Kali ini saya ingin berkisah bagaimana pengelanaan ini bermula, apa motivasi perjalanan saya sebenarnya?
Sejak kecil saya selalu tertarik bermain diluar rumah, mulai main rumah-rumahan, menyusuri sungai, pergi ke kebun, sampai main di sawah. Semua hal berbau alam ternyata menarik bagi saya. Begitulah jika menjalani masa kecil di desa.
Memanjat pohon yang tinggi kemudian membiarkan angin menerpa wajah dan meniup helaian rambut menjelma jadi candu. Tak jarang saya membawa garam dan cabai untuk memanjat pohon jambu air dan merasakan sensasi makan rujak dari atas pohon. Dari ketinggian saya merasa bebas, merasa nyaman, bisa melihat apapun yang terjadi dibawah saya.
Cerita lain, kami sekeluarga mudik ke Ujung Kulon, sebuah tempat di ujung barat Pulau Jawa setiap tahunnya. Sepanjang jalan, Bapak selalu bercerita bagaimana dulu, ketika ia masih muda, betapa sulitnya menjangkau kampung halaman. Ia harus menyeberangi lautan, menyusuri hutan belantara, menghadapi banyak bahaya. Ia berujar sering melihat berbagai monyet saat diperjalanan berkilo-kilometer dengan berjalan kaki yang menghabiskan waktu bisa seharian penuh atau bahkan lebih.
Saya percaya hal itu benar terjadi, karena faktanya ketika saya kecil, kami harus rela berkilo-kilometer menyusuri pesisir dan jalanan rusak dengan sepeda motor demi menjangkau kampung halaman. Saya bisa melihat pasir putih dan air laut yang biru tosca begitu jernih. Jauh dari kata eksploitasi.
Beranjak besar, cerita Bapak selalu bertambah tentang hutan belantara. Ditambah lagi salah seorang tante bercerita bagaimana indahnya sebuah gunung. Semuanya tersimpan manis dalam imajinasi saya, yang berharap suatu saat bisa saya wujudkan.
“Imajinasi yang kau kuatkan menjadi keinginan akan berujung pada perwujudan.”
Ketika masa kuliah tiba, ketika saya genap menjadi mahasiswa, izin menjadi anak Mapala tak jua diamini orang tua. Hutan dan gunung adalah hal yang mengerikan dibenak Ibu saya. Hingga hari itu pun tiba.
Saya terjerumus kuliah di jurusan Biologi murni. Jurusan yang tak pernah terbayangkan bagi saya akan menjadi apa kedepannya. Semua bayangan indah masa depan bubar sudah. Akhirnya, saya mencari kegiatan non akademik untuk menghibur hati dan mata yang sepet memandangi makhluk renik dibawah mikroskop.
“Ketika semesta memberimu racun, tugasmu adalah mencari penawarnya dengan segera.”
Sampailah saya pada tempat yang mungkin bisa mengobati kecewa dan menuntaskan imajinasi masa kecil tentang hutan belantar. Saya bergabung dengan himpunan profesi bidang eksplorasi alam, yang kerjanya adalah main di hutan, gunung, pantai, dan goa. Alasan akademik, menjadi pamungkas dikeluarkannya izin naik gunung dari orang tua saya.
“Rasa kecewa kadang menjadi jalan untuk bisa memutar balik arena hidup.”
Untuk hal ini, saya harus berterima kasih pada takdir yang memaksa saya menerima kenyataan yang tak diharapkan ini. Dari sini lah pengelanaan ini bermula dan terus berlanjut. Gunung pertama bagi saya adalah Gunung Gede, hingga bertahap saya mendaki digunung-gunung yang semakin tinggi.
“Dari alam, saya belajar berkompromi dengan keadaan. Belajar bagaimana caranya menerima dengan penuh kesadaran.”
Alam menjadi terlihat berbeda dimata saya, gunung tak hanya perihal keindahan semata, tapi juga rumah untuk yang mendiaminya. Kami bermain sambil belajar di setiap tempat yang kami datangi. Kemudian jatuh hati pada apa yang saya pelajari dibangku kuliah. Perlahan tapi pasti bayangan masa depan indah kembali.
“Gunung mengajarkan saya untuk memasang target, menentukan jalur, menakar kemampuan, menikmati proses, dan merayakan hasil.”
Lebih jauh saya berproses untuk bisa mengerti bahasa semesta, belajar lebih baik tentang makhluk hidup yang mendiami bumi. Tapi kadang manusia berpikir hanya dia yang berkuasa dan mahkluk lain ngontrak. Di akhir kuliah saya berkenalan dengan Budaya, yang membawa dahaga akan tradisi di negeri tercinta. Saya semakin tergila-gila!
Saya memberanikan diri keluar dari zona nyaman, menemui orang-orang baru dan berbagi kisah hidup dengan mereka. Mencoba melawan rasa takut dan tidak percaya adalah hal yang saya lakukan. Satu hal yang saya yakini:
“Niat baik, akan menuntunmu menuju tempat dan bertemu teman yang baik.”
Berkelana menjadi ajang mengekplorasi apa yang ingin saya ketahui, serta menemukan diri sendiri. Berkelana mengajarkan cara beradaptasi, juga belajar jadi manusia yang tak mudah menghakimi. Tak jarang dengan berkelana, saya menemukan jawaban atas kegelisahan-kegelisahan yang menyelimuti hati.
“Berkelana terkadang jadi ajang mencocokan teori dengan fakta. Selain ajang menyembuhkan luka.”
Saya percaya semua tempat akan punya perspektif berbeda dimata setiap orang, termasuk saya. Ekplorasi, mengajukan pertanyaan, menguji nalar, menjadi sebuah kebiasaan ketika berkunjung dari satu tempat ke tempat lain. Pada akhirnya, saya menemukan apa yang membuat bahagia, menikmati semua momen yang tercipta, menyimpannya baik-baik dalam bentuk karya.
“Yang menyenangkan dari sebuah perjalanan adalah kejutan demi kejutan yang menyertainya. Jangan takut untuk melangkah. Keberanian itu dilatih, ia tak muncul secara tiba-tiba. Yang tiba-tiba biasanya nekat.”
Jika saya penat dengan rutinitas, pergi menjauh dari meja kerja adalah obatnya. Hidup kalian kurang bahagia? Butuh duit atau kata-kata motivasi yang kadang memberi energi dihidup kita? atau piknik bareng saja yuk!
“Setiap perjumpaan pasti ada perpisahan. Kita harus siap akan perpisahan dan kehilangan. Tapi setidaknya, tinggallah dengan kenangan indah dihati banyak orang yang kau temui.”
Mari berkelana, bahagia!