Sudah lama saya ingin menyaksikan proses Grebeg Maulud di Keraton Yogyakarta. Grebeg Maulud ini adalah salah satu acara tradisional yang dilaksanakan oleh Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dalam rangka memperingati hari Kelahiran Nabi Muhammad SAW. Pada prosesi ini, akan ada arak-arakan gunungan yang berisi hasil bumi dan berbagai makanan. Gunungan ini kemudian akan di grebeg alias diperebutkan oleh warga. Mereka percaya bahwa dengan mendapatkan gunungan akan mendapatkan berkah.
Saya tahu ada prosesi Sekaten 2019 yang digelar selama satu minggu di Keraton Yogyakarta dari postingan salah seorang kawan di instagram story. Tapi saya tak tahu persis kapan prosesi gunungan akan diarak dalam Grebeg Maulud ini. Eh tak disangka, ada pekerjaan yang mengaruskan saya melaju menuju Jogja diwaktu yang berdekatan dengan prosesi ini. Semesta berkonspirasi!
Hari minggu tanggal 10 November 2019 saya bangun kesiangan. Saat mata membuka yang saya ingat adalah Grebeg Maulud.
“Mi, Grebeg maulud itu kapan sih acaranya?” pada sepupu saya yang sudah bangun lebih awal dan sedang memaikan handphone-nya.
“Kata temanku hari ini Teh penutupannya. Grebegnya juga dari pagi sampai siang ini. Mau nonton?” jelas sepupu saya.
Tanpa berpikir panjang, saya langsung tarik handuk dan mandi. Grebeg Maulud I’m coming!
Dengan kecepatan super kilat, saya mandi dan bebenah. Sekitar pukul 9 pagi, kami sudah tiba di Pelataran Alun-Alun Utara Keraton Yogyakarta, tapi tiket untuk masuk area keraton sudah habis. Bengong deh kami berdua dibalik jeruji pagar keraton, menyaksikan orang-orang sedang duduk dan disuguhi kesenian tradisional didalam area keraton. Kami mencoba mencari tiket di loket yang lain, tapi ternyata belum beruntung. Tiket habis dan pagar resmi ditutup.
“Nyari sarapan aja yuk.” ajak saya
Perut yang keroncongan membawa kami menjauh dari keraton menuju Mesjid Gedhe Kauman. Dipelataran mesjid, sudah banyak orang-orang berkumpul, karena prosesi puncak dari Grebeg Maulud ini akan berlangsung di sini. Kami memutuskan mengisi perut sambil menanti arak-arakan tiba. Banyak sekali berbagai jajanan khas yang dijual di sini. Ya, sambil menanti gunungan kami kulineran dulu.
Beberapa orang mulai bersiap membuat benteng, entah itu masyarakat, abdi dalem, petugas Palang Merah Indoneia (PMI), Polisi, dan pihak pengamanan lainnya. Pertanda arak-arakan dari Keraton Yogyakarta akan mulai berlajan menuju Mesjid Gedhe Kauman. Saya ada diantara orang-orang yang tak ingin melewatkan prosesi ini. Pandangan saya mengudara menyapu semua wajah-wajah yang menanti. Mereka yang datang mayoritas orang tua yang mulai sepuh. Pantas saja pengamanan dan medisnya cukup banyak.
Sekitar pukul 10.30 WIB, arak-arakan itu tiba juga di Mesjid Gedhe Kauman. Saya begitu antusias untuk merekam kejadian yang belum tentu akan bisa saya saksikan kembali. Mulai dari iringan yang membawa kuda, kemudian iringan yang berseragam putih yang membawa bambu seperti tumbak, hingga diakhiri dengan pembawa gunungan mulai memasuki area alun-alun Mesjid Gedhe Kauman. Saya lupa menghitung berapa banyak gunungan yang ada hari itu, sepertinya sekitar lima atau malah lebih.
Ketika semua arak-arakan masuk ke area alun-alun mesjid, saya langsung berlari kedalam. Wow, padet banget!
Ratusan bahkan mungkin ribuan warga mulai memperebutkan gunungan. Ada lebih dari dua pria yang berhasil menguasai gunungan. Mereka mencabuti semua yang ada di sana dan melemparkannya ke sana-kemari. Seorang bapak-bapak tepat didepan saya berteriak “Weh weh Wayah e Njaluk” sembari mengangkat-angkat kedua tangannya. Awalnya saya pikir bahwa yang diperebutkan adalah isi dari gunungan saja yang berupa sayuran dan makanan, hingga tiba-tiba sebuah bambu melesat hampir mengenai kepala saya.
Bukannya takut, saya terbawa euforia. Saya semakin mendekat kearah gunungan. Sebuah bambu melesat lagi tepat menuju saya, hap berhasil saya tangkap. Hal serupa juga ternyata dilakukan oleh sepupu saya. Untuk mereka yang tidak mendapatkan berbagai pernak pernik gunungan dalam ukuran besar, mereka mengumpulkan potongan-potongan gula-gula yang tercecer ketika dilempar-lemparkan.
Upacara Yad Kasada Suku Tengger Bromo
‘Ngalap berkah’ mereka menyebutnya. Kepercayaan bahwa dengan mendapat gunungan akan mendatangkan berkah adalah hal yang sudah mendarah daging. Jadi tak heran jika mereka mau berdesak-desakan memperebutkannya dibawah teriknya matahari. Beberapa pria yang berhasil menguasai gunungan masih terus mempreteli dan membagi-bagi gunungan hingga hanya tersisa rangka besinya saja. Ritual yang berjalan sekitar satu jam ini, mengingatkan saya pada prosesi serupa di Pulau Lombok.
Perang Topat: Upacara Tradisional di Pulau Lombok
Apakah prosesi ini akan tetap ada? kepercayaan yang akan menjaganya tetap lestari di semesta.
Mari Berkelana, Bahagia!