Sedang ingin mengenang, sebuah momen indah yang selalu terkenang!
Ini kali pertama saya menyeberangi Selat Sunda, yang memisahkan Pulau Jawa dengan Sumatera. Malam itu diakhir April 2013, kami berjanji bertemu di Pelabuhan Merak untuk kemudian menyeberang ke Bakahueni. Kami hendak berlibur bersama di sebuah Gunung Vulkanik ditengah lautan luas, Gunung Krakatau namanya. Liburan kali ini, saya mengikuti open trip dengan jumlah peserta yang lumayan rame.
Krakatau atau Karakatoa merupakan gunung vulkanik yang masih aktif sampai saat ini. Kondisi saat ini sih sedang pada level 2 atau Waspada. Sesekali dia erupsi dan getaran yang menunjukkan aktifitasnya terasa sampai ditempat tinggal saya saat ini.
Sebenarnya Gunung Vulkanik yang ada sekarang adalah anaknya Gunung Krakatau, karena induknya (Gunung Krakatau) telah meletus dengan dahsyat pada 26-27 Agustus 1883 dan memakan korban lebih dari 35.000 jiwa. Peristiwa letusan Gunung Krakatau menyebabkan perubahan iklim global, bahkan getarannya sampai di belahan bumi Eropa. Empat puluh tahun kemudian, muncullah si Anak Gunung Krakatau yang kita kenal saat ini.
Kala itu kami tiba pagi hari di Pelabuhan Bakahueni setelah terombang ambing dilautan selama kurang lebih empat jam. Beruntunglah saya tidak mabuk laut.
“Akhirnya nginjekin kaki di Lampung. Ternyata ga horor juga naik kapal laut.” gumam saya.
Kami melanjutkan perjalanan ke Kalianda menggunakan angkutan yang telah kami sewa. Sesampainya di Kalianda, kami bersiap diri untuk menyeberang ke pulau-pulau sekitar Gunung Krakatau seperti Sebeku kecil, Sebeku besar, dan Umang. Kemudian kami bermalam di Pulau Sebesi untuk esok harinya menginjakan kaki di tujuan utama, yaitu Pulau Gunung Krakatau.
Dengan menggunakan perahu berkapasitas 25-30 orang, kami meretas ombak menuju spot-spot untuk snorkling. Saya sendiri bukan pencinta kegiatan di air, alasannya sederhana, karena tidak bisa renang. Tapi, salah satu kawan mengajari saya untuk bisa snorkling. Alhasil, saya mencobanya dan tetap tak bisa mengendalikan diri sehingga membuat terumbu karang yang tak sengaja saya injak patah. Pemandangan dibawah laut memang indah, tapi karena merusak tempat tinggal ikan-ikan itu membuat saya merasa bersalah.
“Kenapa tidak mencoba untuk snorkling dan diving?” pertanyaan itu sering muncul tatkala mereka tak menemukan tulisan saya tentang kegiatan tersebut di blog ini. Alasannya mungkin bisa terdefinisi dari paragraf diatas.
Siapa coba yang tak ingin melihat keindahan bawah laut. Mungkin nanti, suatu saat, minimal sekali dalam hidup saya mencoba menyelami lautan Indonesia yang tersohor keindahannya. Mari belajar renang biar tidak merusak trumbu karang. 🙂
Kawan-kawan yang lain sibuk di dasar laut, saya sibuk di atas dek kapal sambil menikmati mereka yang hilir mudik membelah lautan. Selain itu, saya malah asik bermain bintang laut yang baru kali itu saya dapati. Senang bisa megang mereka dalam bentuk hidup, ga kaku seperti yang ada di Laboratorium. Mungkin ini juga yang menarik dari jalan-jalan, melihat hewan-hewan awetan dalam bentuk hidup dihabitatnya. Sebuah kepuasan 🙂
Puas bermain di laut, berpindah-pindah pulau dan saya masih saja berjemur di dek kapal, kami melanjutkan perjalanan ke Pulau Sebesi. Di pulau ini kami hendak menginap di rumah-rumah warga yang disewakan. Penduduk di pulau ini ternyata cukup banyak dan fasilitas publik seperti sekolah pun telah ada. Saat di sana, saya sering melihat hamparan biji-biji cokelat yang sedang dijemur dipelataran rumah mereka. Tampaknya, coklat merupakan salah satu sumber penghidupan penduduk di sini.
Malam beranjak larut dan kami isi dengan beristirahat. Kami tidur berjajar diatas kasur bak ikan yang sedang dijajakan di pasar, hangat saya rasa. Keesokan paginya, pagi sekali malah, kami menyebrang dari Pulau Sebesi ke Anak Gunung Krakatau.
Saya tertidur sepanjang perjalanan, karena sangat mengantuk. Ketika bangun, saya mendapati Anak Gunung Krakatau telah tepat didepan mata. Sebentar lagi kami bersandar dan akhirnya saya menginjakan kaki di gunung yang berlokasi di tengah laut ini. Mari teriak horai terlebih dahulu. 🙂
Tahun 2013, kami masih boleh menginjakan kaki di Gunung Krakatau. Tapi, saya dengar sekarang-sekarang hal itu sudah tidak diperbolehkan. Mengingat ia merupakan cagar alam dan statusnya yang waspada. Selain menjaga habitat mungkin juga menjaga agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.
Waktu itu kami melakukan treking dari bibir pantai selama kurang lebih tiga puluh menit untuk sampai di dekat Gunung Krakatau ini. Sepanjang perjalanan saya hanya melihat pasir, tumbuhan-tumbuhan perdu dan semak, jarang yang tumbuhan tinggi dan besar. Asap mengepul dari atas gunung seolah memberitahu kapan saja ia bisa memuntahkan isi perutnya.
Jika kalian pernah naik gunung Rinjani, Semeru atau Bromo yang punya tekstur berpasir dan bebatuan. Nah, begitu juga tekstur Krakatau ini. Kalau jalan, langkah satu turun setengah. Sehingga butuh usaha juga untuk sampai ke atasnya. Ketika sampai diatas, kalian ga akan nyesel, karena pemandangannya bagus. Kalian bisa menyaksikan sebuah bukit disebarang gunung dan pulau-pulau kecil yang mengintarinya. Kalau pernah nonton film The Naked Traveler, pasti kebayang deh gimana indahnya.
Untuk bisa traveling ke Gunung Krakatau sebenarnya mudah, rutenya jelas, dan banyak juga yang open trip kesana. Hanya harus tahu kapan waktu baiknya ya. Kalau sekarang-sekarang, sepertinya dia enggan dikunjungi siapapun. Semoga statusnya mereda kembali, jadi saya bisa kembali dan mengulang cerita ini lagi. 🙂
Perjalanan ini adalah kali pertama saya naik kapal laut, pertama ke Lampung, pertama snorkling, pertama kali megang bintang laut, dan pertama treking di gunung yang ada di tengah laut. Karena yang pertama memang terkadang sulit dilupakan, maka saya abadikan.
Mari berkelana, bahagia!