Temaran cahaya rembulan menyinari langkah kami menyusuri jalanan Desa Guci. Malam itu, warga akan melakukan pegelaran Kesenian Bantengan. Rasanya sayang jika pagelaran ini saya lewatkan, mumpung sedang bermalam di sana kan? kapan lagi. Jadi, mari kita menonton.
Jalanan menurun yang cukup jauh meningkatkan panas tubuh kami. Meskipun udara cukup dingin malam itu, tapi kami tidak merasa kedinginan.
“Mba, Mas, jangan berdiri di situ, nanti ditabrak Bantengannya.” warga menghimbau kami untuk berpindah posisi yang area yang lebih aman.
Awalnya, saya bingung pertunjukan macam apa Bantengan itu? apa bedanya dengan kuda lumping?
Di lapangan yang tidak begitu luas, sebuah panggung berdiri dengan berbagai alat musik seperti gamelan diatasnya. Diarea bawah panggung, telah terdapat beberapa orang yang memegang kuda lumping. Seseorang memegang sebuah kayu yang berbentuk kepala banteng dan seseorang yang lain memegang tali sampai bagian ekor sebagai pengendali. Di area dekat panggung, saya juga melihat seseorang yang memegang pecut, yang saya tengarai merupakan pawang.
Musik gamelan dimainkan, para kuda lumping beraksi tanpa kesadaran dalam diri mereka. Mereka sesekali mengejar seseorang yang membunyikan peluit. Kemudian ia berlari dan mengejar dengan membabi buta ke arah datangnya suara pluit. Disisi lain, seseorang yang menjadi banteng dengan aksesoris kepala banteng mencoba menyeruduk kesana kemari.
Riuh sorak dan jeritan menyertai pertunjukan tersebut. Saya pun merasa ngeri-ngeri penasaran dengan pertunjukan ini. Selama menonton saya berdiri dipojokan menyelip diantara banyak orang, karena takut diseruduk.
Suara peluit-peluit makin malam makin riuh. Musik gamelannya pun terdengar lebih kencang dengan tempo yang lebih cepat. Kuda lumping dan banteng tersebut makin ganas. Sang pawang pun makin kewalahan. Penonton seperti sengaja membuat kuda lumping dan bantengan tersebut kalap. Makin kalap, makin banyak yang dikejar, makin serulah acara ini.
Menurut informasi yang saya baca dibeberapa portal online, kesenian Bantengan sangat kental dengan nuansa magis dan ilmu kanuragan. Kesenian ini berkembang dimasyarakat yang tinggal dikaki gunung-gunung di daerah Jawa Timur. Konon kesenian ini sudah ada sejak jaman Kerajaan Singasari. Jamannya Ken Arok dan Ken Dedes dong ya. 🙂
Oh ya, setelah saya perhatikan, ada yang berbeda dari bentuk kuda lumping dari kesenian Bantengan di Desa Guci dengan di kampung saya. Kuda lumping di sini bentuknya satu dimensi dan tipis, sedangkan di kampung saya tiga dimensi.
Baca selengkapnya: Kuda Lumping 3D Asal Pandeglang
Mari kenali dan lestarikan kebudayaan Indonesia.
Mari berkelana, bahagia!