“Menyeduh kopi sebenarnya seni mengukir rasa.. Nah, Ini rasa kehidupan….”
Jenuh dengan rutinitas, serta rindu suasana gunung, kebersamaan, dan pemandangan yang indah, membuat saya hampir setiap hari membuka situs Backpacker Indonesia. Tanpa sengaja saya bertemu dengan satu Postingan bertajuk share cost ke Lawu via Cheto. Melihat tanggalnya, saya makin tergiur. Bisa lah bolos dari kampus sehari. Tanpa pikir panjang saya langsung mengajak teman saya Jojo yang berdomisilir di Jogja.
“Jo, mau ikut ke Lawu ga tanggal 30 Mei sampai 1 Juni?” begitu kiranya isi Whatsapp saya pada malam hari 2 bulan sebelum hari H. Saya tak melihat jam waktu itu, maap ya jo kalau ganggu malam-malam.
Ternyata whatsapp saya berbalas.
“Boleh kak, gue udah beres PKL tuh” jawabnya
“Serius lu, kalau lu ikut gue langsung beli tiket nih” saking senangnya ada teman..hehe
“Iya kak”
“Oke, sip”
Esok harinya saya langsung menghubungi sang koordinator dari pendakian ini.
Singkat cerita saya dan Jojo (*bukan sinta dan jojo keong racun) terdaftar untuk kelak mendaki Lawu bersama. Tiket perjalanan sudah ditangan. Whatsapp grup pun tercipta dan obrolan seputar Lawu pun dimulai. Mulai biaya, transport yang akan digunakan untuk PP Jebres-Cheto, peralatan pendakian, dan konsumsi, kita rundingkan bersama. Jadi merasa kami sudah mengenal lama.
Hanya mengenal didunia maya, akhirnya kami bertemu didunia nyata. Tiga puluh Mei 2015 pukul 15.00 WIB kami berjanji bertemu di Stasiun Pasar Senen. Orang pertama yang sudah sampai di lokasi tentunya sang Ketua team kami, Bang Yuher.
Perjalanan dari Bogor saya tempuh menggunakan APTB (Bus antar kota yang terintegrasi melalui jalur Busway), lumayan tidak terkenan macet. Dengan membayar Rp.16.000,- tibalah saya di Terminal Pasar Senen, saya kemudian langsung menyebrang ke Stasiun Pasar Senen. Dekat ternyata, maklum sudah lama tak silaturahmi dengan Stasiun ini.
Saya melihat banyak manusia bercariel berkumpul disana sini, mayoritas mereka akan mendaki Semeru. Saya tak bisa melihat team saya dikerumunan. Hp saya mati, karena kedodolan menonton youtube selama di APTB, dan power bank ngadat tak mau menyalurkan energinya. Setelah 15 menit berputar-putar mencari wajah yang familiar, karena sebelumnya saya pernah bertemu beberapa orang diteam saya ketika kopdar di Monas, saya menyerah. Senderan dekat toilet mushola. Saya lelah… 🙁
Akhirnya, saya bertanya dimana tempat yang ada colokan untuk charger HP kepetugas kebersihan di dekat Toilet.
“Tempat charger HP dimana yang mas?”
“Ruang tunggu di sebelah mba?”
“Makasih”
Ngeliat kotak-kotak tempat charger HP kayak ngeliat cowok ganteng plus gebetan, bahagia banget, langsung ngibrit.
Hidup terselamatkan, hp nyala, dan saya bisa menghubungi teman-teman. Aman
Hingga pukul 15.30 WIB personel kami tak juga bertambah. Hanya saya, bang Yuher, bang Dandy, kang Arie, Iwan, dan Ipoy. Awal, Tami, dan Kharisa tak juga menampakkan batang hidungnya. Kereta sudah tersedia, pintu masuk telah dibuka, kami terus berusaha menghubungi mereka. Ada yang terkena macet, ketinggalan dompet hingga harus balik lagi, dan kurang estimasi waktu. Hingga akhirnya Kereta Brantas ini melaju direlnya, Awal tak juga datang. Selamat datang Tami dan Kharisa, akhirnya ada personel wanita. hehe
Sore beranjak pergi, berganti malam yang dingin. Versi saya, karena tak tahan terkena guyuran AC (*sorry norak, biasa angin cepoi-cepoi). Cacing diperut mulai berdemo.
