Pada postingan sebelumnya, saya bercerita bahwa pada hari terakhir di Kota Bengkulu, saya berkunjung ke Museum Negeri Bengkulu. Pagi-pagi sekali saya sudah tiba di museum ini dengan penuh antusias. Ternyata ini jadi kali pertama juga untuk Rurin berkunjung ke museum ini. Apa saja yang bisa kami lihat di sana? Ikuti ceritanya hingga akhir ya.
Sejarah Museum Negeri Bengkulu
Museum Negeri Bengkulu didirikan 1 April 1978 yang difungsikan dua tahun kemudian yaitu pada 3 Mei 1980 dan berlokasi di belakangan benteng Marlborough. Tiga tahun kemudian (3 Januari 1983) pindah ke Jalan Pembangunan No.08 Padang Harapan Bengkulu. Museum yang berdiri ditanah seluas 9.974 m2 ini memiliki bangunan bertingkat bergaya arsitektur khas Bengkulu yang terdiri dari 4 ruang pameran tetap. Museum ini kemudian diresmikan menjadi berstatus negeri oleh Drs. GBPH Poeger pada 31 Maret 1988, yang kala itu menjabat sebagai Dirjen Kebudayaan.
Dikenal dengan sebutan Museum Bengkulu, tempat ini menyimpan 6151 koleksi yang meliputi koleksi arkeologi, etnografi, filologi, biologi, keramik, dan lain sebagainya. Mengusung tema “Warisan Sejarah, Budaya, dan Alam Bengkulu Dalam Hubungannya Dengan Budaya Regional Dan Nasional”, kita bisa mempelajari sejarah dan melihat bagaimana keragamana budaya dari etnis yang ada di provinsi ini yang tentunya menjadi bagian dari budaya nasional.
Ragam Koleksi Museum
Ketika memasuki museum, kami disambut seorang ibu yang bertugas hari itu (2 Mei 2018). Setelah membayar tiket seharga 2K/orang, kami mulai berkeliling museum dengan dibekali sebuah buku katalog pameran tetap Museum Negeri Bengkulu. Baru kali ini saya berkunjung ke museum diberi buku panduan. Biasanya paling sering hanya diberi selebaran biasa saja.
Saat hendak beranjak untuk berkeliling, saya mendapati peta Provinsi Bengkulu dengan pembagian wilayah berdasarkan suku yang mendiaminya. Hari itu saya baru tahu jika setidaknya ada 9 suku di Bengkulu, yaitu Suku Muko-muko, Suku Pekal, Suku Rejang, Suku Lembak, Suku Serawai, Suku Kaur, Suku Enggano, Suku Pasemah, dan Suku Melayu Bengkulu. Awalnya saya kira orang-orang Bengkulu adalah orang melayu, kalau ga perantauan dari daerah Sumatera Barat. Kemudian saya juga menyaksikan sebuah papan informasi mengenai kota dan kabupaten yang berada di Provinsi Bengkulu. Ternyata jumlahnya cukup banyak. 🙂
Saya pun mulai berjalan menyusuri lemari koleksi yang satu ke koleksi yang lain. Koleksi-koleksi di ruangan utama ini dibagi dua bagian, yaitu bagian yang berisi koleksi sejarah dan sebagian yang lain berisi nuansa tradisi. Pada bagian sejarah, saya mendapati informasi mengenai lintas sejarah Bengkulu dan baru tahu nih ternyata Bengkulu tak hanya kedatangan bangsa Inggris (1685), Belanda (1825), dan Jepang (1942), tapi juga Armada Laut Prancis (1970-1971, masa penjajahan Inggris).
Selain itu, terdapat koleksi dari zaman prasejarah seperti kapak batu, bekal kubur, dan nekara. Kemudian terdapat Arca Siwa dan berbagai patung Hindu-Budha, serta koleksi guci, geleta kaca, piring, ceret yang berbau Arab yang menandai masa Kerajaan Islam. Saya pernah baca sih kalau Bengkulu juga pernah masuk wilayah Kesultanan Banten sebagai penghasil lada seperti halnya Lampung. Terdapat juga Lonceng Fort Anna peninggalan Jepang, Replika Tongkat Ular milik Residen pertama Bengkulu Yoseph Hourlock Esquirre tahun 1752.
Sedangkan pada bagian nuansa tradisi didominasi oleh pakaian adat, rumah adat, dan naskah-naskah kuno. Pakaian adat yang dipajang merupakan pakaian pernikahan. Letak perbedaan yang paling mencolok sebenarnya ada dibagian hiasa kepala, kecuali Suku Enggano yang masih tradisional memiliki pakaian pernikahan yang lebih sederhana dan jauh berbeda terbuat dari daun pisang. Menurut seorang Ibu yang lupa saya tanya namanya, koleksi pakaian adat pernikahan yang dipamerkan tidak semuanya mengingat tempat yang terbatas. Namun dipilih pakaian yang perbedaannya paling mencolok, salah satunya pakaian pengantin dari Suku Muko-muko yang hiasan kepanya terdapat penutup bagian wajah.
Begitu pula dengan rumah tradisional mereka yang beragam. Rata-rata rumah tradisional suku-suku di Bengkulu itu merupakan rumah panggung. Yang saya tahu, tipikal rumah panggung ini biasanya sih ya, merupakan tipe rumah di daerah yang dulunya banyak hewan liarnya, ya sejenis daerah hutan. Namun kemudian dibeberapa daerah bagian kolong rumah dijadikan kandang hewan ternak sejak masuk era Agrikultural. kalau di Bengkulu seperti apa ya?
Selain itu, terdapat banyak naskah kuno yang tertulis dengan bahasa Ka-Ga-Nga. Jadi inget bahasa serupa yang berada di Museum Lampung. Jangan-jangan orang Bengkulu sama Lampung sebenarnya saudaraan? Belajar sama filolog kalau ini. 🙂
Oh iya, di ruangan utama ini juga terdapat miniatur upacara adat tradisional Bengkulu yaitu Tabut dengan alat musik pengiringnya Dhol dan Tassa. Mau tahu tabut itu apa? saya pernah cerita sedikit di postingan sebelumnya.
Memasuki ruangan berikutnya, saya mendapati koleksi Biologi berupa awetan dari hewan-hewan yang bisa ditemuakn di Bengkulu. Selain itu, masih diruangan yang sama terdapat koleksi keramik dari berbagai wilayah, termasuk Vietnam, Thailand, Jepang, Cina dan Eropa. Hal ini menandai adanya kedatangan bangsa tersebut di Bengkulu.
Menuruni tangga ke lantai dasar, saya mendapati berbagai jenis senjata tradisional masyarakat Bengkulu seperti kerambit, sewar, tameng, pedang, parang, tombak dan keris, serta informasi mengenai cara pembuatan senjata-senjata tersebut. Melihat bentuk kerambit yang seperti pisau melengkung, saya jadi berpikir kalau penggunaan senjata ini tuh kayak dilempar gitu. Bener ga sih?
Pindah keruangan terakhir, kami mendapati beragam koleksi mulai dari peralatan berburu, bertani, dan melaut seperti rimbas, kapak, dan alat penumbuk padi, jala, tangguk, dan julujur, serta perangkap puyuh. Selain itu, terdapat pula berbagai perlengkapan upacara adat yang menandai daur hidup masyarakat Bengkulu mulai dari fase kelahiran hingga kematian serta berbagai keseniannya.
Berbagai koleksi kain khas Bengkulu pun dipajang di Museum Negeri Bengkulu ini, seperti kain besurek dengan motif tulisan arab, kain curak, kain tengkluk dewan, tenun Enggano, dan masih banyak lagi. Gila sih ini, kalau dipiki-pikir jenis kain warisan nusantara tuh banyak banget. 🙂
Terakhir, terdapat berbagai uang yang berlaku dalam sistem ekonomi dari zaman dahulu dan sekaligus mesin pencetak uangnya. Mesin Drukkey Popular merek Golden Press tersebut merupakan produksi Amerika tahun 1930. Mesin ini digunakan untuk mencetak uang merah yang merupakan Oeang Republik Indonesia yang berlaku di Bengkulu saat itu.
Tuh, banyak banget kan koleksi museumnya. Saya sampai capek berkeliling 4 ruangan museum yang cukup besar ini. Nah, untuk kamu yang ingin ke sana catat info penting berikut ini.
Informasi Penting!
Jam Operasional: Setiap hari 08.00-15.00 WIB, kecuali hari libur nasional
Tiket: 2K/orang (Dewasa), 1K/orang (Anak-anak)
Telp: (0736) 22098
Alamat: Jalan Pembangunan No.08 Padang Harapan Bengkulu
Oke, semoga informasinya bermanfaat dan terus ikuti cerita jalan-jalan saya di blog ini ya.
Mari berkelana, bahagia!
8 comments
Pas banget nih, dalam waktu dekat Saya insyaallah ke Bengkulu. Mesti disempatkan nih ke Museum Bengkulu. Terimakasih ya info nya.
sama-sama Mba Tuty 🙂
Saya tahu kerambit karena dipopulerkan oleh Uko Uwais di film laganya.
Senjata ini digunakan pendekar silat dari daerah Minang.
Eh, ternyata gak lupa mengunjungi koleksi Biologi ya. Sesuai dengan jurusan kuliahnya hahaha…
Oh gitu ya. Itu alatnya dilepar gitu ga sih penggunaannya.
Hidup saya ga jauh-jauh dari Biologi dan Antropologi nih.. haha
Bukan dilempar mbak, tapi digenggam. Mirip pisau cuma bentuknya melengkung dan senjata ini sangat berbahaya…
di film dipake buat apa tuh?
Untuk menyayat bagian tubuh lawan, seperti perut, tangan dan sebagainya. Cek google saja mbak, artikel dan video tentang kerambit Iko Uwais.
Siap. coba searching 🙂