Bagaimana sedih dan merasa terbuang itu melemahkan. Bagaimana terlalu berharap kepada manusia dan makhluk itu mengecewakan.
Ini kali pertama saya membaca novel karya Ahmad Fuadi. Seorang penulis buku Best Seller Trilogi Negeri 5 Menara, Ranah 3 Warna, dan Rantau 1 Muara. Novel-novel tersebut banyak diperbincangkan oleh teman-teman saya. Katanya sih bagus. Hingga pada akhirnya saya memilih novel Anak Rantau untuk membuka perkenalan saya dengan karya A. Fuadi.
Anak Rantau adalah novel teranyar A. Fuadi yang berkisah mengenai seorang anak bernama Hepi. Anak minang yang lahir dan menginjak remaja di Kota Jakarta. Sang Ayah Martiaz, mengajaknya untuk mudik ke kampung halaman di Sumatera Barat. Sebuah desa yang masih memiliki rumah-rumah gadang dan surau.
Tanpa diketahui Hepi, ternyata Martiaz punya rencana lain tentang kepulangannya kali ini. Karena, sesungguhnya Martiaz tak pernah kembali dan segan kembali ke kampung halaman setelah pergi tanpa pamit saat menikahi Nurbaeti.
Saat hari kepulangan ke Jakarta tiba, tanpa diketahui Hepi ternyata tak akan pernah kembali ke Jakarta. Ia ditinggalkan Sang Ayah untuk tinggal dengan Kakek dan Neneknya. Sejak saat itu, Hepi merasa dibuang dan dicampakan.
Ia selalu mengingat kata-kata terakhir Sang Ayah, “Kalau memang mau ke Jakarta, boleh, tapi beli tiket sendiri kalau mampu.” Sejak saat itu Hepi berniat untuk mencari uang agar bisa pulang ke Jakarta.
Di kampung, Hepi berteman dengan Attar dan Zen. Mereka berdua mencoba menghibur Hepi dan jadilah mereka sahabat Hepi dan membantunya mengumpulkan uang. Mereka juga selalu bekerja, belajar, ngaji, dan berpetualang. Buku ini seru dan kaya akan kebudayaan dan falsafah hidup Orang Minang.
“Nan satitiak jadikan lawuik, nan sakapa jadikan gunuang, alam takambang jadi guru.”
Hepi yang gemar membaca, merasa menemukan harta karun di Rumah Hitam. Ia bertemu dengan Pandeka. Ia menemukan sosok yang bijaksana di diri Pandeka.
“Kalau merasa ditinggalkan, jangan sedih. Kita akan selalu ditemani dan ditemukan oleh yang lebih penting dari semua ini. Resapkan ini: kita tak akan pernah ditinggalkan Tuhan.” Nasehat Pandeka untuk Hepi
“Hidup kita hidup yang khianat, kalau hanya memikirkan diri sendiri. Khianat kepada misi kemanusiaan.” Kata Pandeka
Novel Anak Rantau ini bercerita kisah yang heroik juga dari genk Hepi, Attar, dan Zen. Tapi, untuk ukuran kelas dua SMP, kisah heroik Hepi dan kawan-kawannya terbilang terlalu berani. Pada akhir-akhir Bab, novel ini terkesan terburu-buru menyelesaikan cerita dang mengeluarkan latar belakang tokoh secara berbarengan.
Saya suka novel Anak Rantau Karya A.Fuadi ini karen penuh rasa. Rasa cinta,kecewa dan bagaimana cara memaafkan dengan sebenar-benarnya. Belajar untuk menjadi orang yang tidak mendendam.
merdekakan jiwa
merdekakan pikiran
dan penjajahan pribadi yang kita buat sendiri-sendiri
dari amarah dan dendam
maafkan, maafkan, maafkan
lalu mungkin lupakan
“Aku pernah berperang karena dendam dan marah. Akibatnya menyakitkan hati, baik ketika menang apalagi ketika kalah. Karena itu jangan berbuat apa pun karena dendam dan marah, tapi bertindaklah karena melawan ketidakadilan”, kata Pandeka dengan santai.
Selamat merantau ke ranah minang dan menyembuhkan luka-luka dan rasa kecewa dengan kata maaf dan ikhlas yang bertumbuh dalam jiwa. Berhenti untuk berharap pada manusia dan benda-benda kasat mata.
Mari berkelana lewat kata 🙂