“Nyari makan malem yuk?”
“Yuk”
Kami para wanita memutuskan makan di gerbong restorasi, sambil ngerumpi sana-sini. Sedang para prianya, hanya menitip untuk dibelikan makan dan air panas.
Ketika kembali ke tempat duduk salah satu teman menawarkan kopi gayo.
“Mau kopi gayo?”
“hah, kopi gayo? mau dong, siapa yang bikin?”
“Noh, bang Dandy”
“Kok, kopinya manis?, kopi tuh pahit, ini sih gula” sambil menyeruput saya berkomentar
“Mau yang tanpa gula?” bang Dandy menawarkan membuatkannya
“Mau” jawab saya singkat, kapan lagi minum kopi enak di kereta malam
“Gayo, Ijen, atau Mandailing?” tanya bang Dandy
“Wah, bawa banyak bang?”
“Ga, cuma tiga itu?”
“Gue milih Ijen bang, penasaran rasanya”
“Espresso ya”
“Hah, apa?” sesungguhnya saya baru belajar tentang kopi mesti hidup lima tahun diantara tiga penggila kopi.
“Dosen gue tuh nyari yang Jember, beda ga bang ma Ijen”
Obrolan tentang kopi pun dimulai, sambil menunggu tetesan demi tetesan kopi ijen turun ke gelas.
“Itu alatnya apa bang?”
“oh ini, Vietnam drip“
Saya begitu antusias membicarakan kopi, mulai dari jenis hingga penyajian.
“Gue tuh tertarik sama kopi, akhir-akhir ini sih bang, karena ikut workshop Filosofi Kopi. Padahal di leb gue, tiap hari dosen-dosen gue nyeduh kopi, lengkap pula dari berbagai daerah. Cuma ga tertarik karena ga ngerti proses sebelum tuh kopi jadi minuman. Setelah tahu, jadi pegen belajar mulai dari roasting sampe ngemix kopi. Gue harus tahu jenis kopi dan prosesnya dong buat bisa ngemix”
“Gue harus tahu jenisnya, asalnya, dan gimana roastingnya buat bisa ngemix kopi. Ga bisa ngasal…Itu yang bikin menarik dari membuat minuman kopi..”
“Iya bener, karena beda daerah beda rasa, gue sukanya origin sih”
“Iya sih bang, belajarnya dari origin dulu. Gue penasaran juga tuh sama yang kopi dari bali yang fruity katanya”
“Elu dari kapan ngopi bang?, belajar juga ga tentang kopi, les atau ambil kelas barista gitu?”
“Iya, gue ikut, udah lulus”
“Bikin kopi ijen, Diajarin sama baristasnya langsung, How I’m lucky girl” begitu kiranya postingan saya di Instagram saat memegang vietnam drip yang lumayan bikin pegel.. 🙂
Setelah hampir 10 menit ngobrol sana-sini akhirnya Ijen siap dinikmati.
Kopi berada ditangan saya, baunya enak, ketika disruput, rasa pahitnya kok beda yang, pas banget, enak. Akhirnya saya sodorkan gelas itu ke teman-teman saya satu persatu. Kesimpulannya Enaak. 😛
“Ini pahitnya pas ya, rasa kehidupan” eh saya curcol. Pahit yang tertinggal di bibir tuh enak pas dijilat, berasa makan es krim.
Mba Kharisa ternyata mulai penasaran, dia langsung searching alat-alat untuk pebuatan kopi. 🙂 😉
Obrolan tentang kopi ternyata tak usai di Kereta malam, karena ketika sampai di Stasiun Jebres pun saya masih antusias ngobrol dengan bang Dandy tentang kopi. Sang barista kami.
Apa rasanya kopi di puncak tertinggi ya?
Mari kita coba di Lawu nanti, mumpung ada yang rela memegang Vietnam drip selama 10 menit. 🙂
Sampai jumpa di cerita berikutnya…
Mari berkelana, bahagia!
1 comment