Perih, sakit, dan sadis yang saya rasakan ketika saya membaca kumpulan cerpen Saksi Mata, seolah nyawa manusia tak ada harganya. Pembantaian demi pembantaian tersaji jelas disetiap cerita-ceritanya. Kehilangan demi kehilangan, pertanyaan demi pertanyaan, dimanakah keluargaku, anakku, ayah ibuku, masihkah mereka hidup?
Sakit rasanya. Melebihi rasa sakit karena patah hati. Yang lagi patah hati, ayo Move on 😛
Ada 13 judul cerita pendek didalamnya, yaitu Saksi Mata, Telinga, Manuel, Maria, Salvador, Rosario, Listrik, Pelajaran Sejarah, Misteri Kota Ningi, Klandestine, Darah Itu Merah Jenderal, Seruling Kesunyian, dan Salazar. Semua judul bertema serupa mengenai perjuangan manusia untuk mempertahankan atau menyempurnakan kemanusiaan, sesuai yang tertulis disampul belakang buku ini.
Ketika membaca buku ini saya benar-benar larut dalam ceritanya, saya tak mampu membayangkan jika saya ada pada zaman tersebut. Terlalu sulit untuk dibayangkan, terlalu sadis hidup kala itu, menyedihkan.
Lewat “Saksi Mata”, Seno menuturkan bangaimana suatu kebenaran dibungkam, dimana saksi-saksi mata harus kehilangan mata bahkan lidah untuk bicara. Melalui “Telinga”, saya diajak berpikir ulang tentang pemaknaan Pahlawan. Siapakah Pahlawan?
Kami bahkan begitu sulit untuk mengadakan pesta seperti adat kebiasaan kami, karena setiap pertemuan orang banyak dianggap sebagai persekongkolan. Orang-orang yang dicurigai menurut selera sendiri dan introgasi berlangsung dengan cara yang kejam sekali. Tak cukup dengan bentakan, ancaman, dan pukulan.-Manuel
“Maria” adalah salah satu favorit saya, rasa sakit karena kehilangan, kepasrahan dalam penantian, dan rasa terbuang mungkin berkecamuk dalam cerita hidupnya. Saya ikut gusar saat membacanya.
“Kamu bukan Antonio.”
“Aku Antonio, aku Antoniomu!”
Lelaki rongsokan itu mengguncang-guncang ibunya.
“Rosario” adalah sejenis tasbih, dan bagaimana tasbih bisa bersarang didalam tubuh seseorang menunjukan betapa sadisnya seseorang pada masa itu.
Bagaimana “Rosario” bisa bersarang dalam tubuhmu selama 20 bulan Fernando?
“Misteri Kota Ngini” juga menjadi salah satu favorit saya. Tentang seorang petugas sensus yang menemukan kejanggalan pada suatu kota.
Pada hari pertama aku memasuki sebuah rumah, aku menemukan suatu hal yang ajaib. Kuhitung seisi rumah, ada tujuh orang di sana.
“Jadi semuanya ada tujuh ya bu?”
“Sebenarnya delapan.”
“Ya, yang satu sudah meninggal kan?”
“Tidak, dia belum mati. Dia memang dibunuh, tapi belum mati.”
“Mana dia?”
“Dia ada di sini, bersama kami.”
“Mana?”
Tangannya menunjuk ke meja makan. Aku memandang ke arah yang ditunjuk oleh tangannya itu. Kulihat ada nasi di piring, ada kerupuk, dan ada tempe. Kulihat sendok dan garpu bergerak sendiri, seolah-olah ada seseorang yang memegangnya, dan menyuapkan nasi serta tempe itu ke mulutnya, Aku ternganga.-Misteri Kota Ngini
Ngeri bukan?
Buku ini sangat bagus, menyadarkan saya bahwa pembantaian itu pernah ada, menyadarkan saya untuk belajar menjadi Manusia yang Memanusiakan orang lain.
4 comments
Betul mb merinding pas baca cerpen2nya seno gumira, saya suka yg elektra , tp agak g ngedong yang rosario?
Iya merinding banget ya pas bacanya. Ga kebayang kondisi masa itu. bersyukur hidup di saat ini.
Maaf mb komen lg, td salah nulis alamat blognya. Salam kenal yah mba 🙂 blognya cantik dan isinya kerenn
Salam kenal intan. Makasih