Something that you do not expect brings a surprise to your life. I called it ‘Friends’.
Windy Ariestanty, penulis yang karyanya sering saya kepoin di blog pribadinya windy-ariestanty.tumblr.com yang berjudul “13”. Saya selalu suka dengan cara Mba W sapaan untuk Windy bercerita. Ia begitu detail sehingga saya terbawa suasana ketika membaca karyanya. Saya juga mengagumi pemikiran-pemikirannya yang ia tuangkan dalam cerita. Tidak menggurui, namun mengajak kita untuk berpikir apa dan bagaimana sikap yang harus kita ambil. Cerita demi ceritanya mengalir. Begitu juga dengan karyanya yang bertajuk ‘Life Traveler’.
Buku ini baru sempat saya baca, buku hasil pinjeman karena udah susah banget nyarinya. *Mba W cetak ulang plisss, saya mau punya, buat saya simpan dan baca lagi.
Buku ini bercerita mengenai perjalanan, tapi bukan hanya tentang tempat yang indah dan pemandangan yang menakjubkan. Buku ini bercerita lebih dari itu, ia bercerita mengenai moment, bercerita bagaimana seorang menangkap moment dalam ruang dan waktu yang berbeda-beda.
Tempat yang dikunjungi boleh sama, tapi moment yang dialami tentunya beda bukan?
Lewat “Berkemas”, Mba W bertutur mengenai hal yang mungkin sebagian orang berpikir, hal itu adalah biasa. Namanya juga mau bepergian ya berkemas. Namun, ini jadi beda dimata Mba W. Berkemas mejadi hal yang menarik karena didalamnya berisi keputusan-keputusan penting. Yaitu, bagaimana ruang tas itu cukup dengan semua barang yang kita butuhkan.
…hidup sendiri adalah sekumpulan daftar mana yang penting dan mana yang kurang penting.
Dan kita harus bergerak cepat. Tas yang berat menghalangi gerak kita. The slower we move, the faster we die.
Ia juga menganalogikan, jika tas yang kosong diibaratkan diri kita, maka ini lah yang kemungkinan akan terjadi.
Saya tidak akan bisa menyerap apa pun bila tak membiarkan diri saya kosong. Saya tak akan menjadi siapa-siapa kalau tidak bisa berangkat dari pemikiran saya ini bukan siapa-siapa.
Identitas yang kosong membuat saya bisa leluasa menciptakan identitas baru.
Mba W juga bercerita tentang kekagumannya terhadap Pak Mula, yang tak lain adalah salah satunya rekan kerjanya Mba W di penerbitan.
Tak semua orang bisa bersifat kosong ketika mereka merasa pernah penuh, Pak
Mba W menceritakan pertemuannya dengan berbagai manusia di berbagai tempat. Obrolan-obrolan yang menghiasi pertemuan, hingga salam perpisahan yang indah. Hingga mendapatkan pertemanan. Selain itu, setiap cerita yang disajikan akan menguak kisah-kisah kehidupan yang terekam olehnya. Bagimana kebiasaan orang-orangnya, sejarahnya, dan budayanya.
Rupanya damai itu tak selalu hening. Ia bisa hadir dalam hiruk pikuk.
Ketika seorang teman bisa berkomentar apa saja tentang hal yang ingin kita lakukan atau telah kita lakukan, tak peduli itu baik atau buruk, saya pikir, seperti itulah sebuah pertemanan. You are allowed to express anything without any worries.
Perjalanan memperkaya bukan karena telah menjejakan kaki di banyak tempat, namun keberhasilannya menangkap moment kehidupan yang membuat kita menemukan diri sendiri, memperkaya hati, dan menemukan rumah.
Kadang, kita menemukan rumah justru di tempat yang jauh dari rumah itu sendiri. And yes, wherever you feel peacefulness, you might call it home.
Kadang kita menemukan ‘rumah’ di tempat yang tidak kita duga. Menemukan teman, sahabat, saudara. Mungkin juga cinta. Mereka-mereka yang memberikan ‘rumah’ itu untuk kita, apa pun bentuknya.
Dari seorang pelayan tua di bandara Mba W juga menemukan rumah
‘Home is a place where you feel more comfortable. Home is a place where you can be and find yourself.’
‘Home is a place where you can find your love, young girl.’
Dan memang saya akui, kadang butuh seperti ini.
