Kinahrejo, sebuah cerita yang tergali dari sana

Hari itu 8 Mei 2012, saya bertemu kawan lama semasa kuliah di Bogor. Ia bersedia mengantar saya melihat Merapi dari dekat. Dari sebuah desa yang tersohor lantaran dibumi hanguskan erupsi Merapi 2010 silam, Kinahrejo namanya. Bersama Dimas sang teman lama sampailah saya ke Desa Kinahrejo.

Kami memarkir kendaraan roda dua kami tepat di pintu masuk perkampungan. Kemudian kami melanjutkan perjalanan menuju lokasi yang menjadi tempat tinggalnya Mbah Maridjan semasa hidupnya. Sang juru kunci Merapi yang mengabdikan jiwa raganya untuk menjaga Merapi. Hingga ketika Merapi hendak erupsi pun ia enggan untuk diungsikan. Begitu kabar yang beredar di media masa kala bencana alam ini terjadi.

Desa Kinahrejo di kaki Gunung Merapi
Desa Kinahrejo di kaki Gunung Merapi
Lokasi Rumah Mbah Maridjan
Lokasi Rumah Mbah Maridjan yang rata dengan tanah

Ditempat ini juga saya melihat bangkai kendaran roda dua maupun roda empat milik wartawan serta relawan yang menjadi korban awan panas Merapi. Nama serta fotonya terpanjang di baliho berukuran kira-kira 3×2 meter.

Baliho dari Sahabat untuk Sahabat
Dari Sahabat untuk Sahabat

Inikah bentuk dari dedikasi yang tinggi atas sebuah profesi? loyalitas tanpa batas. Hingga kecintaan akan apa yang dikerjakan tak memberi celah rasa takut akan resiko terbesar kehilangan hidup yang hanya sekali saja. Karena hidup sekali mungkin sudah cukup dengan cinta yang terus menjalar di seluruh sanubari. Semoga kalian mendapat tempat terbaik disisi-Nya. Aamiin

Kami kemudian melanjutkan perjalanan menanjak mendekat sampai batas yang diperbolehkan. Saya melihat puncak Merapi malu-malu mengintip dari balik awan.

“gue ga kebayang dim gimana pas Merapi erupsi, horor kali ya?” saya bergumam

Kami mengobrol kesana-kemari entah apa yang menjadi topik pembicaraan tempo dulu antara saya dan Dimas, saya tak ingat secara pasti. Saya hanya ingat kami membicarakan sistem perkuliahan kami yang berbeda di jenjang pendidikan berikutnya setelah kami sama-sama lulus dari salah satu kampus di Bogor. Dimas memilih pindah kampus dan tinggal di Jogja sedangkan saya memilih menetap di kampus yang sama dan tinggal di Bogor.

Angin semilir memberikan udara kebebasan bagi saya. Maklum saja mahasiswa kalau abis lulus hawanya lain. Lega.. 🙂

Hingga tiba-tiba mata mengedarkan pandangan secara seksama pada tumbuhan-tumbuhan hijau yang mulai tumbuh di atas tanah hitam yang bercampur abu vulkanik. Sudah terjadi suksesi rupanya. Argh, kenapa saya tiba-tiba ingat istilah ini?

Okeh saya jelaskan sedikit. Suksesi adalah perubahan ekosistem yang rusak akibat gangguan atau bencana alam menuju lingkungan ekosistem yang lebih teratur dan stabil dalam kurun waktu tertentu. Biasanya awal suksesi ditandai dengan munculnya tumbuhan semak. Semacam recovery, intinya itu, lebih lanjut tanya wikipedia.  kalau dilanjut bisa kuliah 2×40 menit nih. 🙂

Alam mampu merecovery dirinya sendiri tanpa bantuan manusia, dan kita semena-mena merusaknya?

Suksesi, Mulai menghijau
Mulai menghijau

Hari mulai siang, dan matahari makin terik, ketiadaan pepohonan, membuat kami terasa terpanggang. Dengan sedikit berlari kami melewati jalanan yang kali ini menurun.

“Lu mau kemana lagi abis ini?” tanya Dimas

“Taman sari, tapi makan siang dulu lah, dimana gitu?” jawab saya

Tujuan kami berikutnya adalah makan, naga dalam perut sudah mengamuk karena waktunya dia diberi makan. Sampailah saya ke sebuah tempat makan yang unik, The House of Raminten namanya. Sekali lagi saya berkata, Orang Yogyakarta Kreatif ya. Teman saya yang memiliki darah Yogyakarta ini menjadi bangga.

Lambaikan tangan ke kamera
Lambaikan tangan ke kamera

Bersambung ya…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *