Dulu ketika saya melihat sebuah kalender, saya terpesona akan foto-foto pemandangan alam yang menghiasinya. Diantara dua belas foto tersebut dua diantaranya yang saya ingat adalah Danau Toba dan Rinjani. Saat itu, saya berkata pada mamah saya “Aku pengen ke semua tempat ini, aku mau ke sana boleh ya.” Sambil saya membuka-buka kalender tersebut.
Mamah hanya bilang terserah, mengingat semua tempat tersebut jauh dari tempat tinggal saya. Berjarak ratusan kilometer dan menyebrangi lautan berpindah pulau. Tapi mungkin dalam terserahnya, mamah mengamini semua harapan saya. “Ah, doa ibu memang ampuh”
***
Masih diawal tahun 2013, ketika saya memperoleh kesempatan untuk berkeliling ujung utara Pulau Sumatera secara overland. Walaupun bukan untuk traveling dalam artian bersenang-senang tapi menjadi asisten peneliti, namun saya tetap senang. Kesempatan emas pikir saya.
Waktu seminggu kami habiskan bagai musafir. Kami mulai perjalanan dari kota Medan kemudian menyusuri jalanan menuju Lhoksemawe. Bermalam di Lhoksemawe untuk keesokan hari melaju menuju Kota Aceh. Dari Aceh kami bertolak menuju Meulaboh, Tapaktuan, dan kembali ke Medan melalui Brastagi. Sepanjang perjalanan saya selalu berdecak kagum dengan keindahan alam dan ragam manusianya, namun sesekali miris ketika melihat kepulan asap sisa pembakaran hutan. Hutannya hilang.
Di hari terakhir saya di Kota Medan, saya berkesempatan untuk escape sejenak ke Danau Toba. Saya tiba malam hari di Danau Toba, hingga hanya gemerlap lampu yang bisa saya saksikan. Kota Prapat sudah sepi kala itu, karena jam menunjukkan hampir tengah malam.
Keesokan harinya, pagi sekali saya berhamburan keluar penginapan dan duduk manis di Darmaga Danau Toba yang kebetulan berada tepat di depan penginapan. Saya duduk sendiri menikmati Danau yang amat tersohor ini. Danau terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara ini terbentuk akibat letusan gunung berapi sekitar 74.000 tahun yang lalu. Letusan tersebut menghasilkan kaldera yang kini menjadi Danau Toba.
Dari beberapa artikel yang pernah saya baca, letusan Gunung Toba menyumbang magma cukup besar yaitu sekitar 2.800 kilometer kubik ke udara. Tahun 1994, John Westgate dari University of Toronto mendapat sampel abu yang dikirim Craig Chesner. Abu tersebut berasal dari sekitaran Danau Toba. Abu yang tersebar ke seatero bumi menimbulkan partikel asam belerang dari inti es, serta mendinginkan samudera. Sehingga letusan ini juga mengakibatkan perubahan iklim dari panas menjadi dingin di Bumi. Saking dahsyatnya, letusan ini nyaris memusnahkan manusia di Bumi.
Saya asik duduk di darmaga sambil melihat perahu yang hilir mudik membelah danau. Darmaganya bagus, bersih, dan tertata rapih, sehingga saya betah berlama-lama duduk disana. Saya mengambil beberapa foto diri untuk kenang-kenangan. Dulu belum jamannya selfie, jadi tak ada tongsis alias tongkat narsis. Hingga menggunakan timer pada kamera dan meletakannya pada posisi yang pas menjadi teknik andalan untuk berfoto.
Ketika berjalan mendekat kearah perahu-perahu yang sedang terparkir seorang bapak yang sedang mempersiapkan alat pancing bertanya:
“Sendirian? Mau menyebrang?”
Kemudian saya menjawab”Iya pak sendiri, menyebrang kemana ya pak?”
“Nyebrang ke Pulau” jawabnya
Jujur waktu itu pengetahuan saya tentang Danau Toba nol besar, hingga tak tahu kalau ditengah danau ada Pulau yang kental dengan budaya Batak. Yang saya tahu tetang Medan hanya Toba, Suku Batak dan Jeruk Medan yang kebunnya sempat saya lewati kemarin di Brastagi. Ternyata Gunung Toba tidak hanya meninggalkan kaldera, namun juga pulau kecil yang di kenal dengan sebutan Pulau Samosir.
“Berapa sewa kapalnya?”
“Sekitar 300an sepertinyanya?”
“Ooh” saya hanya ber oh ria mengingat beberapa jam kemudian saya harus meninggalkan Prapat kembali ke Medan dan terbang menuju Jakarta. Pulang tepatnya.
Belakangan baru saya ketahui Pulau Samosir ini unik. Disana kita masih dapat melihat rumah-rumah adat khas Batak dengan jumlah yang cukup banyak. Ada satu kampung yang bernama Siallagan yang kerap dikunjungi wisatawan lokal maupun mancanegara, karena ada batu-batu unik yang disebut batu persidangan. Disana juga masih terdapat masyarakat yang menenun kain ulos, kain khas Batak.
Kemudian saya berpamitan pada bapak tersebut, saya kembali duduk di darmaga terhanyut dalam kemegahan alam.
“Andai gue pergi sendirian, mungkin gue bakalan nyebrang ke tuh Pulau, dan bertahan lebih lama ditempat ini. Kan yang gue asistenin udah pulang duluan” gumam saya dalam hati.
Maklum saja tugas sebagai asisten peneliti memang usai, tapi saya datang ke Toba diantar asisten peneliti yang lain. Karena begitu sampai ke Medan saya berujar “Ga ke Medan kalau ga ke Toba” tapi ternyata saya salah, “Ga ke Toba kalau ga nyebrang ke Pulau Samosir”. Jadi, mari kita kembali ke Medan, menyebrang ke Samosir, dan mengenal budaya Bataknya lebih dekat. Satu yang saya pelajari dari perjalanan ini.
“Kenali tempat tujuan destinasi anda sebelum bepergian, agar tak menyesal kemudian”
Horas
Nunuz