Cerita dari Gunung Pancar

Hampir setiap akhir pekan, ada saja teman yang mengajak saya keluar dari ruang 3×3 meter yang memanjakan saya dengan kasur empuknya.

Weekend lalu (30/8/2015), bersama Siti, saya menyusuri jalan Darmaga-Sentul dengan sepeda motornya. Kami berjanji bertemu teman-teman Siti di daerah Sentul untuk kemudian berwisata ke Gunung Pancar. Gunung Pancar berlokasi di Kecamatan Citeureup, Sentul-Bogor. Motor-motor kami melaju menyusuri jalanan berdebu, dengan terik matahari yang tak memberi toleransi. Berkali-kali saya berkata “daerah sini panas banget loh, kok banyak orang berkunjung ke tempat ini”.

“Mungkin karena tersihir Hutan Pinus Gunung Pancar kak, lagian lokasinya kan dekat dari Jakarta” Siti menjawab.

Sepanjang perjalanan kami berkali-kali berhenti untuk menanyakan jalan menuju Gunung Pancar, khawatir tersesat. Kami masuk ke kawasan Babakan Madang, ternyata sejalur dengan Jungle Land. Jalanan menuju Gunung Pancar tidak terlalu lebar jika dibandingkan banyaknya kendaraan yang melintasi daerah tersebut. Pada satpam Jungle Land, saya bertanya arah ke Gunung Pancar.

“Itu lurus aja neng, nanti di depannya ada kok pintu masuk Gunung Pancar, entar bayar tiket perorang 10 ribu”

“Baik, makasih pak”

Kami berenam melaju kembali melewati jalan yang tadi pak satpam tunjukan. Hingga pada persimpangan jalan kami dihadapkan pada pilihan.

“Lurus atau belok kanan nih?” Siti bertanya

“Udah berenti dulu aja kita tannya lagi” intruksiku

Kemudian saya bertanya pada seorang ibu yang sedang duduk diteras rumahnya. Ia menjelaskan bahwa jika hendak ke Hutan Pinus belok ke kanan, tapi jika akan ke Curug Leuwi Hejo ambil lurus saja. Setelah mengucapkan terimakasih saya kembali ke teman-teman saya. Kami berembuk, untuk memutuskan tempat mana yang akan pertama kali kami datangi. Suara bulat penuh, Hutan Pinus.

Ketiga motor kami kemudian melaju, kali ini jalanan agak sepi, hingga sesaat tiba di Pintu Gerbang Gunung Pancar, saya baru menyadari banyaknya pengunjung di tempat ini. Kami dikenakan biaya Rp.20.000,-/motor.

on blog DSC01359 copy
Hutan Gunung Pancar

Musim kemarau ternyata merata, kekeringan dimana-mana. Hingga Hutan Pinus yang seharusnya hijau pun berwarna pucat dan kecoklatan. Hutan yang seharusnya teduh pun, terasa gersang. Kami memarkir kendaraan, dan melanjutkan berkeliling hutan pinus dengan berjalan kaki.

“Harusnya kesininya pas musim hujan, biar ijo pinusnya, jadi lebih bagus pas difoto.” saya berkomentar.

Kami berenam berjalan bersama, sesekali berfoto, dan pastinya mengenal lebih dekat. Karena itu kali pertama saya berkenalan dengan Mba Nisa, Astuti, Dwi, dan Lina. Mereka semua adalah teman kerja dari Siti yang notabene berprofesi sebagai seorang guru.

Selfie first
Selfie first
Suasana kemarau di Gunung Pancar

Puas berfoto, kami duduk-duduk diantara pepohonan, mencari tempat teduh. Satu persatu mereka mengeluarkan bekal, nah loh hanya saya yang ga bawa bekal apapun. Kami berbagi makanan, berbagi cerita, dan pengalaman.

Sepanjang perjalanan ketempat ini saya bercerita banyak dengan Siti. Cerita yang menggugah kesadaran, jika generasi berikutnya dibangun dengan peran serta kita saat ini. Kesibukan kita dengan karier jangan sampai mengabaikan waktu dengan anak-anak kita.

“Guru terbaik sebenarnya adalah orang tua, seorang ibu. Dia yang seharusnya mengajarkan hal-hal yang tak diajarkan di sekolah pada anak-anaknya.”

Itu kenapa saya selalu berpikir, pendidikan itu penting, karena kita sebagai wanita yang akan menjadi guru pertama di keluarga. Tak peduli kelak profesimu apa. Mengajarkan mereka untuk menjadi manusia yang cerdas dan berbudi, hingga kelak tak menyakiti sekitar.

Pine Forest in BW
Pine Forest in BW
Red Only

Matahari tepat diatas kepala, ketika kami mulai memutuskan untuk beranjak pergi dan meneruskan perjalanan ke Curug Leuwi Hejo. Curug ini konon katanya bagus.

Sepanjang perjalanan kami dihadapkan pada jalanan yang rusak, serta tanjakan dan turunan tajam. Pemandangan sekitar menunjukan betapa dahsyatnya kemarau melanda. Sungai mengering, hutan yang tandus, serta orang-orang yang sedang mengantre air bersih.

Pada saat turunan dengan kemiringan 45 derajat, menurut ibu guru matematika kami, Mba Lina mulai menyerah.

“Haduh, tadi serem banget turunannya..” Ucap mba Lina ketika kami berhenti di pinggiran sawah.

“Iya, 45 derajat tuh” sahut Mba Dwi yang tak lain guru matematik.

“Mau lanjut apa balik lagi nih?” tanyaku

Berbekal informasi dari mas-mas yang katanya sudah tiga kali berkunjung ke Leuwi Hejo. Jalanan yang ditempuh tak akan seseram yang tadi, hanya sekitar 15 menit lagi kita akan sampai ke Curug.

Semangat pun pulih, kami melanjutkan perjalanan, hingga sesaat sebelum turunan dan tanjakan tajam, kami memutuskan berbalik arah. Jalanan rusak, turunan tajam dan berbelok, serta jalanan menanjak yang panjang, tak sanggup kami lalui.

Perjalanan kami sudahi, mungkin esok nanti, kita bisa jalan bersama lagi.

See when i see u
See when i see u

Mari berkelana, bahagia!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *