tanah merah menjadi licin dan kami harus berjalan ekstra hati-hati. Untunglah, kami selamat sampai Cikeusik yang kala itu sepi ditinggal penghuninya. Kami hanya mengobrol dengan beberapa bapak-bapak yang tengah meronda dan ibu-ibu yang menumbuk padi. Kawan-kawan yang baru pertama kali berkunjung ke Cikeusik, berdecak kagum dengan kebudayaan mereka. Setelah puas berkeliling kampung, kami pamit undur diri.
Alternatif kendaraan menuju Cijahe
Menyewa mobil dari tempat asal kalian-Cijahe, seperti yang saya lakukan.
atau
Menggunakan Elf (biasanya di Terminal Aweh), trayek Rangkasbitung-Parigi (sekitar 25-30K), kemudian turun di Kroya, lanjut cari ojeg kalau males jalan. Lumayan jauh sih kalau jalan dari pertigaan Kroya ke Cijahe. Tarif ojeg kemungkinan 10-20K.
atau
Bisa naik ojeg dari Ciboleger sampai Cijahe dengan tarif 50K dengan waktu tempuh 1,5-2 jam.
Selamat berkelana, bahagia!
Jangan lupa untuk tetap mematuhi adat istiadat yang berlaku di sana.
Salah satunya dilarang mendokumentasikan!