We just need to stay away for a moment to get back home.
Mba W juga tak jarang memberikan tips perjalanannya di buku ini, salah satunya ini.
So, go native, peeps! And then, you might call it home.
Kalau kata Aunty Fran, ibu salah satu temannya di Amrik.
‘Travelers never think they are foreigners’, kata Aunty Fran.
Ia merupakan pengamat yang baik, satu bab ‘Tentang mereka yang jatuh cinta’ bercerita mengenai wajah-wajah manusia yang sedang jatuh cinta di berbagai negara yang pernah ia temui.
Di antara keriaan, selalu ada cinta yang dirayakan dalam diam.
Cinta adalah perjalanan panjang, ia tumbuh tua bersama waktu dan manusia. Dan ia, tak pernah benar-benar jauh. Selalu memeluk manusia dengan erat. Mengisi celah yang mungkin hanya sejengkal itu. Memberi kita alasan untuk selalu pulang.
Love is a ‘place’ that we keep visiting again and again. It annoys us to no end. An for something like this, we may call it ‘home’.
Yes, love is a home for everyone. Indeed.
‘Bahasa Manusia’ menyadarkan kita bahwa ada bahasa universal yang bisa berlaku dimana saja dan kapan saja. Bahasa Dunia namanya, Bahasa Semesta kalau istilahnya Paulo Coelho.
Untuk menguasai Bahasa Dunia ini hanya dibutuhkan satu hal: keberanian untuk memahami.
Ada satu bahasa yang tumbuh besar bersama manusia tanpa membutuhkan kamus: bahasa ‘memahami’.
Perjalanan memberi kita ruang belajar yang luas, jika kita mau.
Kami telah melakukan hal yang banyak dilakukan para pejalan, membuka mata, telinga, dan hati terhadap satu sama lain. Belajar saling mendengarkan. Belajar saling memahami. Bukankan bisa mengetahui lebih banyak, bila kita mau mendengar lebih kerap?
Konon, bumi ini milik mereka yang mau berhenti sejenak untuk melihat-lihat, lalu meneruskan perjalanan.-anonymous
Ketika di Frankfrut, ia menyadarai perjalanan membutuhkan biaya yang kadang tak terduga. Yang nominalnya kadang tak masuk akal. Saya kira setiapn orang yang melakukan perjalanan pernah mengalaminya. Ongkos yang mendadak mahal dua kali lipat karena aksen bahasa kita yang berbeda, atau hanya karena kita terlihat orang asing. Tapi lebih dari itu, say setuju dengan kalimat ini.
Ada ongkos yang tidak bisa dilihat dengan nominal. Saya sering menyebutnya ‘buying experience’.
Lalu apa yang dimaksud dengan bahagia?
Penduduk Swiss menganggap sumber kebahagiaan-selain toilet umum yang bersih-adalah bebas dari rasa iri. Orang Swiss paham, bahwa iri adalah musuh utama kebahagiaan.’Don’t shine the spotlight too bringhtly on yourself or you might get shot.’ Karena itu, mereka mencoba mengenyahkannya jauh-jauh.
Seperti kata Auguste Renoir,
‘Kehidupan ini ibarat sebuah penutup botol sampanye yang jatuh di sungai dan terbawa oleh aliran air. Supaya bahagia, kita hanya harus mengikuti alirannya,’
Aku setuju dengan apa yang dikatakan Windy.
Sambil menyeruput teh, dia bilang, ‘Ternyata bahagia itu bisa tercipta hanya dengan menikmati segelas teh manis panas dan gorengan rahu-tempe, bersama dengan sahabat-sahabat kita.’ ungkap dominique dari kisah ‘Cinta itu sederhana’
Saya suka buku ini, setiap Babnya, setiap detail ceritanya, dan kalimat-kalimat magis didalamnya.
Jangan menjaminkan rasa kepada waktu. Ia punya masa kadaluwarsanya.
Seringnya saya menemukan damai ketika melakukan perjalanan, mengusir gundah dan khawatiran yang tak beralasan yang bercongkol dalam pikiran. Perjalanan memberikan ruang pertemuan tak terduga. Ia mempertemukan saya dengan manusia-manusia secara acak yang menyadarkan saya untuk melihat kembali apa tujuan saya semula. Apa yang saya cari saat ini? Menemukan pertemanan juga cinta.