Bermula dari sebuah screening film Laut Bercerita, sampailah saya pada novel dengan judul yang sama, yang kemudian mengaduk-aduk perasaan. Sebelum saya bercerita mengenai bukunya, izinkan saya mengungkapkan perasaan saya ketika menonton filmnya.
Layar terkembang, kemudian terdengar suara pukulan demi pukulan yang keras menghantam, hadirlah wajah aktor Reza Rahadian yang berperan sebagai Biru Laut Wibisono dengan wajah tak karuan. Kemudian, ia berkisah bagaimana kehidupannya terdahulu dari dasar laut. Berkisah mengenai pergerakannya menuntut keadilan dari sebuah rezim, persahabatan, kehangatan keluarganya, juga cintanya pada Anjani yang diperankan Dian Sastrowardoyo.
Sepanjang film pendek ini diputar, setiap adegan yang tergambar jelas, semuanya terasa menyayat hati. Selama kurang lebih tiga puluh menit, saya seperti terbawa pada kisah-kisah yang tersaji dalam buku Saksi Mata milik Seno Gumira Adjidarma. Karena saat menonton film pendek ini, saya belum membaca bukunya. Lalu bagaimana perasaan saya ketika membaca ceritanya dalam versi lengkap di Novel Laut Bercerita setebal 375 halaman ini?
Novel Laut Bercerita diawali dengan kalimat:
‘Matilah engkau mati
Kau akan lahir berkali-kali…’
Biru Laut Wibisono mulai bercerita kepada kita bagaimana ia menemui kematian setelah tiga bulan disekap. Ia bercerita bagaimana ia bertemu ajal disuatu pagi, ditemani dengan deburan ombak, dengan beberapa kali ledakan, ia melesat menembus gelombang, terjerembap didasar lautan.
“Bapak, Ibu, Asmara, Anjani, dan kawan-kawan…dengarkan ceritaku…”
Ia memulai kisah ditahun 1991 pada sebuah tempat bernama Seyegan, Yogyakarta. Seyegan tak lain merupakan markas Wirasena (organisasi mahasiswa) untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang menurut pemerintah adalah sebuah aktivitas terlarang. Salah satu kegiatan yang mereka lakukan adalah membahas buku-buku terlarang seperti buku karya Pramoedya Ananta Toer.
Terkisahlah kehidupan persahabatan antara Laut, Alex, Sunu, Daniel, Julius, Gusti, Bram, dan Kinan, serta aktivis-aktivis lainnya. Pada Bab Seyagan, Laut bercerita pertemuannya dengan kawan-kawan yang memiliki ketertarikan yang sama. Ketertarikan untuk meruntuhkan ketidakadilan yang dilakukan rezim pemerintahan saat itu. Meskipun mereka tahu, penghilangan secara paksa adalah resiko yang mungkin terjadi pada mereka atau selogan “Tembak ditempat” akan menghampiri hidup mereka.
Laut menceritakan kisah hidupnya tidak berurutan tahun, tapi lebih pada peristiwa antara masa kini (dalam penjara) dan masa lalu (ketika masih menjadi aktivis bahkan sempat buron betahun-tahun lamanya) secara begantian. Terkadang ia berkisah bagaimana indahnya keluarga dan rindunya pada Asmara (adik semata wayang) dan Anjani (kekasih) tiba-tiba hadir bersama aroma tengkleng buatan Ibu dalam imajinasinya.
“Seorang adik perempuan sering tak sadar jika kakaknya meledek, menggoda, dan mengganggu sebetulnya karena sayang.”
Peristiwa Balangguan, demi membela petani-petani jagung yang lahannya akan dirampas pemerintah, menjebloskan Laut kedalam penjara. Ia dipukuli habis-habisan, diinjak dengan sepatu bergrigi, dan disetrum. Saya sungguh membayangkan interogasi dan penyiksaan macam apa yang dialami aktivis-aktivis pada saat itu. Betapa tidak berprikemanusiaan Seibo-seibo itu. Setelah mereka tak mendapatkan jawaban, Laut dan kawan-kawannya dibuang begitu saja di Bungurasih.
“Di kampus kita hanya belajar disiplin berpikir, tetapi pengalaman yang memberi daya dalam hidup adalah di lapangan.”-Bram
Seringnya aktivitas-aktivitas mereka bocor kepada intel, seperti peristiwa Balangguan, Demo di Surabaya, aktvitas di Klender dan acara seminar untuk membahas unjuk rasa yang gagal, membuat Laut dan beberapa kawannya mencurigai Naratama sebagai agen ganda. Hingga pada sepertiga ujung cerita, terkuaklah siapa sebenarnya agen ganda tersebut. Laut pun bercerita bagaimana sakitnya ia dikhianati. Buku ini berkisah persahabatan dan pengkhianatan sekaligus, dari orang yang tak pernah terduga sebelumnya.
“Aku hanya ingin kau paham, orang yang suatu hari berkhianat pada kita biasanya adalah orang yang tak terduga, yang kau kira adalah orang yang mustahil melukai punggungmu,” –Bram
“Kita harus belajar kecewa bahwa orang yang kita percaya ternyata memegang pisau dan menusuk punggung kita. Kita tak bisa berharap semua orang akan selalu loyal pada perjuangan dan persahabatan.”-Bram
Buku Laut bercerita sungguh menceritakan secara gamblang bagaimana kejamnya rezim saat itu. Mereka yang kritis dibungkam, rakyat hidup dalam tekanan, dan penghilangan orang secara paksa adalah perihal yang biasa. Banyak dari mereka yang diculik dan tak pernah kembali bertemu dengan keluarga.
