“Tak seperti perang kebanyakan, Perang Topat bukan simbol permusuhan, melainkan simbol kasih sayang dan persatuan.”
Setelah puas ngubek-ngubek Taman Narmada dan mampir sejenak ke Universitas Mataram, akhirnya saya sampai di Pura Lingsar dengan ditemani rintik-rintik hujan. Pura Lingsar merupakan pura yang sejarahnya masih terkait dengan Taman Narmada, konon dulunya satu komplek.
Pura Lingsar berada di Desa Lingsar, Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok Barat. Pura ini merupakan pura terbesar di Pulau Lombok yang di bangun oleh Raja Anak Agung Ketut Karangasem pada tahun 1741. Pura ini dianggap pura yang paling suci di Lombok dan merupakan simbol kerukunan antar umat beragama, terutama antara umat Hindu dan Islam Watu Telu.
Menurut mbah google, pura ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu di bagian utara terdapat Pura Hindu bernama Gaduh, sedangkan di bagian selatan berdiri Pura Weku Telu bernama Kemaliq. Sayangnya saya tidak bisa mengeksplor tempat ini dengan leluasa, karena hari itu Pura Lingsar sedang melaksanakan acara Pujawali atau lebih dikenal Perang Topat. Sebenarnya acara Pujawali dilaksanakan olah semua umat Hindu, bedanya di Pura Lingsar ada tambahannya Perang Topat ini yang dilakukan bersama-sama dengan umat Muslim Watu Telu.
Saya juga tidak bisa melihat kolam Dewa Whisnu atau Telaga Ageng yang konon harus melempar telur rebus jika ingin melihat ikan-ikan di sana. Selain itu, konon jika kita melempar koin ke dalam kolam maka akan mendapatkan kemudahan rejeki dari Tuhan. Yah, saya sedikit kurang beruntung, yang artinya masih banyak untungnya. hehe
Bagaimana tidak beruntung, saya bisa menyaksikan Perang Topat yang hanya dilakukan sekali dalam setahun. Menyaksikan acara adat yang sebenarnya tidak ada dalam list destinasi saya. Rejeki anak sholehah nih. Apa sih perang topat?
Sesuai namanya Perang Topat, perang menggunakan ketupat, iya ketupat yang biasa kita makan pas Lebaran, yang campur pake opor ayam. Yang enak banget sampai lupa kalau lagi diet. 🙂 🙂 😮
Kali ini ketupatnya ga dicampur opor ayam, tapi dilempar kepada semua orang yang ada diarena perang. Perang ini menandakan rasa syukur atas rejeki yang melimpah, dan menunjukkan kerukunan antar umat beragama.
Pukul 3 sore (6 Desember 2014), Pura Lingsar sudah dipenuhi banyak manusia. Baik mereka yang merupakan bagian dari ritual, pengisi acara, atau mereka yang hanya menonton atau sekedar mengabadikan momen dalam lensa seperti saya. Hujan rintik-rintik yang berubah menjadi lebih deras tak mengganggu acara ini sedikitpun.
Acara dimulai dengan sambutan dari panitia, kemudian tokoh agama maupun adat serta para pejabat setempat. Saya sudah tak tahan ingin ambil gambar dan berjalan kesana kemari. Saya tinggalkan teman saya dan anaknya yang sedang payungan untuk berkeliling.
Sebelum ke acara inti, kami disuguhkan beberapa tarian tradisional beserta penjelasan mengenai sejarah-sejarahnya dari tarian-tarian tersebut. Hebatnya lagi pemandu acaranya Bilingual, Indonesia-Inggris, padahal turis macanegaranya terhitung sedikit yang menyaksikan acara ini. Salut buat Lombok, udah siap Go International.
Tarian-tarian yang ditampilkan cukup banyak, diantaranya Tarian Dewi Anjani, Tarian Puteri Mandalika, Presean, bahkan ada Gendang Beleq yang tersohor. Diantara sela-sela pertunjukan tari ini, umat Hindu dan Islam yang membawa alat perang, dan perlengkapan upacara adat bersiap-siap di dalam Kemaliq. Kemudian satu persatu mereka keluar beriringan dengan diiringi berbagai alat musik menaiki tangga.
Mereka berjalan kebelakang panggung kemudian berhenti untuk menunggu aba-aba berikutnya. Tarian-tarian tradisional pun ditampilakn kembali. Saat berhenti ini, saya tak henti menangkap keunikan dari setiap bawaan yang ditaruh diatas kepala. Mulai bunga, makanan, sampai air dalam kendi. Penataan yang unik, serta ada beberapa ibu-ibu yang menggunakan pakaian tradisional Lombok. Ada juga beberapa pria menggunakan pakaian perang layaknya jaman penjajahan. Bagi saya yang memang tertarik dengan acara tradisional. Ini mengagumkan.
Cukup lama mereka berdiri sembari diguyur hujan. Saya bingung, mereka menunggu apa dan setelah ini apa yang dilakukan. Tak ada untuk bertanya. Ya sudahlah saya amati saja. Tarian demi tarian usai dipentasakan, gendang beleq ditabuh mengawali waktunya mereka kembali kedalam Pura Kemaliq dengan rute berbeda. Yah, mereka seperti mengintari area Pura Lingsar ini.
Lama mereka dalam Pura, tak sabar saya menunggu adegan berikutnya. Dua orang pria berpakaian hitam dan yang satu putih hilir mudik keluar masuk pura. Saya menduga mereka adalah Tokoh adat dan agama di pura ini.
Tarian puteri mandalika dan presean pun ditampilkan. Tiba-tiba saya mendengar kegaduhan dalam Pura, ternyata beberapa pria sudah bersiap diatas tembok pagar untuk menyerang.
Sekitar pukul setengah lima sore, suasana makin gaduh, beberapa orang keluar dari dalam pura mengantarkan ketupat dan beberapa bahan-bahan perang lainnya keatas panggung. Perangpun dimulai.
Ketupat mulai bertebrangan dan menghantam siapapun yang ia kehendaki. Awalnya saya pikir masih aman untuk mengabadikan moment ini. Sampai pada saat sebutir telur yang berisi embrio ayam mendarat beberapa sentimeter dari tempat saya berdiri. Bau busuknya tak bisa saya tahan. Khawatir akan terkena lemparan telur busuk dan demi kemaslahatan kamera saya, saya putuskan untuk meninggalkan perang ini sebelum usia.
Perang yang tak memakan korban dan bukan atas dasar kebencian ini menunjukkan pada saya indahnya bersatu dalam kebhinekaan.
Mari berkelana, bahagia!