“Yang paling sulit adalah menghadapi ketidakpastian. Kami tidak merasa pasti tentang lokasi kami; kami tak merasa pasti apakah kami akan bisa bertemu dengan orangtua, kawan, dan keluarga kami, juga matahari; kami tak pasti akan dilepas atau dibunuh; dan kami tak tahu secara pasti apa yang sebetulnya mereka inginkan selain meneror dan membuat jiwa kami hancur…”-Alex
Bulan Maret 1998 giliran mereka (para aktivis Wirasena) diculik, disiksa, dan diintrogasi dengan tidak manusiawi. Laut, Sunu, Kinan, Bram, Sang Penyair dan beberapa kawan hilang tanpa jejak setelah disekap. Mereka, yaitu Alex, Daniel, Naratama, Coki, Hamdan dan lima orang lainnya dikembalikan masih dalam keadaan hidup. Hingga saat rezim itu runtuh di Mei 1998. Mereka mulai mampu bersuara atas kekejaman yang mereka terima.
“Setiap langkahmu, langkah kita, apakah terlihat atau tidak, apakah terasa atau tidak, adalah sebuah kontribusi, Laut. Mungkin saja kita keluar dari rezim ini 10 tahun lagi atau 20 tahun lagi, tapi apapun yang kamu alami di Balangguan dan Bungurasih adalah sebuah langkah. Sebuah baris dari puisimu. Sebuah kalimat pertama dari cerita pendekmu….”-Kinan
***
Cerita kemudian berlanjut dari sudut pandang Asmara Jati, Sang adik dari Biru Laut Wibisono dan Kekasih dari Alex Perazon. Sebagai keluarga yang ditinggalkan Sang kakak secara misterius, mereka sangat kehilangan. Kisah Asmara pun dimulai tahun 2000-an.
Bersama keluarga aktivis-aktivis lainnya, Asmara bergabung dengan Aswin dan mencoba mencari keadilan pada pemerintah yang dirasa lebih peduli. Duka kehilangan membuat banyak keluarga hidup dalam penyangkalan. Mereka hidup dalam imajinasi dimana keluarga mereka yang hilang masih tetap ada dalam keseharian.
Ayah mereka masih tetap menyiapkan empat piring dalam ritual makan malam bersama dihari minggu. Memutar lagu yang menandai kehadiran Laut, membersihkan buku-buku dan kamar miliki Laut, seolah-olah Laut akan datang secara tiba-tiba kelak. Semua keluarga yang ditinggalkan mencoba untuk menghibur satu sama lain meskipun belum bisa menerima kemungkinan jika anak, kekasih, suami mereka telah tiada.
“Jika mereka telah tiada, dimanakah jenazahnya, biar kami menguburnya?” kiranya itu yang selalu berputar-putar dikepala mereka.
Membaca buku ini membuat saya sedih tak terkira hingga tak bisa meneteskan air mata. Karena buku ini berlatar belakang sejarah, yang saya tahu memang terjadi di Negara Indonesia sebelum Reformasi. Saya ingat dulu 1998, melalui layar televisi menyaksikan demo dan kekacauan dimana-mana. Karena masih terlalu kecil, saya belum paham bahwa itu terjadi karena Indonesia mengalami krisis moneter yang menyebabkan nilai rupiah anjlok dan mahasiswa mencoba menggulingkan pemerintahan yang korup dan diktator.
Pada saat screening film pendek Laut Bercerita, Sang penulis Leila S. Chudori berkisah cukup banyak. Salah satunya, meskipun bergendre Novel, buku Laut Bercerita ini terinspirasi dari mereka yang pernah diculik dan keluarga dari korban penghilangan paksa. Bahkan untuk menyelesaikan buku ini, ia membutuhkan riset yang mendalam dan memakan waktu hingga lima tahun. Bahkan ia mendatangi beberapa lokasi yang menjadi setting peristiwa dalam novel ini. Faktanya, peristiwa seperti tanam jagung Balangguan-Situbondo itu ada dan nyata.
“Gelap adalah bagian dari alam. Tetapi jangan sampai kita mencapai titik kelam, karena kelam adalah tanda kita sudah menyerah. Kelam adalah sebuah kepahitan, sebuah titik ketika kita merasa hidup tak bisa dipertahankan lagi.” Kata Sang Penyair
Buku Laut Bercerita seperti mengajak kita untuk #melawanlupa akan sejarah yang pernah ada. Untuk orang-orang yang dihilangkan secara paksa, damai dimanapun kalian berada. Untuk mereka yang masih berjuang menuntut keadilan, semoga segera berujung nyata. Berharap semua yang terjadi dalam novel ini dan sejarah kelam negeri ini tak pernah terulang kembali.
Buku ini sangat direkomendasikan untuk kamu yang suka novel berlatar sejarah.
Mari berkelana lewat kata!
2 comments
waaahhh aku terkesima dengan reviewnya kak! aku juga baca novelnya nangis tersedu-sedu…
sedih banget ya, hilang tapi tetap ada untuk keluarga mereka. 🙁